BERCERMIN PADA KISAH BAYI YUE - YUE DAN DALAI LAMA
People
are made to be loved and things are made to be used
the
confusion in this world is that people are used and things are loved
-----from
positive outlooks
Perkembangan
dunia selalu dikaitkan dengan globalisasi dan kemajuan dalam hal yang bersifat fisik
atau kasat mata seperti gedung-gedung pencakar langit, manusia pintar,
teknologi canggih, tumpukan uang, sistem ekonomi-politik yang selama ini menjadi
“euphoria” cerita kesuksesan manusia
yang dipengaruhi globalisasi. Peradaban memang erat kaitan dengan pencapaian
segala hal yang terlihat oleh mata telanjang. Namun, tidak sedikit yang lupa
bahwa peradaban justru tegak di atas fondasi yang tak kasat mata, yaitu
komitmen pada moralitas. Saat peradaban itu tegak dan tumbuh, barangkali
moralitas terabaikan untuk dilihat, mengingat hal-hal kasat mata segera
memenjarakan setiap orang yang melihatnya. Banyak orang baru tersadar bahwa
moralitaslah fondasi dari kokohnya peradaban saat peradaban sudah runtuh.
Keruntuhan peradaban selalu bersamaan dengan kisah penyelewengan moral tingkat
tinggi. Maka dengan landasan pernyataan diatas yang menjadi fokus utama dalam
esai ini adalah permasalahan lunturnya keberadaban dalam peradaban manusia
ditengah arus globalisasi.
Antara
manusia dan peradaban mempunyai hubungan yang erat karena diantara keduanya
saling mendukung dan menciptakan kehidupan sesuai kodratnya. Peradaban bisa
muncul karena manusia yang menciptakannya dan manusia juga yang menjalankannya.
Suatu peradaban mempunyai wujud, tahapan dan dapat berubah sesuai dengan
perkembangan jaman. Peradaban mengakibatkan berubahan kehidupan sosial dan
menjadi manusia yang beradab diartikan sebagai manusia yang memiliki budi
pekerti yang tinggi. Istilah peradaban dalam bahasa Inggris disebut civilization. Definisi peradaban menurut
Koentjaraningrat[1]
adalah unsur kebudayaan yang halus, maju, indah, misalnya seperti kesenian,
ilmu pengetahuan, adat sopan santun, pergaulan, organisasi kenegaraan, sistem
teknologi dan masyarakat kota yang maju dan kompleks dengan wujud moral, norma,
etika dan estetika. Sedangkan menurut
Samuel Huttington mengemukakan bahwa peradaban atau civilization adalah:
“The
highest culture grouping of people and the broadest level of cultural identity
people have short of that which distinguishes humans from other
species…Civilization are the biggest “we” within which we feel culturally at
home as distinguished from all other “thems” out there.” (Huntington, 1996:43)[2]
Menurut Huttington manusia akan
terbagi dalam kelompok-kelompok dan konflik antarperadaban akan didominasi oleh
hal-hal yang bersifat kultural. Ia membagi peradaban manusia kedalam tujuh
macam yaitu peradaban Barat, Amerika Latin, Confucian, Japanese, Islam, Hindu
dan Slavic-Orthodox (Huntington, 1993: 26). Huntington mengatakan bahwa konflik
di masa depan akan terjadi saat negara-negara Non-barat bereaksi terhadap
kekuatan yang dimiliki oleh Barat dan nilai terpenting dari kebudayaan Barat
seperti hak asasi manusia tidak terlalu diperhatikan di negara - negara Non-Barat.
Teori yang dikemukannya mendapat kritik karena terlalu tersimplifikasi dengan
mengabaikan konflik yang terjadi di dalam masing-masing peradaban dan konflik
antar-manusia itu sendiri.
Globalisasi dipahami sebagai suatu
gelombang yang melanda dunia dalam interaksi yang menghubungkan aktivitas
manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, dengan meningkatnya
interdependensi yang tidak lagi dibatasi oleh batas-batas wilayah negara,
sebagai hasil dari hilangnya penghalang ruang dan waktu. Globalisasi
mengguncang kehidupan manusia dengan banjir informasi yang memasuki pemikiran
manusia dengan begitu deras akibat kemajuan teknologi yang sangat cepat.
