Selasa, 03 Januari 2012

Puri Saren Ubud Menopang Kokoh Pariwisata Ubud Yang Eksotis




Barangkali saat teman – teman Blogger dan wisatawan lainnya mampir ke Bali untuk pertama kalinya, mungkin salah satu tempat yang paling ingin dikunjungi untuk berwisata adalah Pantai Kuta,,,ya, pantai pasir putih yang terletak di bagian Selatan pulau Bali ini memang punya daya tarik yang tinggi,,, bahkan sudah menjadi ikon pariwisata bagi Pulau Bali. Mungkin bagi teman - teman yang belum pernah mengunjungi Bali akan bertanya – tannya apa yang dicari orang ke Pantai Kuta? Salah satunya adalah panorama sunset-nya yang begitu memukau,,,tapi masih ada lagi… jika anda suka suasana pantai namun tidak ingin meninggalkan kenyamanan kehidupan modern maka disinilah tempatnya,,,, mall – mall besar, hotel dengan berbagai kelas, restaurant cepat saji, butik serta toko – toko pakaian merek lokal hingga internasional,,, buat teman - teman yang suka menikmati kehidupan malam ada bar, pub, club yang siap menerima anda untuk bergabung didalamnya,,,,,semua fasilitas itu dapat teman – teman temukan di Kuta……Kalau bagi saya, daya tarik Pantai Kuta itu saya bandingkan seperti gadis modern nan molek, modis, mentereng, dan segala hal yang sophisticated,,, yang bisa membuat banyak orang jatuh cinta padanya….
Tapi penulis tidak akan bercerita lebih jauh tentang Pantai Kuta nan gemerlap,,,Melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak teman – teman untuk menikmati tempat wisata lainnya di Bali yang tidak kalah terkenalnya dari Pantai Kuta,,,,,Dimana itu?? Tempat yang saya maksud adalah Ubud…pernah mendengar nama ini?? Eat, Pray, Love, novel terkenal karya Elizabeth Gilbert yang juga dibuatkan film dengan judul yang sama, mengambil salah satu lokasi syutingnya di tempat ini….
 Ok,,,Sekarang mari kita mulai perjalanan ini untuk mengenal Ubud lebih dalam,,, Ubud terletak di Kabupaten Gianyar, berada kira – kira 300 meter diatas permukaan laut dengan cuaca yang cukup sejuk…., ya,,kurang lebih satu setengah jam dari Pantai Kuta,,,itupun kalau tidak macet…Seperti yang saya katakan sebelumnya, Ubud punya pamor yang sama dengan Kuta. Bagi para wisatawan, kalau ada waktu lebih, biasanya mereka menyempatkan waktu mengunjungi tempat yang indah ini,,, 

                                                          (salah satu sudut kota Ubud)


Pamor boleh sama, tapi suasana Pantai Kuta dan Ubud begitu berbeda, jika Kuta saya bandingkan dengan sosialita molek yang modern ,,,,maka Ubud itu, seperti gadis molek nan kalem yang bisa membungkus secara cantik pengaruh budaya modern dengan keanggunan lokal yang ia miliki,,,mengapa? Ya, Ubud bukan tempat yang gemerlap seperti Kuta,,, di Ubud tidak ada mall – mall besar, restaurant cepat saji, pub atau hotel – hotel franchise Internasional…Lalu pertanyaan yang muncul, apa yang bisa saya nikmati di Ubud? Banyak sekali….Berbagai panorama alam serta budaya…Seberapa menarik?? Bagi saya, Ubud tak kalah menarik dari Pantai kuta, walaupun dengan format dan kondisi yang berbeda…Di Ubud tidak ada pantai, tapi teman – teman bisa menemukan panorama sawah dan alam hijau yang begitu luas …Walaupun mungkin ramainya Ubud hampir sama dengan Kuta,,,Tapi tidak serta merta menjadikan Susana Ubud sehiruk pihuk dan segemerlap Kuta…..Bagi anda yang penat dengan kehidupan kota, maka tempat ini sangat tepat untuk dikunjungi,,,Ada apa saja disini? Berbagai tempat wisata alam dan budaya mulai dari Monkey Forest, berbagai museum lukisan, Wisata Arung Jeram,  Puri Saren Ubud, Pura Lotus, Pasar Seni yang menjual berbagai kerajinan khas Bali dan tempat – tempat wisata lainnya…,,,Jalanan di Ubud selalu ramai dengan pengunjung baik wisatawan lokal maupun internasional mulai dari pagi hingga malam,,,bahkan kadang di beberpa spot sampai penuh sesak. Tapi Ubud sampai saat ini tidak gemerlap seperti Kuta…mengapa?? Dari sinilah penulis ingin mengajak teman – teman menjawab pertanyaan tersebut…Semua itu penulis mulai dari memperkenalkan Istana Puri Saren Ubud, ya inilah “tokoh utama” dalam tulisan ini,,, Tempat ini selain menjadi situs bersejarah, juga memiliki peran yang begitu penting dalam memproteksi Ubud dari gemerlapnya kehidupan modern.

                                 (Ancak Saji di Puri Saren Ubud)

Menemukan lokasi Puri Saren Ubud tidaklah sulit, bangunan bergaya tradisional Bali ini hingga kini masih berdiri gagah dan megah di tengah – tengah kota Ubud..Mungkin bagi teman – teman yang awam dengan istilah Puri Saren Ubud, penulis ingin sedikit memperkenalkannya….Puri adalah sebutan orang Bali bagi istana tradisional yang didiami oleh orang – orang penting, biasanya keturunan raja – raja Bali terdahulu ,,Dulu Ubud menjadi kota kerajaan selama lebih dari seratus tahun dimana sampai saat ini sang Raja bergelar “Tjokorda atau Agung”. Puri Saren Ubud dibangun oleh Ida Tjokorda Putu Kandel yang memerintah pada tahun 1800-1823 Masehi, dan tetap terjaga sampai saat ini. Hingga sekarang keturunan raja – raja Ubud beserta keluarganya masih tinggal di Puri Saren Ubud. Tempat ini juga dibuka sebagai tempat wisata, yang didalamnya terdapat benda – benda dan arsitektur bangunan tradisional Bali yang memiliki estetika yang tinggi. Walaupun dikembangkan sebagai sebuah obyek wisata, namun bentuk, struktur bangunan puri ini tampak masih tetap seperti sediakala/tidak berubah, memiliki tempat yang bernilai sakral (madya) sebagai ruang tempat tinggal yang tidak boleh dimasuki oleh wisatawan[1]
(area tempat tinggal di dalam Puri yang tidak boleh dimasuki pengunjung)

Puri Saren Ubud selain sebagai tempat kediaman juga memiliki peran yang penting dalam menjaga kelestarian wilayah Ubud. Walau sistem feudal sudah lama ditinggalkan, namun keberadaan puri ini sangat berarti bagi masyarakat Ubud.[2] Meskipun tidak ada  kekuasaan formal sebagai bangsawan, tetapi perintah – perintah dari raja Ubud ini sangat dihormati masyarakatnya. Concern tokoh – tokoh Puri Saren Ubud sangat tinggi terhadap pengembangan dan perlindungan seni dan budaya, salah satunya adalah memberikan ijin pada masyarakat Ubud untuk menggunakan halaman depan Puri ini (yang diberi nama Ancak Saji) untuk mempelajari kesenian Bali. Pada hari sabtu dan minggu pagi, mulai dari anak – anak hingga remaja, laki – laki maupun perempuan datang untuk belajar menari dan gamelan di tepat ini. Lalu setiap malam di tempat yang sama akan dipentaskan tarian dan gamelan dari para anak – anak dan remaja untuk menghibur para wisatawan. Puri Saren Ubud sebagai lokasi wisata memberi tempat khusus diperuntukkan sebagai tempat rest house, restaurant, art shop. Sementara area puri lainnya masih tetap berfungsi sebagai pusat kehidupan sosial budaya masyarakatnya. 
                             (halaman tengah Puri Saren Ubud)

Raja Ubud bersama pemerintahan desa adat dan masyarakat bekerja sama untuk menjadikan Ubud sebagai tempat wisata yang santun,,, Sebagai contoh: pada waktu – waktu tertentu raja dan para tokoh masyarakat berunding di Puri Saren Ubud untuk mengembangkan program wisata yang lebih banyak mengangkat unsur tradisional Bali. Berbagai aturan untuk menjaga ketahanan budaya lokal juga dirundingkan di Puri Saren ini.Wisata budaya yang dikembangkan di tempat ini membuat wisatawan yang datang adalah mereka yang ingin belajar budaya termasuk menari, melukis, bermain gamelan…Hal yang menarik adalah adanya aturan yang disepakati pemimpin tradisional, masyarakat maupun pelaku pariwisata yaitu semua kegiatan malam hari di Ubud, entah itu membuka restaurant, toko, artshop, kegiatan di bar – bar kecil untuk sekedar wisatawan bercengkrama hanya dibatasi sampai pukul sebelas malam. Setelah jam yang ditentukan, maka tidak ada lagi kegiatan ‘wisata malam’. Sehingga keadaan malam hari begitu tenang dan damai. Selain itu, kerjasama dari pemerintahan tradisional (raja dan pemimpin desa adat) di Ubud melarang pembangunan diskotek karena dianggap akan mengganggu ketenangan dan sangat riskan merusak budaya tradisional serta generasi muda. 

      (salah satu bentuk kediaman keluarga raja di Puri saren Ubud) 


Jadi itulah mengapa Ubud yang begitu ramai, tidak akan pernah menjadi gemerlap seperti Kuta,,,Keberadaan Puri Saren Ubud begitu dihormati. Perintah raja begitu ditaati masyarakatnya. Meraka bersama – sama berusaha menjaga Ubud agar tidak kehilangan jiwa dan identitasnya sebagai kawasan yang menghargai warisan budaya leluhur mereka. 