Berbagai bidang kehidupan mendapat pengaruh globalisasi mulai dari kebudayaan,
ekonomi, politik, sosial yang mengalami transformasi yang cepat dan luas
sehingga kadang dipahami sebagai keterputusan hubungan dengan masa lalu.
Semakin banyak yang setuju bahwa sekarang ini terjadi metamorphosis sejati
dalam hubungan antarmanusia atau terjadinya perubahan peradaban. Perubahan ini
menimbulkan berbagai gejala komulatif yang menimbulkan keresahan dan ketakutan
bahwa saat kemajuan ekonomi yang begitu diagung-agungkan, kekuasaan politik
yang begitu dibanggakan akan menggeser manusia yang memiliki keterampilan yang
kurang sehingga tidak dapat menikmati manfaat dari peradaban baru yang sedang
muncul ini. Metamorphosis sosial oleh globalisasi mempengaruhi setiap aspek
kehidupan pribadi masyarakat, hubungan kemanusiaan dengan ruang dan waktu,
hubungan sosial di tempat kerja dan lingkungan masyarakat, status perempuan,
adat istiadat, nilai dan hubungan kekuasaan. Hal ini diawali dengan penyebaran
ilmu pengetahuan ke dalam seluruh aktivitas manusia yang memunculkan masalah
yang akut dalam pengaturan ekonomi dan keseimbangan lingkungan, serta menuntut
kemajuan fundamental dalam bidang etika.[3]
Hal ini menuntut diterimanya pembaruan atau modernisasi kebudayaan dan evolusi
ikatan sosial, yang memerlukan perombakan menyeluruh dalam cara berfikir
mengenai sistem organisasi, politik dan pendidikan. Globalisasi saat ini
sebaiknya tidak dipandang hanya pada kekuatan finansial dan ekonomi, namun
lebih pada hubungan timbal balik terhadap kondisi kehidupan dan hubungan antar
manusia yang menuntut partisipasi setiap warga dunia bukan hanya pribadi atau
kelompok-kelompok pemegang kekuasaan dalam hal politik, ekonomi maupun
informasi.
Gencarnya globalisasi mewarnai
peradaban manusia saat ini ditandai dengan berbagai penemuan baru dan terobosan
baru yang melahirkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Pertanyaannya
kemudian adalah apakah globalisasi mengarahkan manusia pada budaya yang homogen
atau heterogen? Negara-negara Barat menghegemoni pemikiran manusia ketika globalisasi
dikaitkan dengan modernisasi. Masyarakat yang modern identik dengan pandangan
kekinian yang mengutamakan pencapaian individu (individual achievement) yang berakibat pada terjadinya perlombaan
antar-manusia guna mengkukuhkan eksistensinya masing-masing. Ditambah dengan revolusi
ilmiah dari teknologi dan komunikasi yang mampu menghipnotis dan mengubah
pandangan manusia tentang dunia. Dunia menjadi semakin sempit, jarak semakin
tidak terasa oleh alat-alat komunikasi seperti televisi, handpone, internet yang
memudahkan manusia untuk berkomunikasi, mengakses berita terbaru, dan
memperoleh temuan-temuan lainnya. Namun benarkah semua itu membuat kehidupan
manusia menjadi lebih baik dan bahagia atau justru hal-hal tersebut membuat
manusia tenggelam dalam ruang privasi keindividuannya karena merasa mengerjakan
sesuatu sendiri menjadi semakin mudah. Semua hal itu mulai mencederai kesadaran
manusia untuk membina hubungan sesama yang sebenarnya berguna untuk mengasah
rasa kemanusiaannya. Hubungan antarmanusia sering menimbulkan friksi dan
goncangan yang terlihat dari banyaknya konflik individu, kelompok, etnis, ras
bahkan antarnegara. Hal ini wajar terjadi dalam kehidupan kita sehingga kemampuan
untuk berkomunikasi dan menjaga keberlanjutan komunikasi agar selalu dibina untuk
menghindari salahpahaman antarbudaya yang dianut. Minimnya komunikasi budaya
inilah yang sering menimbulkan perselisihan yang akan berdampak turunnya
ketahanan mentalitas dan kepercayaan dalam hubungan antarmanusia.