Lalu apa Ubud tidak modern?? Ubud sangat modern, di sekitar Puri Saren Ubud banyak hotel indah bergaya lokal, toko serta butik – butik internasional, berbagai restaurant menghadirkan masakan lokal hingga internasional (Pak Bondan pembawa acara wisata kuliner saja pernah syuting di Ubud dan mencicipi berbagai masakan khas disini ^^b)…Namun modernitas itu tak sampai mengubah wajah Ubud. Ia tetap menjadi “gadis” yang kalem dan anggun yang bisa membungkus segala modernitas dengan apik dengan kekuatan pesona lokal yang ia miliki. Ubud tampil eksotik dan percaya diri dengan mengusung wisata seni, budaya dan serta panorama alamnya nan hijau. Inilah cara apik kekuatan lokal menjaga Ubud dari gemerlapnya dunia modern. 

                (salah satu sudut di Puri Saren Ubud yang Berisi Gamelan Bali)


             (salah satu tempat di dalam Puri Saren Ubud untuk menerima tamu)

[1] http://jurnal.isi-dps.ac.id/index.php/artikel/article/view/814
[2] http://wisatadewata.com/article/wisata/puri-saren-ubud-ubud-palace

Sabtu, 31 Desember 2011

AIR: TANDA CINTA DARI GENERASI KE GENERASI

http://lestariairku.dagdigdug.com


Air,,,Warisan Nenek Moyang, Konservasi Sekarang Agar Tak Konflik di Masa Datang


 

Peningkatan temperatur bumi, perubahan kecepatan angin, laju penguapan dan curah hujan akan semakin memberi dampak ekstrim bagi manusia: saat hujan lebat dan angin kencang terjadi di beberapa daerah namun di daerah lainnya justru mengalami kekeringan yang parah dan berkepanjangan. Lalu siapa yang paling merasakan mimpi buruk ini? 
Hujan lebat dan lebih deras tidak berarti lebih banyak air yang meresap kedalam tanah. Sebaliknya kondisi yang terjadi saat ini adalah tanah yang mudah terkikis dan air yang mudah menguap karena semakin teriknya matahari (Friedman, 2008, p.219). “Air ada dimana – mana namun tak setetespun air untuk diminum!.”Ratapan Pelaut Kuno Koleridge yang terdampar di laut yang tak dikenalnya menjadi gambaran manusia saat ini. Kurang dari 1 persen air di bumi adalah air murni yang dipakai untuk konsumsi, pertanian dan industri. Di seluruh dunia pertanian memakai 65 persen dari semua air yang mengalir dari sungai, danau dan mata air untuk berbagai aktivitas. Menghasilkan daging sapi membutuhkan 2500 – 6000 galon air. Membuat 1 mobil membutuhkan 100.000 galon air. 

Pemakaian air bertambah lebih cepat daripada pertambahan jumlah penduduk. Orang Amerika mengkonsumsi 70 kali lebih banyak air daripada rata – rata orang Ghana setiap tahun.(Thompson, 2003, p. 127) Dan mereka yang paling tak bersalah – orang-orang yang paling miskin di dunia, tak menggunakan banyak peralatan elektronik, tak menghabiskan banyak air dan ‘sumber energi’ serta hanya mengeluarkan sedikit CO2 paling menjadi korban dari keadaan yang semakin memburuk ini. Banyak penduduk miskin yang tinggal di pedesaan sudah mengalami kekurangan pasokan air akibat dari pengambilan air yang berlebihan, penggundulan hutan, ledakan penduduk dan pemeliharaan mutu air yang buruk. Hal yang lebih menyedihkan mereka sangat minim fasilitas untuk memperbaiki kualitas air yang layak pakai dan minum. 
            Indonesia memiliki 6 persen persediaan air dunia dan sekitar 21 persediaan air di Asia Pasifik, namun kenyataannya Indonesia tetap mengalami krisis air bersih dari tahun ke tahun (Harian Analisa: 2011) Kebutuhan sumber daya air bersih dari hari kehari semakin besar namun pasokan yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan masyarakat. Hal ini tentu menekan kemampuan alam untuk menyuplai air dan bencana kelangkaan semakin mengancam. Pertumbuhan penduduk yang pesat dan pola hidup masyarakat perkotaaan menuntut penggunaan air dalam kuantitas yang lebih banyak. Sebagai jalan keluar masyarakat memanfaatkan air permukaan tanah (groundwater) dengan menggunakan pompa dan jarang memikirkan dampak penurunan tinggi muka air bawah tanah dan intrusi air laut.(Suara Pembaharuan: 2006) 

Laporan yang disodorkan oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Penanggulangan Bencana menyebutkan 77 persen kabupaten/kota di jawa mengalami krisis air[1]. (Gatra News: 2011). Di Bengkulu warga mengkonsumsi air setengah asin yang berbahaya bagi kesehatan. Beberapa kecamatan di Riau, Lampung, Sumatra Selatan, Kalimantan dan masih banyak daerah lainnya mengalami kekeringan. Yang diperlukan masyarakat adalah air murni, yang baik untuk kesehatan. Namun kenyataannya yang terjadi adalah akses air bersih sulit didapatkan, sungai – sungai banyak yang tercemar oleh sampah, zat pewarna berbahaya bahkan tinja manusia. Padahal sungai merupakan salah satu sumber daya yang sangat potensial dalam menjaga pasokan air bagi seluruh masyarakat. 
Indonesia begitu diberkahi, gemah ripah loh jinawi, negeri kepulauan yang makmur dengan untaian hutan hujan tropis membentang dari Sabang sampai Merauke. Tanahnya subur dengan 5.950 daerah aliran sungai (DAS) dan 500 danau tersebar hampir diseluruh wilayahnya. Letaknya di garis khatulistiwa member berkah pada kondisi cuacanya karena Indonesia hanya memiliki musim hujan dan kemarau, sehingga tak ada yang orang yang sampai mati kedinginan seperti orang – orang jalanan di negara dingin bersalju Asia, Eropa, Amerika. 
Pernyataan orang – orang tentang ’resources can be a bless or a curse’ menjadi benar adanya. Biasanya istilah ini digunakan pada kepemilikan negara terhadap sumber daya alam yang tak terbarukan, misalnya: pengelolaan tambang minyak bumi di kawasan Afrika yang tidak adil sehingga menimbulkan konflik, bahkan perang yang tak berkesudahan. Melihat parahnya kondisi krisis air pada saat ini, penulis membayangkan apa ‘the curse of resources’ yang terjadi pada minyak akan terjadi juga terhadap air. Barangkali beberapa puluh tahun kedepan orang tak lagi berkonflik untuk tambang minyak namun orang – orang bisa saja berperang memperebutkan sumber daya air: ‘problem of the thirsty world’. Kelangkaan air murni mengancam tiga aspek fundamental manusia dan keamanan ekologis yaitu produksi makanan, kesehatan lingkungan air, orang – orang yang mengkonsumsi air, serta stabilitas sosial politik.(Thompson, 2003)  Kekurangan pasokan/buruknya kualitas air membuat tanaman tidak tumbuh dengan baik, banyak jenis tanaman yang menjadi sumber makanan/ pangan manusia, sehingga menurunnya kualitas pangan dan  air akan mempengaruhi kesehatan manusia. Sekarang mari kita lihat fakta di lapangan, ternyata 60 persen sungai di Indonesia tercemar[2] limbah padat maupun cair. Limbah yang dihasilkan rumah tangga dan industri hampir sama jumlahnya. Kecenderungan rusaknya daerah tangkapan air dan lingkungan diperkirakan sebesar 15 – 35 persen perkapita pertahun sehingga kualitas ambang batas kebersihan air mencapai ambang yang sangat memprihatinkan.(GCUI: 2012) Asian Development Bank pada tahun 2008 menyebutkan pencemaran air di Indonesia menimbulkan kerugian Rp 45 triliun per tahun, biaya  ini mencakup biaya kesehatan, biaya penyediaan air bersih, hilangnya waktu produktif, citra buruk pariwisata, dan tingginya angka kematian bayi.(Alamendah Blog: 2010) 
Kesempatan kita saat ini meneguk air bersih tak lepas dari usaha generasi sebelumnya menjaga stabilitas lingkungan hidup yang berpengaruh pada persediaan pasokan air. Selama ribuan tahun manusia telah beradaptasi dengan alam sekitarnya mencoba segala hal untuk bertahan dan bersahabat dengan alam demi kelangsungan hidupnya dan hal tersebut telah membentuk sebuah tindakan yang dinamakan lokal wisdom (kearifan lokal). Menjaga daerah aliran sungai (DAS) dan sumber – sumber mata air menjadi kewajiban utama mereka yang kadangkala dibungkus dengan mitos tertentu (misalnya pada hari – hari tertentu dilarang memotong kayu, atau dilarang mengotori kesucian suatu sungai) dan jika hal itu dilanggar maka mereka percaya akan terkena bencana bagi para perusaknya. Terkadang cerita tersebut menjadi aneh bagi manusia modern, yang terbiasa berpikir secara rasional. Namun kearifan lokal berhasil membuktikan tindakan tersebut efektif dalam menjaga kelestarian alam dan ketersediaan pasokan air yang memadai.