Hal yang sangat disayangkan dari segala kemewahan
yang disajikan oleh globalisasi dalam peradaban manusia saat ini adalah mulai tergerusnya
rasa keberadaban yang seharusnya menjadi roh dari setiap peradaban manusia. Hal
itu tidak sepenuhnya menjadi kesalahan manusia itu sendiri karena segala
pencapaian yang mendominasi kehidupan manusia mau tidak mau memaksa mereka
berpikir bahwa pencapaian fisik menjadi hal yang begitu menggiurkan untuk
dikejar dan mulai melupakan pemeliharaan kesadaran mental kemanusiaannya. Pemikiran
modern dapat meningkatkan daya saing dan hal-hal yang tradisional dianggap
menghambat kemajuan sehingga cenderung ditinggalkan. Hal inipun tercermin dari
pendidikan modern generasi muda yang mengadaptasi kurikulum Barat yang mengarahkan
mereka untuk mencapai pekerjaan yang berhubungan dengan hal-hal fisik.
Sebenarnya ada hal-hal yang begitu tak
ternilai harganya dari nilai-nilai tradisional yang mulai ditinggalkan oleh
masyarakat modern seperti local wisdom,
social capital, harmonisasi hubungan antarmanusia dan alam yang dapat
menjadi penangkal virus-virus mematikan dari globalisasi itu sendiri. Hal
tersebut memberi koridor pembatas tentang hal mana yang positif dan negatif globalisasi.
Rasa keberadaban manusia memang benar-benar diuji oleh kemegahan globalisasi
dan modernisasi. Manusia modern mulai mengenyampingkan nilai-nilai budaya asli,
mengabaikan hukum kesadaran dan semakin jauhnya manusia dari tindakan moral
serta nilai luhur yang di pegang teguh sebelumnya. Salah satu persoalan krusial
sebagai efek samping proses globalisasi, yakni pengabaian terhadap ruang-ruang
religiusitas, sebab aspek ini menjadi pemegang kendali terpenting nilai-nilai
religious mem-back up sisi minus
hadirnya globalisasi.
Thomas L. Friedman menulis buku yang
begitu dikagumi dunia yang berjudul “The World Is Flat” tentang bagaimana
realita dunia saat ini yang ‘rupanya menuju pada bentuknya yang datar’ bahkan
dalam buku ini Friedman mengatakan “seorang
insinyur paling cerdas di India, sekolah lulusan terbaik di negerinya, didukung
teknologi paling modern, mengatakan padaku bahwa dunia ini datar, sedatar layar
tempat ia memandu seluruh mata rantai pemasok dunia yang dipimpinnya”. Artinya
manusia tidak lagi dibatasi ruang dan waktu dan teknologi telah membantu
manusia menjelajahi tempat yang sebelumnya belum pernah mereka jelajahi….[4]”.
Efek globalisasi sangat berperan besar terhadap pola perilaku manusia yang
berlomba-lomba menciptakan pola-pola untuk mempertahankan kesejahteraan
masing-masing. Fokus terhadap kegiatan ekonomi menjadi perhatian besar
masyarakat dunia yang oleh Friedman dikatakan masa Globalisasi tahap 3.0 dimana
cyber world menjadi primadona dari
penyatuan dunia dalam lingkup produksi, distribusi dan konsumsi pasar global.
Lalu apakah dunia yang seolah datar tersebut telah membuat hati manusia menjadi
datar pula? Proses globalisasi tahap 3.0 ini sangat riskan bagi peradaban
manusia, karena keterhubungan manusia satu sama lainnya tidak terjadi antar face to face dimana banyak hal yang
seharusnya dapat dipahami jika komunikasi individu dapat terjadi secara
langsung. Ditengah populernya dunia virtual sebagai pemenuhan kemakmuran global
telah menggeser kesadaran manusia untuk menjaga hubungan real antarmanusia.