Gaya hidup masyarakat perkotaan dengan segala kebutuhan, jenis pekerjaan dan hiburan modern membuat mereka makin jauh dari alam. Semakin mereka jauh dari alam menipiskan kesadaran mereka untuk menghargai alam. Tata kota semakin jarang diisi dengan jalur hijau. Hal yang lebih mendominasi adalah bangunan tinggi maupun mall - mall besar. Sementara segala kegiatan perkotaan membutuhkan air yang sangat banyak. Lalu mulailah air tanah digunakan secara berlebihan tanpa mempertimbangkan turunkan muka tanah akibat tindakan tersebut. Gaya hidup yang kata Thomas L. Friedman disebut sebagai ‘ala Amerika’ tidak diimbangi dengan penguatan pengetahuan tentang pentingnya menjaga keberlanjutan sumber daya air. Yang terjadi sekarang adalah manusia yang lebih mementingkan keuntungan ekonomi dibandingkan kelestarian alam. Sampah – sampah dibuang ke sungai, limbah – limbah rumah tangga dan industri yang tanpa pengolahan yang benar dialirkan begitu saja ke sungai, pohon – pohon ditebang untuk memenuhi kebutuhan industri, hutan dan kawasan hijau dibuka serta dialih fungsikan untuk perkebunan dan perumahan. Lalu pernahkah kita berpikir kemana limbah padat dan cair yang kita buang akan mengalir? Apakah sungai dapat menetralisir semua limbah tersebut dengan sendirinya? Apakah air masih tetap tersimpan dengan baik dalam tanah dan akan tetap mengalir sebagai mata air saat pohon – pohon hijau ditebangi? Tentu tidak, semua orang tahu itu, namun tahu belum tentu tandanya mau ikut peduli. Dan yang kita butuhkan saat ini adalah kepedulian.
Salah siapa generasi sekarang kurang peduli? Oke, saat pertanyaan tersebut kita simpan dulu untuk saat ini, karena jawabannya tak akan menjadi solusi permasalahan krisis dan polusi air.  Lalu apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi masalah tersebut? Ya, tampaknya pertanyaan inilah cocok untuk dibahas dalam upaya pengkonservasian air. Hal pertama tampaknya istilah stick or carrot cocok diterapkan masyarakat yang mulai bebal akan pentingnya menjaga kualitas dan kuantitas air layak minum. Peraturan pemerintah bukan hanya sebuah himbauan namun juga menjadi ‘cambuk’ untuk mengubah mindset masyarakat terhadap pentingnya menghemat penggunaan air, dan tidak membuang limbah sembarangan ke sungai, danau dan sumber mata air lainnya, serta mengurangi penebangan liar ataupun alih fungsi kawasan hijau menjadi daerah perumahan dan mall – mall besar. 

Jepang dulu sempat menghadapi krisis dan penurunan air tanah yang drastis pada masa awal perkembangan industri dan perkotaannya. Untuk menanggulangi masalah tersebut pemerintahan Jepang secara ketat mengawasi penggunaan air tanah dan ternyata upaya ini berhasil membuat kondisi muka air tanah di kota – kota besar di Jepang mendekati kondisi normal. Lalu mengapa Indonesia tidak bisa? Kita bisa, bahkan bisa lebih baik, kita punya segala hal yang mendukung pengkonservasian air. Rencana pengelolaan air tanah pada pasal 20 Peraturan pemerintah No.43 tahun 2008 menyebutkan tentang inventarisasi air tanah, penetapan zona konservasi. Sedangkan peraturan tentang tindakan pencemaran air yang diatur dalam peraturan pemerintah No.20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air. Peraturan tersebut harus disertai dengan hukuman yang tegas dan jelas bagi siapapun yang melakukan pencemaran dengan sengaja ke sungai, danau dan sumber – sumber air lainnya. Apa ini kedengarannya agak kejam? Mungkin iya, tapi manusia sekarang jauh lebih kejam dan tidak peduli pada kelangsungan sumber daya air yang layak konsumsi. Pemberian hukuman yang tegas bagi pelanggar membuat orang – orang mau mengikuti jejak pendahulunya untuk merusak alam akan berpikir dua kali untuk melakukannya. 
Segala kegiatan yang dilakukan masyarakat berkontribusi terhadap usaha pengkonservasian sumber daya air[3]. Pemilihan  kegiatan konservasi air sebagai prioritas penangan disebabkan karena semakin seringnya terjadi bencana banjir dan kekeringan sebagai dampak perubahan iklim dan rusaknya DAS (Daerah Aliran Sungai). Kerusakan DAS (Daerah Aliran Sungai) menyebabkan kemampuan lahan menyimpan air menjadi berkurang sehingga air hujan yang jatuh tidak dapat ditahan oleh tanah dan langsung dialirkan kembali ke laut. Konservasi air juga dapat dilakukan dengan memanen hujan dengan cara menampungnya dalam suatu wadah baik berupa waduk, situ maupun tempat penampungan lainnya sebagai cadangan air di musim kemarau. Indonesia negara agraris dan predikat itu masih melekat sampai sekarang. Masyarakat Indonesia pun masih banyak yang bergelut pada kegiatan pertanian walaupun telah banyak dipengaruhi oleh bahan, proses bertani dan alat pertanian modern. Tidak ada salahnya kita mulai berkaca kembali pada pertanian masa lalu yang menggunakan pupuk ramah lingkungan, melakukan pengairan berselang, mengosongkan tanah setelah masa tanam untuk beberapa saat serta menghemat air dengan mengurangi tinggi genangan air sawah.[4] Tindakan water recycle juga seharusnya telah dilakukan baik itu pengelola bisnis/usaha, maupun masyarakat di rumah masing – masing. Kepedulian masyarakat untuk melakukan water recycle atau menekan pembuangan sampah, limbah dan bahan berbahaya lainnya ke aliran sumber air penting untuk mengurangi efek buruknya terhadap ekosistem air. 
Lalu untuk kesadaran pribadi, banyak hal – hal sederhana yang dapat kita lakukan  saat dirumah,di tempat kerja maupun tempat umum sebagai langkah penghematan air:
  • Menggunakan air secukupnya untuk mencuci pakaian, piring ataupun membersihkan kotoran lainnya.
  • Selalu mematikan keran saat selesai menggunakannya
  • Memperbaiki sesegera mungkin jika terjadi kebocoran pipa air di rumah
  • Mengatur waktu menyiram tanaman, atau dapat memilih tanaman rumah yang bertahan agak lama saat tidak disiram
  • Menggunakan air secukupnya saat mandi
  • Mencuci kendaraan di tempat pencucian yang dapat mendaur ulang airnya kembali
  • Menggunakan air secukupnya saat di toilet dan masih banyak hal lain yang bisa kita lakukan untuk berhemat.
.Kita generasi yang beruntung, karena masih bisa mendapat sumber air dan energi yang cukup. Ditambah lagi kemajuan teknologi transportasi dan informasi yang membuat segala hal menjadi lebih mudah. Namun perlu kita ingat apa yang kita dapatkan hari ini merupakan kesadaran generasi sebelumnya menyisakan apa yang mereka punya. Maka kewajiban kita juga melakukan hal yang sama pada generasi berikutnya. Jika kita bisa mencapai ribuan planet, pindah ke setiap planet yang kita mau, segala penanggulangan terhadap krisis air tidak perlu dipusing lagi. Lembaga – lembaga peduli lingkungan tidak perlu susah payah meneriakkan pada masyarakat tentang konservasi lingkungan air. Namun tampaknya kita tidak mempunyai pilihan , kita tidak bisa pindah ke planet lain. (Stiglitz: 2006, p. 245). Kita akan tetap disini, di Bumi dan mengapa segala kepedulian kita terhadap konservasi air dan lingkungan yang kita lakukan menjadi begitu berharga. Harga yang begitu mahal untuk sebuah tanda ‘cinta’, dari generasi ke generasi berikutnya. 
 

Referensi:
Friedman L. Thomas. 2008. Hot, Flat and Crowded. Mengapa Kita Butuh Revolusi Hijau dan Bagaimana Memperbaiki Masa Depan Global. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Stiglitz. Joseph E. 2006. Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil. Bandung PT Mizan Pustaka.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.20 Tahun 1990 Tentang Pengendalian Pencemaran Air.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.43 Tahun 2008 Tentang Air Tanah
2006. Indonesia Akan Krisis Air. Suara Pembaharuan
Abidin, Fadil. 2011. Krisis Air Melanda Indonesia. http://www.analisadaily.com/news/read/2011/09/23/14072/krisis_air_mengancam_indonesia/#.Tv7MfVZdjIU
http://pustaka.litbang.deptan.go.id/inovasi/kl060218.pdf
http://www.greencommunityui.org/wp/category/uncategorized/
Pemerintahan Kabupaten Grobogan. Konservasi Air Dalam Menanggulangi Kelangkaan Air. (http://grobogan.go.id/info-daerah/artikel/332-konservasi-air-dalam-menanggulangi-kelangkaan-air.html


[1] Krisis air dapat terjadi karena banyaknya polusi (karena pembuangan limbah rumah tangga, limbah industri, pengaliran zat kimia dari pertanian dan pertambangan serta erosi tanah) dan meningkatnya pemakaian air (karena irigasi, industrialisasi dan pertumbuhan penduduk) menyebabkan kelangkaan air murni di beberapa wilayah. Sumber – sumber air di wilayah – wilayah seperti Amerika, Jazirah Arab, Afrika Utara dan Asia Tenggara makin mengering karena pemakaian air tanah yang terlalu banyak melebihi curah hujan tang dapat mengisi kembali sumber – sumber air tersebut. (Thomson. Keadilan dan Perdamaian. diambil pada 31 desember 2012)

[2] Disebabkan oleh tindakan pencemaran yang merupakan segala tindakan untuk manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menghasilkan sampah atau limbah yang dibuang ke lingkungan. Hal ini terjadi karena kegiatan manusia mengubah sat energi dari satu bentuk ke bentuk lainnya dan dalam setiap proses tersebut tidak semuanya mampu diubah, melainkan selalu ada sisa yang disebut entropy yang kemudian menjadi sampah atau lingkungan yang masuk atau dimasukkan ke lingkungan (http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/197106041999031-IWAN_SETIAWAN/Pencemaran_dan_Kerusakan_Lingkungan.pdf diambil pada 1 Januari 2012)
[3] Konservasi Air sering disebut sebagai pengawetan air dengan usaha menjaga, meningkatkan produktivitas, kuantitas dan kualitas air
[4] Pemerintahan Kabupaten Grobogan. Konservasi Air Dalam Menanggulangi Kelangkaan Air. (http://grobogan.go.id/info-daerah/artikel/332-konservasi-air-dalam-menanggulangi-kelangkaan-air.html diambil pada 1 Januari 2012)


Kamis, 29 Desember 2011

New World Agenda: HappYness's containing




Sense of “Freedom” In Gross National Happiness: Implementation of MDGs Programme in Buthan 2000 – 2007



1.    Latar Belakang
Negara-negara berkembang sering mengalami masalah dalam pembangunannya contohnya kurang memadai sumber daya manusianya, pemerintahan yang tidak transparan, dan lambatnya pertumbuhan ekonomi. Negara-negara berkembang cukup lama menjadi daerah jajahan negara-negara Barat dn dimiskinkan secara fisik dan mental. menganggap Negara-negara berkembang tidak merasakan manfaat dari pembangunan karena tidak mendapatkan bagian yang seimbang dari “kue pembangunan”. Negara-negara maju mencari wilayah yang menguntungkan di negara-negara berkembang, mengeksploitasi sumber daya yang dimiliki, dan melupakan tanggung jawabnya untuk membantu kesejahteraan negara-negara yang telah dikuras sumber dayanya. Selain itu negara-negara maju menerapkan tolak ukur dan aturan ekonomi yang menjadi standar negara-negara maju ke negara-negara berkembang. Telah lama pembangunan menjadi pembicaraan di kalangan akademisi dan telah banyak diskusi yang dilakukan untuk mencari solusi dari masalah pembangunan. Namun banyak yang belum menyadari seperti apakah dimensi pembangunan itu serta hal dasar apa yang harus dipenuhi oleh suatu pembangunan agar bisa berjalan sesuai dengan yang diinginkan.
Buthan adalah salah satu contoh negara berkembang yang belakangan populer dengan konsep Gross National Happiness (GNH)nya untuk menggantikan pengukuran Gross National Product (GNP) yang biasa digunakan oleh negara-negara di dunia untuk mengukur pertumbuhan ekonominya. Bhutan ingin membuktikan bahwa mereka bisa menemukan model pengukuran keberhasilan suatu negara yang tidak hanya berdasar pada pertumbuhan ekonomi tetapi juga memperhatikan aspek-aspek lainnya seperti hubungan sosial, budaya, dan perlindungan terhadap kelestarian alam. Telah banyak yang mempertanyakan kepopulerannya GNH dan hasil yang dapat diterima masyarakat Bhutan terkait dengan pembangunannya. Mengenai apakah GNH dapat memberikan pengukuran yang lebih baik dari GNP atau GNI akan dibahas lebih mendalam.
Selain itu konsep terbaru pembangunan yang diajukan oleh Amartya Sen yang menyatakan bahwa pembangunan yang baik adalah pembangunan yang didasarkan pada freedom. Freedom disini berarti kebebasan yang dimiliki oleh peserta pembangunan untuk mendapatkan hak untuk memilih cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sebagai bagian dari pelaku pembangunan. Menarik untuk mencoba melihat lebih jauh hubungan antara pembangunan yang berdasarkan pada GNH dengan konsep freedom of development.  Oleh karenanya paper ini akan membahas lebih jauh lagi tentang Gross National Happiness (GNH) dan hubungannya dengan pembangunan di Buthan.

2.    Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimana hubungan antara Freedom of Development terhadap Gross National Happiness (GNH) yang dirancang oleh Pemerintah Buthan? Sejauh mana hal itu berdampak pada tingkat pembangunannya?

3.    Ruang Lingkup
Tulisan ini membahas tentang freedom of development sebagai suatu standar definisi pembangunan terbaru dan mencoba membandingkannya dengan konsep Gross National Happiness yang dikembangkan oleh Pemerintah Buthan. Kemudian tulisan ini melihat tingkat keefektifannya dalam pembangunan di Buthan pada tahun 2000 – 2007 melalui tiga  indikator penting pembangunan dalam MDGs di Bhutan.

4.    Landasan Teori
     4.1. Pembangunan
Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas perekonomian nasional -yang kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama- untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan pendapatan nasional atau GNI (Gross National Income) tahunan pada tingkat katakanlah 5 persen hingga 7 persen, atau bahkan lebih tinggi lagi, jika hal itu memang memungkinkan. Indeks ekonomi lainnya yang juga sering digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan adalah tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita (income per capita) atau GNI per kapita. Indeks ini pada dasarnya mengukur kemampuan suatu negara untuk memperbesar outputnya dalam laju yang lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan penduduknya. Tingkat dan laju pertumbuhan GNI per kapita ‘riil’ (yakni, pertumbuhan GNI per kapita dalam satuan moneter dikurangi dengan tingkat inflasi) sering digunakan untuk mengukur sejauh mana kemakmuran ekonomis dari suatu bangsa secara keseluruhan. Pada masa lampau juga pembangunan ekonomi sering diukur dengan kemampun struktur produksi dan penyerapan tenaga kerja (employment) yang diupayakan secara terencana. Biasanya peran sektor pertanian akan menurun untuk memberi kesempatan kepada sektor manufaktur dan jasa untuk berkembang. Maka secara umum pembangunan yang dilakukan sebelum tahun 1970-an, pembangunan hayan dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro, 2006: 20)
Namun ketika pada tahun1950-an dan 1960-an, saat banyak negara-negara di dunia ketiga berhasil mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi sesuai dengan target namun gagal memperbaiki taraf hidup sebagian besar penduduknya, menunjukkan adanya kesalahan terhadap pembangunan yang dianut kala itu. Profesor Dudley Seers mempertanyakan hal yang mendasar mengenai pembangunan yang memperbaharui definisi pembangunan.
“Apa yang terjadi dengan kemiskinan di negara itu? Adakah perubahan yang berarti atas penanggulangan masalah ketimpangan pendapatan?Jika ketiga permasalahan tersebut selama periode tertentu sedikit teratasi maka tidak disangkal lagi bahwa periode tersebut merupakan periode pembangunan bagi negara yang bersangkutan. Akan tetapi jika satu, dua bahkan ketiga persoalan mendasar tersebut menjadi semakin buruk, maka negara tersebut tidak dapat dikatakan mengalami proses pembangunan yang positif meskipun selama beberapa kurun aktu pendapatan perkapitanya meningkat dua kali lipat.” [1]
           Bank Dunia yang awalnya mengagung-agungkan pertumbuhan ekonomi selama periode 1980-an sebagai tujuan utama pembangunan telah menyadai kesalahannya dan mulai bergabung dengan pengamat untuk mengambil perspektif yang lebih luas mengenai tujuan dan makna dasar dari pembangunan. Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensionalyang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi nasional disamping tetap mengejar pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Pembangunan itu harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman dan kebutuhan individu dan kelompok untuk mencapai suatu kehidupan yang lebih baik secara material maupun spiritual.
         Amartya Sen[2] mengatakan bahwa ada hubungan yang mendasar antara freedom dan development. Yang mana freedom menjadi unsur dasar dari pembangunan itu sendiri dan kunci penting untuk melihat aspek-aspek lainnya. Daripada hanya melihat pada pendapatan dan kekayaan, atau pada kepuasan mental (kaum utilitarianisme) atau hanya melihat melihat proses dari itu (kaum libertarian), Sen menunjukkan fokus pada apa yang disebutnya kemampuan yang merupakan kebebasan manusia yang substantif. Sen secara umum luas mengilustrasikannya sebagai berikut, membandingkan perbedaan antara China dan India, baik secara pendidikan maupun hal yang berhubungan dengan kesehatan dasar sebagai motor penggerak suatu pertumbuhan, dan yang juga penting adalah pengurangan angka kematian. Ada lima jenis kebebasan yang ditawarkan oleh Sen terlihat dalam sebuah perspektif "instrumental" yang telah diselidiki secara empiris. Hal itu adalah (1) kebebasan politik, (2) fasilitas ekonomi, (3) peluang dalam bidang sosial, (4) jaminan transparansi dan (5) proteksi keamanan. Masing-masing jenis berbeda dari hak dan kesempatan yang dimiliki membantu untuk memajukan kemampuan seseorang secara umum. Sen juga menekankan bahwa penilaian seseorang tentang seperti apa hidup yang dianggap berharga tidak sama dengan apa saja yang dapat memberikan kesenangan terhadap orang tersebut.