Saat manusia mulai sibuk dengan
pemenuhan kebutuhan ekonomi masing-masing dan hubungan-hubungan yang dibangun
bukan lagi atas landasan moralitas dan toleransi namun lebih ke landasan kepentingan
maka itulah awal dari penggerusan nilai keberadaban. Manusia lebih memilih untuk
berhubungan dengan manusia lainnya yang hanya dirasa dapat menguntungkan dan
rasa malu mulai diabaikan. Hal ini dapat menimbulkan benih-benih sikap apatis
dan menyuburkan sikap tidak peduli terhadap sesama. Sebuah kasus yang dapat
menggambarkan keadaan itu adalah kisah bocah Cina yang ditabrak lari oleh dua
orang pengendara mobil dan dibiarkan sekarat oleh 18 orang pelajan kaki yang
melintas di pasar yang sibuk di kota Foshan, Provinsi Guangdong, Cina. Muncul
banyak pertanyaan apa yang terjadi pada masyarakat disana. Booming ekonomi
China dan kesenjangan yang menganga antara yang kaya dan yang miskin telah
merupah nilai-nilai sosial. Dan materialisme telah berhasil menggantikan
nilai-nilai moral. Hal ini membuat hati orang-orang disana tidak lagi memiliki
rasa kemanusiaan karena terlalu dipenuhi hasrat untuk mengejar kemakmuran
pribadi. Padahal peradaban kemanusiaan Cina begitu tersohor dan dikagumi
masyarakat dunia dengan konsep yin dan yang yang mengutamakan keseimbangan
yang dalam konteks ini adalah pemenuhan material dan spiritual yang menjadi
prinsip dasar filsafat Cina. Para filsuf Cina seperti Laozi dengan Taoisme[5]-nya
ataupun prinsip Confusianisme[6] yang
humanis berhasil memegahkan peradaban bangsanya yang mempercayai kekuatan moral
dan toleransi untuk mengakhiri konflik dan mempertahankan keharmonisan.
Kejadian yang memilukan terhadap Yue - Yue ini mengindikasikan terlenanya
masyarakat dalam pengaruh material globalisasi menyebabkan filsafat humanis
tersebut seolah hilang tidak berbekas. Kejadian yang terjadi terhadap Yue-Yue
ternyata bukan kasus satu-satunya. Selang beberapa minggu seorang saksi juga
melihat pengendara truk sengaja melindas seorang anak yang ditabraknya.
Sejumlah kalangan menduga hukum negara
itu juga menjadi penyebab keputusan masyarakat Cina untuk tidak membantu orang
yang mengalami kecelakaan. Tidak ada Undang-Undang yang melindungi orang-orang
yang melakukan penyelamatan terhadap korban kecelakaan. Tahun 2006, seorang
pria Nanjing mendampingi perempuan tua yang patah kaki justru diperintahkan
membayar 40 persen biaya rumah sakit. Pengadilan yang menangani kasus ini mengatakan
jika anda tidak melakukan penabrakan
mengapa anda harus membawa korban ke rumah sakit? Hal yang dikatakan hakim benar-benar
mencederai rasa kemanusiaan masyarakat Cina. Sejumlah sumber menduga bahwa
kompensasi untuk kematian lebih ringan daripada kompensasi cedera jangka
panjang yang termasuk biaya medis dan hilangnya kesempatan kerja selama
bertahun-tahun. Sopir van yang menabrak Yue-Yue mengaku hanya akan membayar
20.000 yuan untuk kompensasi kematian namun jika gadis itu cedera pelaku harus
membayar hingga ratusan ribu yuan.[7]
Hal ini membuat orang Cina berpikir bahwa kematian korban akan lebih baik bagi
para pelaku dan menolong korban akan menimbulkan masalah bagi para saksi.
Sungguh ironis sekali melihat peradaban manusia saat ini tergerus oleh hukum
dan perilaku yang menyimpang. Peribahasa diawal tulisan ini tentang “the confusion of today is that people are
used and things are loved” tampaknya cocok sekali untuk menggambarkan
lunturnya nilai-nilai keberadaban manusia ditengah arus globalisasi yang
mementingkan pencapaian material. Unsur-unsur kebendaan tampaknya telah
menggantikan tempat untuk manusia di hati kaumnya yang berimbas pada hilangnya
rasa humanisme.
Permasalahan lain yang dihadapi Cina adalah
konflik Cina dan Tibet. Ada hal yang menarik ketika penulis membaca sebuah
makalah yang mengenai pernyataan Pemerintah Cina yang menolak saran Presiden
Amerika Serikat, George Bush untuk segera menyelesaikan pertikaian dengan Tibet.