5.2 Developing Countries
       Cara paling umum untuk mendefinisikan negara berkembang[3] adalah dengan menggunakan pendapatan perkapita. Dalam sistem klasifikasi Bank Dunia, 208 perekonomian dengan jumlah populasi minimal 30.000 jiwa diurutkan berdasarkan tingkat pendapatan nasional bruto per kapita. Yang digolongkan menjadi lima jenis yaitu pendapatan rendah (Low Income atau LIC), pendapatan menengah bawah (Lower-Middle Income atau LMC), pendapatan menengah atas (Upper Middle Income atau UMC, pendapatan tinggi menurut OECD dan negara-negara dengan pendapatan tinggi lainnya. Secara umum yang termasuk negara-negara berkembang adalah negara-negara yang memiliki tingkat pendapatan rendah, menengah bawah dan menengah atas. Tahun 2003 pendapatan rendah didefinisikan sebagai negara dengan pendapatan bruto per kapit $765 atau dibawahnya. Negara yang memiliki pendapatan menengah bawah memiliki tingkat pendapatan antara $766 sampai dengan $3.035. negara berpendapatan menengah atas memiliki tingkat pendapatan antara $3.035 - $9.385, dan negara berpendapatan tinggi memiliki tingkat pendapatan $9.386 atau lebih. Namun beberapa negara yang memiliki pendapatan tinggi lainnya menurut PBB dimasukkan kedalam negara berkembang. Hal itu terjadi karena alasan bahwa negara berpendapatan tinggi memiliki satu atau dua sektor yang berkembang pesat namun sebagian besar dari populasinya secara relatif masih tidak mendapatkan pendidikan yang memadai atau memiliki tingkat kesehatan yang rendah, sebagi contoh Kuwait, Qatar dan UEA. Ada juga negara-negara yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sektor pariwisata namun mengalami masalah pembangunan yang mengiringi pertumbuhannya. Selain itu cara lain untuk menggolongkan negara-negara berkembang melalui tingkat hutang internasional mereka. Kadangkala ada perbedaan khusus yang dilakukan untuk negara-negara yang memiliki pendapatan menengah keatas, dengan mempertimbangkan beberapa diantaranya telah mencapai sektor manufaktur yang secara relatif lebih maju, sehingga dikenal sebagai negara-negara industry baru (newly industrializing countries atau NIC). Akhirnya United Nation Development Program (UNDP) mengelompokkan negara-negara berdasarkan tingkat pembangunan manusianya (Human Development Index atau HDI[4]), termasuk tingkat pencapaian kesehatan dan pendidikan.
5.3 Gross National Income
       Pendapatan Nasional Bruto (Gross National Income ) perkapita merupakan konsep yang paling sering dipakai sebagai tolak ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk suatu negara. Konsep GNI adalah indicator yang umum digunakan untuk mengukur besar kecilnya aktifits perekonomian secara keseluruhan. GNI adalah nilai tambah segenap kegiatan ekonomi yang dimiliki oleh penduduk di suatu negara, baik asset yang dimiliki di dalam negeri maupun di luar negeri tanpa dikurangi oleh depresiasi atas stok modal domestic. Sedangkan Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Products) adalah jumlah produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun. Dalam perhitungan GDP ini, termasuk juga hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan atau orang asing yang beroperasi di wilayah negara yang bersangkutan. Barang-barang yang dihasilkan termasuk barang modal yang belum diperhitungkan penyusutannya, karenanya jumlah yang didapatkan dari GDP dianggap bersifat bruto atau kotor. Jadi GNI sama dengan GDP ditambah pendapatan milik penduduk domestic yang dikirimkan dari negara lain berkat kepemilikan mereka atas faktor-faktor produksi (terutama modal dan tenaga kerja) di luar negeri dikurangi dengan pendapatan milik asing (perusahaan-perusahaan asing) berkat kepemilikan terhadap faktor-faktor produksi yang ada di negara tersebut. Apabila dalam suatu negara banyak terdapat warga negara asing yang memainkan peran penting dalam perekonomian domestic, maka perbedaan antara GNI dan GDP menjadi signifikan, karena jumlah pendapatan mereka sangat besar. [5]
5.4 Gross National Happiness
Kebahagiaan Nasional Bruto[6] (GNH) adalah suatu usaha untuk mendefinisikan kualitas hidup yang lebih holistik. Istilah ini diciptakan oleh Raja Bhutan Jigme Singye Wangchuck pada tahun 1972 saat menanggapi kritik yang dilontarkan padanya bahwa ekonomi negara semakin bertambah tumbuh buruk. Sebagai isyarat komitmennya untuk membangun ekonomi yang akan melayani budaya Bhutan didasarkan pada nilai-nilai Buddhis rohani. Penilaian Kebahagiaan Nasional bruto[7] (dalam bahasa Bhutan dikatakan zongkhargyal-yongs dga'a-skyid dpal-'dzoms) atau "GNH" dirancang dalam upaya untuk mendefinisikan indikator untuk mengukur kualitas hidup atau kemajuan sosial yang lebih holistik dan dan memiliki dampak psikologis daripada hanya indikator ekonomi dari produk domestik bruto (PDB). GNH[8] adalah sebuah program untuk revisi sosial dan ekonomi menuju implementasi dan pelembagaan keyakinan bahwa pembangunan harus mempromosikan kebahagiaan sebagai nilai utama. Sama pentingnya harus ditempatkan pada kebutuhan sosio-ekonomi pembangunan, spiritual, budaya dan emosional dari orang-orang. Pertumbuhan ekonomi hanya salah satu aspek yang meningkatkan kebutuhan sosial masyarakat dan tidak dilihat sebagai kekuatan yang mendominasi dalam pembangunan. GNH telah menjadi landasan filosofis untuk proses pembuatan kebijakan dan implementasi di Bhutan. Hal ini terlihat dalam Rencana 9 dan 10 Tahun Lima Bhutan, di mana GNH adalah struktur menyeluruh. Kebahagiaan Nasional Bruto berisi empat pilar utama:
• Pembangunan dan adil sosio-ekonomi yang berkelanjutan
• Konservasi lingkungan
• Pelestarian dan promosi budaya
• Promosi good governance
Pembangunan sosial ekonomi yang adil dan berkelanjutan tidak melarang pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, tetapi pembangunan tersebut diimplementasikan dengan menempatkan prioritas pada sektor kesehatan dan pendidikan. Diperkirakan bahwa lebih dari 30% dari anggaran nasional Bhutan dianggarkan pada sektor sosial. Ini adalah bukti dedikasi keuangan nyata dari komitmen pemerintah untuk memberikan penghidupan yang aman dan layak bagi warga negaranya yang bertujuan untuk mengembangkan populasi yang sehat dan berpendidikan. Dalam pernyataan yang sama, kapasitas dalam pengembangan keterampilan profesional untuk mengelola pembangunan telah menjadi program bersama dilaksanakan. Fasilitas penting lainnya pembangunan sosial secara luas mencakup seluruh negeri seperti sekolah, rumah sakit dan pusat-pusat pertanian. Selain itu, pembuat kebijakan telah memperkenalkan sebuah pajak penghasilan pribadi untuk mendistribusikan kekayaan yang lebih merata. Tidak ada definisi kuantitatif yang tepat dari GNH, tetapi unsur-unsur yang berkontribusi terhadap GNH tunduk pada pengukuran kuantitatif. Rendahnya tingkat kematian bayi, misalnya, berkorelasi positif dengan ekspresi subjektif dari kesejahteraan atau kebahagiaan dalam suatu negara. (Ini masuk akal, maka tidak ada lompatan besar untuk menganggap bahwa kematian prematur menyebabkan kesedihan.) Praktek ilmu sosial telah lama diarahkan untuk mengubah ekspresi subjektif dari sejumlah besar orang menjadi data kuantitatif bermakna, tidak ada perbedaan utama antara orang yang meminta "seberapa yakin Anda dalam perekonomian?" dan "seberapa puas anda dengan pekerjaan Anda?" GNH, seperti the Genuine Progress Indicator, mengacu pada konsep pengukuran kuantitatif kesejahteraan dan kebahagiaan. Kedua tindakan yang baik termotivasi oleh gagasan bahwa langkah-langkah subjektif seperti kesejahteraan yang lebih relevan dan penting daripada ukuran objektif lebih seperti konsumsi. Hal ini tidak diukur langsung, tetapi hanya faktor yang diyakini mengarah ke sana. Menurut Daniel Kahneman, seorang psikolog dari Universitas Princeton, kebahagiaan dapat diukur dengan menggunakan metode rekonstruksi hari, yang terdiri dalam mengingat-ingat kenangan hari kerja sebelumnya dengan menulis buku harian pendek
Konsep generasi kedua GNH, menyatakn kebahagiaan sebagai perkembangan sosial ekonomi metrik, hal ini diusulkan pada tahun 2006 oleh Med Jones, Presiden Internasional Institute of Management. Perkembangan langkah-langkah dengan melacak metrik sosial ekonomi dari tujuh area pengembangan termasuk kesehatan mental suatu bangsa dan kesehatan emosional. Nilai GNH diusulkan untuk menjadi indeks fungsi dari total rata-rata per kapita dari pengukuran berikut.:
·         Kestabilan Ekonomi: yang diindikasikan melalui survei secara langsung dan pengukuran statistik metric ekonomi seperti utang konsumen, pendapatan rata-rata rasio indeks harga konsumen dan distribusi pendapatan
·         Lingkungan yang Sehat : diindikasikan melalui survei secara langsung dan pengukuran statistik metric lingkungan seperti polusi, kebisingan dan lalu lintas
·         Kesehatan fisik: diindikamelalui pengukuran statistik dari metrik kesehatan fisik seperti penyakit parah
·         Kesehatan mental: diindikasikan melalui survei secara langsung dan pengukuran statistik metrik kesehatan mental seperti penggunaan antidepresan dan indikator kenaikan dan penurunan dari pasien psikoterapi
·         Tempat kerja yang nyaman: diindikasikan melalui survei secara langsung dan pengukuran metrik statistik ketenagakerjaan seperti klaim pengangguran, perubahan pekerjaan, tempat kerja dan tuntutan hukum pengaduan
·         Kesehatan sosial: diindikasikan melalui survei secara langsung dan pengukuran statistik metrik sosial seperti diskriminasi, keselamatan, angka perceraian, konflik domestik keluhan dan tuntutan hukum keluarga, tuntutan hukum publik, kejahatan tingkat
·         Kesehatan Politik: diindikasikan melalui survei secara langsung dan pengukuran statistik metrik politik seperti kualitas demokrasi lokal, kebebasan individu, dan konflik asing.
5.5 Millenium Development Goals
       Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals[9] atau MDGs) adalah Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000, berupa delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015. Targetnya adalah tercapai kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada 2015. Target ini merupakan tantangan utama dalam pembangunan di seluruh dunia yang terurai dalam Deklarasi Milenium, dan diadopsi oleh 189 negara serta ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York pada bulan September 2000 tersebut. Pemerintah Indonesia turut menghadiri Pertemuan Puncak Milenium di New York tersebut dan menandatangani Deklarasi Milenium itu. Deklarasi berisi sebagai komitmen negara masing-masing dan komunitas internasional untuk mencapai 8 buah sasaran pembangunan dalam Milenium ini (MDG), sebagai satu paket tujuan yang terukur untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Penandatanganan deklarasi ini merupakan komitmen dari pemimpin-pemimpin dunia untuk mengurangi lebih dari separuh orang-orang yang menderita akibat kelaparan, menjamin semua anak untuk menyelesaikan pendidikan dasarnya, mengentaskan kesenjangan jender pada semua tingkat pendidikan, mengurangi kematian anak balita hingga dua pertiga , dan mengurangi hingga separuh jumlah orang yang tidak memiliki akses air bersih pada tahun 2015.

6. Pembahasan
6.1 Profil Bhutan
     Bhutan adalah sebuah negara kecil di Asia Selatan yang berbentuk Kerajaan dan dikenal dengan Negeri Naga Guntur. Wilayahnya terhimpit antara India dan Republik Rakyat Cina. Nama lokal negara ini adalah Druk Yul, artinya "Negara Naga". Pemerintahan yang dijalankan dengan kekuasaan monarki absolut berakhir ketika konstitusi baru dan pemilihan perdana menteri dilaksanakan. Raja Jigme Singye Wangchuck yang memimpin sejak tahun 1972 mengumumkan menggelar pemilu tahun 2008, sekaligus turun tahta. Pengumuman disampaikan dihadapan 8.000 penggembala hewan yak, biksu, petani, dan siswa pedesaan pada 18 Desember 2005. Pengumuman disebarkan melalui harian Kuensel. Sebelumnya, raja memperkenalkan rancangan konstitusi dan menyatakan pensiun pada usia 65 tahun. Pada 1998, Raja Jigme Singye Wangchuck memperkenalkan reformasi politik signifikan, memindahkan sebagian besar kekuasaannya kepada Perdana Menteri dan mengizinkan panggilan pertanggungjawaban pada raja oleh dua pertiga mayoritas Majelis Nasional. Dalam sistem baru ini terdapat parlemen yang terdiri dari majelis tinggi dan majelis rendah — anggota majelis rendah terafiliasi dengan partai-partai politik. Pemilihan anggota majelis tinggi dilaksanakan untuk pertama kalinya pada Desember 2007 sementara pemilihan anggota majelis rendah dilaksanakan pada Maret 2008. Partai Perdamaian dan Kesejahteraan Bhutan memenangi pemilihan majelis rendah dengan meraih 44 dari 47 kursi. Di akhir 2003, tentara Bhutan berhasil meluncurkan operasi skala besar untuk meredam para pengacau anti-India yang menjalankan kamp pelatihan di Bhutan selatan. Pada 1999, sang Raja mencabut larangan TV dan Internet, membuat Bhutan salah satu dari negara terakhir yang memperkenalkan TV. Dalam pidatonya, ia berkata bahwa TV adalah langkah penting buat modernisasi Bhutan seperti sumbangan utama pada Kebahagiaan Nasional Bruto negeri ini (Bhutan ialah satu-satunya negara yang mengukur kebahagiaan) namun memperingatkan penyalahgunaan TV yang bisa menggerus nilai-nilai tradisional Bhutan. Meski menjadi salah satu yang terkecil di dunia, ekonomi Bhutan telah berkembang pesat sekitar 8 persen  pada 2005 dan 14 persen pada 2006. Per Maret 2006, pendapatan per kapita Bhutan adalah US$ 1.321 yang membuatnya tertinggi di Asia Selatan. Standar hidup Bhutan berkembang dan merupakan salah satu yang terbaik di Asia Selatan. Ekonomi Bhutan adalah salah satu yang terkecil dan kurang berkembang di dunia, yang berbasis pertanian, kehutanan, dan penjualan PLTA ke India. Pertanian menyediakan mata pencaharian untuk lebih dari 80% penduduk. Praktek agraria sebagian besar terdiri atas pertanian subsisten dan peternakan hewan. Kerajinan tangan, khususnya menjahit dan produksi seni keagamaan untuk altar rumah merupakan industri kecil milik rakyat dan sumber sekian pendapatan.

6.2 Pengembangan Gross National Happiness (GNH) oleh Pemerintah Bhutan 
      GNH berusaha untuk memaksimalkan kebahagiaan dari semua penduduk Bhutan untuk memungkinkan mereka untuk mencapai pemberdayaan penuh sebagai manusia dan melalui ‘jalur alternatif’ yang melampaui pendapatan yang berbasis cara-cara konvensional dalam suatu pembangunan. Pendekatan GNH berusaha untuk mengintegrasikan dasar aspirasi kebahagiaan manusia dan sebagian besar berwujud aspek kebutuhan spiritual (non-materi) dan budaya dalam pembangunan.
      Merefleksikan pentingnya GNH pada publik sebagai promosi yang memungkinkan kondisi masyarakat yang dapat menerima GNH telah diabadikan sebagai prinsip penting dari kebijakan negara berdasarkan Pasal 9 dari Konstitusi Bhutan. GNH sebagai ‘benda’ milik publik Bhutan telah secara luas dilaksanakan melalui empat prioritas strategis daerah yang adil dan berkelanjutan, concern terhadap konservasi lingkungan, pelestarian dan promosi budaya dan good governance. Baru-baru ini, atas dasar rekomendasi berasal dari bidang good governance dilakukan penambahan satu program oleh Royal Pemerintah pada tahun 2005 yaitu bidang olahraga, sebagai upaya yang dilakukan untuk menetapkan indikator yang relevan untuk GNH dalam membangun sebuah Indeks Pembangunan Manusia dan menangkap esensinya.

6.3 Relevansi GNH dengan “Freedom” of Development
       Amartya Sen mengemukakan bahwa kebebasan yang lebih luas mencakup proses dan peluang, dan diperlukannya suatu pengakuan tentang heterogenitas dari komponen yang berbeda dalam sebuah kebebasan. Kebebasan mencakup tentang pembangunan secara konstitufif dan instrumental sehingga: kebebasan berperan meliputi kebebasan politik, fasilitas ekonomi, kesempatan sosial, transparansi, dan keamanan, yang semuanya berbeda namun saling terkoneksi. Mengukur kesejahteraan dengan menggunakan konsep utilitas tidak menawarkan perkembangan yang lebih baik dalam mengukur tingkat konsumsi sebagai bagian dari pencarian makna sebenarnya dari pembangunan. Apabila utilitas disamakan dengan kesenangan maka sangat mungkin seseorang yang sangat miskinuntuk memiliki utilitas yang sangat tinggi. Kadang-kadang seseorang yang kekurangan gizi dapat saja sangat bahagia dan puas. Saat tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah kondisi keterbelakangan seseorang, sikap memiliki kebahagiaan subjektif memiliki kelebihan tersendiri dari sisi spiritual, namun tetap saja tidak akan dapat mengubah kondisi riil dan objektif sebenarnya. Secara khusus sifat seperti diatas tidak akan mencegah seorang gelandangan miskin yang bahagia untuk bebas dari penyakit dan memiliki tempat tinggal yang tetap karena menurut Sen functioning bukanlah perasaan tetapi adalah pencapaian. Pembangunansecara luas dapat didefinisikan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan dari masyarakat atau sistem sosial secara keseluruhan dengan tiga komponen utama yaitu kecukupan (kebutuhan dasar yang terpenuhi yang terdiri dari sandang, pangan, papan, kesehatan dan keamanan), Harga diri sebagai manusia seutuhnya (lebih kepada sebuah penghargaan) dan kebebasan dari sikap menghamba (kemampuan untuk memilih, berdiri tegak dan tidak diperbudak oleh pengejaran aspek-aspek materiil dalam hidup ini. 
Hal yang dipahami Sen tentang freedom lebih kepada peningkatan kualitas manusianya saja, walaupun ia telah memberikan penegasan bahwa freedom adalah pondasi dasar dari pembangunan dan setiap orang ataupun negara yang merdeka lebih mudah mencapai tujuan pembangunan tersebut. Demokrasi dan pemerintahan transparan juga menjadi standar yang penting baginya. Namun ia memandang unsur perasaan dari freedom itu dengan terlalu sangat sederhana. Ia menyamakan perasaan bahagia karena kebebasan itu hanya dengan orang miskin yang mensyukuri hidupnya dengan menerima keadaannya tanpa mau memikirkan kemajuan dan pencapaian untuk taraf hidup yang lebih baik.
Raja Buthan menyatakan bahwa perasaan bahagia itu tidak sesempit itu, ia berpikir sesuatu yang membuat orang berbahagia adalah sesuatu yang menimbulkan kesejahteraan. Ia menganggap Human Development Index sebagai komponen penting dalam pembangunan di negaranya. Pengukuran Gross Nasional Happiness mengandung nilai-nilai pembangunan kualitas manusia dengan memberikan layanan pendidikan, layanan kesehatan dan kesempatan pada rakyat untuk melakukan pemilu pada tahun 2008 setelah ia turun tahta. Pemerintah Bhutan memasukkan agenda Millenium Development Goals (MDGs) sebagai dasar pembangunan di negaranya. Ia bersedia melonggarkan aturan kerajaan yang berguna untuk mendukung kemajuan negaranya seperti masyarakatnya mulai bisa memanfaatkan layanan teknologi seperti televisi untuk melihat perkembangan dunia. Namun satu hal yang ia tekankan adalah jangan sampai kelonggaran yang telah diberikan membuat masyarakatnya lupa untuk menjaga tradisi dan kekayaan alam yang dimiliki sehingga pembangunan yang berkelanjutan tetap dapat memberikan manfaat jangka panjang tanpa merusak hal-hal baik yang sudah ada. Sehingga GNH benar-benar memberikan peningkatan kualitas hidup yang tetap bersinergi pada nilai-nilai tradisional.

6.4 Pengaruh Gross National Happiness Terhadap Pembangunan di Bhutan terkait Program MDGs
Bhutan bersama dengan 189 negara anggota lainnya mengadopsi Deklarasi Milenium PBB pada tahun 2000, berkomitmen untuk kemitraan global baru untuk mengurangi tingkat kemiskinan yang ekstrim dan menetapkan serangkaian target yang terikat tenggat waktu hingga  tahun 2015 yang dikenal sebagai Millennium Development Goals (MDGs). Dalam Kesepuluh Draft Rencana Pembangunan Lima Tahun Bhutan mencerminkan orientasi MDG yang concern dengan pengurangan kemiskinan sebagai kunci utama. MDGs telah dianjurkan secara efektif di Buthan untuk meningkatkan dukungan sosial terhadap program MDG secara nasional. Garis besar konsensus global tentang inti dari program pengembangan pembangunan MDGs yang disepakati ini tidak dimaksudkan untuk menjadi tolak ukur paten (one fit for all) bagi pendekatan pembangunan di setiap negara. Dengan demikian, MDGs meletakkan dasar normatif untuk kemitraan pembangunan global dan memainkan peran penting dalam penataan pembangunan dalam isu-isu kunci yang memungkinkan pada pendekatan yang lebih efisien dan berorientasi pada pembangunan manusia. Hal yang mudah untuk mengkoneksikan MDGs dalam kerangka pembangunan nasional di Bhutan dapat dikaitkan dengan harmoni dan kompatibilitas warganya yang diukur dengan Kebahagiaan Nasional Bruto (GNH), sebuah paradigma pembangunan dan visi dari negara tersebut.

                 Tabel diatas mencoba menjelaskan bahwa GNH yang dijalankan oleh pemerintah Bhutan bersinergi dengan tujuan program MDGs. Dalam setiap bagian program MDGs terkandung nilai-nilai yang dimiliki oleh GNH. Empat pilar dalam GNH yang dimiliki Bhutan mencoba mendasari program MDGs. Pilar GNH yang pertama adalah pembangunan sosial ekonomi yang berkelanjutan yang mencakup tujuan MDGs no.1 yaitu pengurangan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim. Kemudian pilar konservasi lingkungan mengacu pada tujuan MDGs no.7 yaitu menjaga kelestarian lingkungan. Program MDGs yang meliputi pendidikan dan kesehatan berusaha mengajarkan pentingnya pelestarian budaya dan lingkungan yang sehat bagi masyarakatnya. Dan good governance menjadi dasar penting untuk mencapai tujuan MDGs yang disesuaikan dengan nilai-nilai dalam GNH sehingga membantu peningkatan kualitas pembangunan di Buthan. 
Sedangkan bidang-bidang spesifik GNH meliputi edukasi yang menyentuh tujuan MDGs no.2 dan 3 yaitu memberikan pendidikan dasar dan mempromosikan kesetaraan gender. Domain kesehatan berhubungan dengan tujuan MDGs nomor 4, 5 dan 6 yaitu mengurangi kematian bayi, meningkatkan kesehatan ibu hamil dan melawan penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya. Bidang GNH yang berhubungan dengan standar pencapaian ekonomi mengacu pada tujuan MDGs no.1 yaitu mengurangi tingkat kemiskinan dan akses terhadap keamanan properti. Masalah pelestarian lingkungan menjadi hal yang paling penting dan mendasar karena Buthan tidak memiliki akses ke laut dan hanya bergantung pada mata air yang berasal dari gletser, maka sangatlah penting untuk menjaga kelestarian hutan demi keberlangsungan akses terhadap air bersih dan sanitasi yang sehat bagi masyarakatnya. Pemberian pendidikan formal maupun informal bagi para generasi mudanya dikembangkan agar mereka bisa menjadi mesin-mesin pembangunan yang kompeten yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidupnya. 

6.4.1 Spesifikasi Tiga Program MDGs dalam Pembangunan Bhutan yang berlandaskan Pada Pengukuran GNH
6.4.1.1 Pengentasan Kemiskinan
 
Bhutan telah mencapai angka yang luar biasa untuk pengentasan kemiskinan dengan proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional yang hingga sepertiga penduduknya antara tahun 2000 dan 2007. Penurunan tingkat kemiskinan telah dimungkinkan melalui pertumbuhan ekonomi yang pesat dan investasi sosial berkelanjutan termasuk pendidikan dan kesehatan. Dalam 2000, 36,3% dari populasi hidup di bawah garis kemiskinan yang mengalami penurunan sebesar 23,2% pada tahun 2007. Pada tingkat ini  Bhutan mungkin akan mencapai tujuan pengurangan kemiskinan dan benar-benar dapat menurunkannya sebelum 2015. Kesepuluh target yang menjadi rencana negara untuk pengentasan kemiskinan adalah dengan mengurangi proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan menjadi 15% atau kurang pada tahun 2013. Hal yang menggembirakan adalah target nasional ternyata melebihi target awalnya yaitu mengurangi proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional sebesar 20%. Selain itu hal ini ternyata dicapai dua tahun lebih cepat dari 2015. Di masa lalu, skala kemiskinan secara signifikan lebih tinggi di pedesaan Bhutan dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Kemiskinan di perkotaan diperkirakan sebesar 1,7% dibandingkan dengan kemiskinan di pedesaan yang mencapai 30,9%. Namun, sejak tahun 2000-an perkotaan dan pedesaan menunjukkan penurunan terhadap kemiskinan. Sejak tahun 2003, kemiskinan  di perkotaan dan pedesaan di negara ini telah berkurang masing-masing 4,2% dan 38,3%. Kemiskinan yang kontras ditunjukkan di beberapa kabupaten seperti Zhemgang, Samtse, Monggar, Lhuentse dan Samdrupjongkhar yang masih tinggi tinggi dengan kisaran 52,9% sampai 38%.
Kesenjangan rasio kemiskinan tidak hanya menghitung kemiskinan tapi juga mempertimbangkan seberapa miskinkah mereka. Data untuk tahun untuk tahun 2004 dan 2007 yang mencerminkan moderat penurunan rasio kesenjangan kemiskinan dari 8,6% menjadi 6,1% pada tingkat nasional atau secara efektif berkurang sebesar 29%. Tingkat kesenjangan rasio kemiskinan di pedesaan juga menurun dari 10,5% menjadi 8,1% mencerminkan sedikit lebih rendah dibandingkan nasional rata-rata. Dengan ukuran ini, keparahan kemiskinan menurun di Bhutan dari 3,1% menjadi 2,3% pada tingkat nasional dan dari 3,8% sampai 3% di daerah pedesaan. 
6.4.1. 2 Human Development Index (HDI) dan Gross National Income
Bhutan memiliki catatan penting dalam menghilangkan kesenjangan manusia yang diukur melalui kemajuan yang mengesankan guna memajukan pembangunan manusia di negara tersebut. Harapan hidup telah naik sekitar 30 tahun sejak 1961. Kematian bayi telah turun dari lebih dari 206 per 1.000 hidup kelahiran menjadi 40 pada tahun 2006. Kematian ibu secara signifikan berkurang dari 770 per 100.000 kelahiran pada tahun 1987 untuk 250 per 100.000 hidup kelahiran pada tahun 2000. Banyak masalah kesehatan terkait dengan kemiskinan dan masalah kebersihan telah diberantas dan besar penyakit yang sebelumnya merajalela seperti tuberkulosis dan malaria sekarang di bawah kendali. Kemajuan dalam pendidikan telah sama-sama mengalami peningkatan yang signifikan.  Pada awal tahun enam puluhan, Bhutan memiliki hanya beberapa sekolah dengan sekitar 500 siswa, kebanyakan dari mereka adalah anak laki-laki. Saat ini ada 157.112 siswa di 523 sekolah (tidak termasuk sekolah-sekolah monastik dan pusat nonformal pendidikan). Bhutan juga mendekati target mencapai dasar pendidikan universal dengan paritas virtual gender di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Tingkat melek huruf orang dewasa juga meningkat dari sekitar 10% pada 1970 menjadi 53% pada tahun 2005. Kemajuan di bidang kesehatan dan pendidikan telah disertai dengan kemajuan pesat di area lain dalam pembangunan manusia. Kebanyakan orang Bhutan sekarang memiliki akses ke sumber air minum (84%) dan sanitasi yang baik (89%) yang di masa lalu berada di antara terendah di dunia. Kenaikan tingkat pendapatan diukur dengan PDB per kapita juga meningkat pesat dari sekitar US $ 51 pada tahun 1961 menjadi sekitar US $ 1.419 Pembangunan manusia di Bhutan p diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang telah meningkat pesat dari awalnya hanya dengan tingkat rendah menjadi pembangunan menengah level satu.

6.4.1.3 Pelestarian Lingkungan
Pelestarian lingkungan sangat diperhatikan dan dihargai secara luas oleh masyarakat Bhutan karena sumber banyak warga 'mata pencaharian yang tergantung pada lingkungan alami mereka, terutama mereka yang bekerja dalam bidang pertanian. Hal ini umumnya diyakini bahwa aktivitas yang tidak bertanggung jawab di alam akan mengakibatkan hasil negatif dank arena itu akan mempengaruhi GNH.
Kebanyakan masyatakat Bhutan menerima kenyataan bahwa lingkungan harus dipertahankan untuk orang lain dan generasi masa depan, membatasi degradasi lingkungan yang parah. Manfaat pelestarian lingkungan yang diamati oleh kebijakan GNH meliputi:
• karakterisasi negara sebagai pusat keanekaragaman hayati
• kebijakan peningkatan pelestarian lingkungan
• mempertahankan kawasan hutan seluas 72%, maupun kawasan hutan lindung sekitar 26 %
• negara akan tetap melindungi 60% dari hutannya hutan.

6.5 Tantangan dan Peluang Gross National Happiness di Bhutan
Masalah pengukuran kesejahteraan dan kebahagiaan telah diperdebatkan secara luas di berbagai negara yang dilihat pada sisi manfaat dan relevansinya. Ada yang berpendapat bahwa konsep GNH adalah sangat kompleks dan multi-dimensi dengan sangat subjektif dan aspek kualitatif yang tidak mudah untuk pengukuran. Lainnya melihat bahwa GNH lebih baik ditinggalkan sebagai sebuah konsep pengembangan menyeluruh yang harusnya dikurangi standar idealnya yang terlalu tinggi. Pada sisi lain, ada banyak yang merasa bahwa usaha pembangunan di dalam negeri akan lebih baik dilakukan dengan memiliki ukuran yang nyata yang dapat digunakan untuk menilai kemajuan nasional menuju tujuan yang ideal. Argumen terakhir ini juga mengakui bahwa sementara setiap tindakan GNH seperti tidak pernah bisa menangkap keragaman penuh, signifikansi dan kompleksitas dari GNH, mengembangkan ukuran kuantitatif yang sesuai akan membantu menyederhanakan suatu realitas yang sangat kompleks dan mengoperasionalkan secara lebih efektif.
Pada tahun 2005 sebuah rekomendasi penting ditambahkan pada pilar GNH yang belum ada sebelumnya yaitu good governance. Hal tersebut penting guna memberi standar dan pengaturan dalam mengembangkan ukuran pembangunan di Bhutan yang mengutamakan Indeks Pembangunan Manusia berdasarkan pengukuran dengan standar GNH. Selanjutnya, Pusat Studi Bhutan dipercayakan dengan tugas untuk mengembangkan dan mengusulkan hal-hal yang sesuai digunakan untuk mengukur pembangunan untuk menangkap esensi dari GNH dan memfasilitasi pelacakan atas kemajuannya. Indeks GNH juga disebut Indeks Pembangunan Bhutan (BDI), diharapkan memungkinkan penilaian yang sistematis dari dampak positif atau negatif dari kebijakan pembangunan dan proyek dalam GNH. Ini akan memberikan Pemerintah Kerajaan alat analisis untuk meninjau dan menyempurnakan kebijakan dan desain proyek-proyek pembangunan tepat untuk menimbulkan suatu pembangunan yang ramah dengan konteks GNH.
Selain itu, sebagaimana ditetapkan dalam GNH dengan penambahan good governance 2005 yang akan membantu publik Bhutan untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan. Sembilan domain yang mencakup indeks GNH berhubungan dengan bidang kesejahteraan psikologis, keragaman dan ketahanan budaya, pendidikan, kesehatan, penggunaan waktu, tata pemerintahan yang baik, vitalitas masyarakat, ekologi keragaman dan ketahanan ekonomi dan peningkatan standar hidup. Pengukuran terhadap daerah-daerah di Bhutan melalui sejumlah indikator / indeks ditentukan berdasarkan survei pilot project dan Survey GNH Nasional yang diselenggarakan pada tahun 2006 dan 2008. Indeks komposit GNH akan dikumpulkan dari berbagai indeks dan indikator dari sembilan domain GNH dengan weightages yang disediakan. Indeks-indeks dan indikator ini saat ini terdiri dari 48 indikator total - termasuk berbagai faktor dengan bantalan yang signifikan pada kebahagiaan individual dan kolektif. Ini termasuk kesehatan indeks mental, indeks hubungan dalam keluarga, indikator keamanan keuangan, indicator hari sehat per bulan, indeks berat tubuh, indikator tingkat pendidikan, indikator kesehatan udara setempat dan indikator pencemaran air, indikator kepemilikan rumah, indikator hak asasi manusia, indeks kinerja pemerintah, dll. Sebagian besar program yang dijalanka ini selain yang berkaitan dengan beberapa aspek yang lebih berwujud indikator manusia kesejahteraan, memiliki hubungan kuat dengan MDGs, terutama untuk kemiskinan, sosial (seperti pendidikan, kematian ibu dan anak dan kesetaraan gender) dan mencapai tujuan kelestarian lingkungan. Mengingat sifat dari kebahagiaan manusia dan kesejahteraan, evolusi dan strategi kebijakan GNH dan indeks tentu harus mengikuti proses akhir yang dinamis, inklusif dan terbuka yang membutuhkan mempertimbangkan kepentingan relatif dari variabel yang berbeda dan faktor-faktor kebahagiaan, kesejahteraan yang relevan atau mungkin tidak relevan bagi masyarakat Bhutan pada suatu titik waktu tertentu. Intensitas konsultasi publik yang lebih luas di Bhutan yang dilaksanakan secara berkala dan survey rutin akan sangat diperlukan untuk tujuan ini.

7. Kesimpulan
            Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Gross National Happiness (GNH) begitu memikirkan hal-hal yang riskan yaitu bagaimana mensinergikan rencana pembangunan dengan perencanaan yang matang serta pengevaluasian yang baik terhadap setiap program-programnya. Walaupun Bhuthan tidak memiliki tingkat kemajuan (misalnya di bidang teknologi yang tinggi) karena sebagian penduduknya masih bekerja sebagai petani subsistence, namun negara ini mampu memahami bahwa pembangunan tidak semata-mata untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi saja. Perasaan bahagia dari pencapaian itu memiliki essensi yang lebih krusial. Karena orang tidak akan bahagia bila ia mengetahui apa yang dilakukannya tidak menimbukan manfaat bagi kebaikan dan dilakukan secara kontinyu. GNH mulai dilirik oleh negara-negara di seluruh dunia dan mencoba mengadopsi nilai-nilai pembangunan Bhutan. Negara-negara lain juga secara antusias membantu Bhutan (dengan mengadakan konferensi tahunan untuk membahas GNH) untuk memperbaiki setiap asas yang ada didalamnya dengan harapan GNH bisa dijadikan alat ukur pembangunan yang lebih baik yang tidak hanya memberikan freedom pada pencapaian ekonomi namun juga pada unsur perasaan.



Referensi

Sen, Amartya. 1999. Development As Freedom. Oxford University Press.
Todaro, Michael P.  dan Stephen C. Smith. 2006. Ekonomi Pembangunan Edisi Kesembilan. Jakarta: Penerbit Erlangga
Gross National Happiness – Bhutan’s Vision of Development and its Challenges http://www.bhutan2008.bt/ndlb/typescripts/10/GNH_Ch3_Priesner.pdf
\http://www.gnhc.gov.bt/ gross national happiness commission





[1] Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith. 2006. Ekonomi Pembangunan Edisi Kesembilan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. 20-21
[2] Sen, Amartya. 1999. Development As Freedom. Oxford University Press

[3] Walaupun demikian karakterisasi negara-negara berkembang  seperti Afrika sub-Sahara, Afrika Utara dan Timur Tengah, Asia kecuali Jepang Amerika Latin dan Kepulauan Karibia, serta negara-negara transisi seperti Eropa Timur dan Asia Tengah termasuk negara-negara mantan Uni Soviet member generalisasi yang bermanfaat
[4] HDI mencoba memeringkat semua negara dari skala 0 (tingkat pembangunanmanusia yang paling rendah) hingga 1 (tingkat pembangunan manusia yang tertinggi) berdasarkan tiga tujuan atau produk akhir pembangunan yaitu: masa hidup (longevity), yang diukur dengan usia harapan hidup, pengetahun (knowledge) yang diukur dengan kemampuan baca tulis orang dewsa sevcara berimbang (dua pertiga) dan tahun sekolah (sepertiga), dan standar kehidupan (standard of living) yang diukur dengan pendapatan perkapita, yang disesuaikan dengan paritas daya beli (PPP)dari mata uang setiap negara untuk mencerminkan biaya hidup dan memenuhi asumsi utilitas marjinalyang semakinmenurun dari pendapatan, 
[5] Perbandingan GNI per kapita antara negara maju dan berkembang ada kalanya melenceng karena menggunakan kurs resmi untuk mengubah nilai mata uang dari berbagai negara berkembang ke dalam dolar As. Dalam kenyataannya nilai tukar uang di negara-negara dunia ketiga jauh lebih rendah ketimbang angka-angka nilai tukar resminya. Maka para peneliti mencoba membandingkan data-data GNI dan GDP berdasarkan paritas daya beli (PPP)
[6] http://en.wikipedia.org/wiki/Gross_national_happiness
[7] http://www.3833.com/node/901
[8] http://www.undp.org.bt/Governance/GNH/the%20philosophy%20of%20GNH.pdf
[9] http://id.wikipedia.org/wiki/Sasaran_Pembangunan_Milenium