Hal ini kembali mencuat setelah aksi damai para bikhsu di Lasha untuk
memperingati perjuangan rakyat Tibet untuk lepas dari pendudukan Tiongkok
berubah menjadi kerusuhan ketika aparat keamanan Cina menindak pengunjuk rasa
dengan kejam. Menurut Cina ada perbedaan konsep hak asasi manusia yang dianut
budaya Barat dan Cina. Menurut pemerintah Cina penerapan prinsip HAM barat yang
lebih banyak mementingkan hak-hak individu tidak menguntungkan bagi stabilitas
pembangunan ekonomi. Pemerintah Cina memberikan hak-hak ekonomi terlebih
dahulu. Sehingga pemerintah Cina lebih mementingkan hak ekonomi daripada
hak-hak sipil. Seperti tanggapan Presiden Hu Jintao dan Perdana menteri Wen
Jiabao bahwa mereka menganggap serius permasalahan hak-hak asasi manusia, namun
kebebasan ekonomilah yang lebih utama harus diwujudkan.[8] Ketidaksetujuan
pemerintahan Cina tentang perbedaan agama dan budaya yang dianut oleh
masyarakat Tibet yang sangat berbeda dengan kepercayaan yang dimiliki oleh Cina
sehingga penyatuan Tibet ke Cina semakin sulit. Cina yang diramalkan akan
menggantikan Amerika Serikat untuk menduduki posisi adidaya dengan pengaruh
ekonominya menganggap pemberontakan rakyat Tibet menjadi penghambat peluang dan
kepentingan nasioanal[9]
Cina. Hal ini berpengaruh dengan pada pengasingan pemimpin Tibet, Dalai Lama yang
tinggal di pengasingan Dharmasala selama bertahun-tahun. Pemerintah Cina
menganggap Dalai Lama menjadi tokoh pemicu konflik berkepanjangan antara Cina
dan Tibet. Dalai lama tidak hanya diasingkan oleh pemerintah Cina namun ancaman
Cina pemutusan hubungan ekonomi pada negara-negara partner dagangnya yang mencoba menerima Dalai Lama di negara
mereka. Hal ini berhasil membuat pemerintah Afrika Selatan menolak kedatangan
Dalai Lama untuk mengunjungi perayaan ulang tahun Uskup Desmon Tutu di negara
tersebut dengan alasan posisi ekonomi mereka yang tidak menguntungkan karena
Cina adalah mitra dagang terbesar Afrika Selatan.[10]
Permasalahan ekonomi politik di era globalisasi ini memang semakin kompleks dan
sensitif, disatu sisi memberikan kemudahan bagipemenuhan negara-negara yang
bekerjasama, namun disisi lain sangat mudah menjadi alat untuk mengancam
pihak-pihak yang dianggap tidak menguntungkan.
Permasalahan Yue – Yue dan Dalai
lama dengan Cina menjadi salah dua dari segudang permasalahan dampak
globalisasi bagi peradaban manusia. Globalisasi seolah member peremajaan yang
tiada hentinya bagi pencapaian ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, namun
disisi lain menjadi virus pengeroposan rasa keberadaban manusia. Hal ini coba
penulis rekatkan dengan ide kosmopolitanisme sebagai secercah harapan rasa
keberadaban manusia ditengah pesatnya arus globalisasi. Pemikiran kosmopolitanisme
dibangun atas dua prinsip[11]
yaitu setiap individu adalah dan harus dilihat sebagai bagian dari umat
manusia. Kedua, sebagai konsekuensinya, karena umat manusia adalah sebuah
kategori yang alami, keberadaan setiap individu di seluruh dunia adalah sederajat
dan bersifat absolut dalam arti bahwa manusia tidak dapat dinilai atau
diperlakukan berbeda hanya karena mereka dikelompokkan berdasarkan atribut-atribut
artifisial seperti misalnya kewarganegaraan. Konkretnya, status kewarganegaraan
seseorang tidak menjadikan hak atau kewajiban seseorang lebih tinggi atau lebih
rendah daripada hak dan kewajiban orang lain dalam kaitannya dengan keberadaan
mereka sebagai bagian umat manusia secara keseluruhan. Secara umum, pemikiran
kosmopolitanisme muncul dalam dua manifestasi: kultural dan politik.[12]
Secara kultural, kosmopolitanisme dimanifestasikan dalam bentuk sikap yang
terbuka terhadap perbedaan kultur. Kosmopolitanisme menggambarkan toleransi dan
keterbukaan pikiran untuk menerima orang lain tanpa diskriminasi apapun
basisnya. Kosmopolitanisme memiliki signifikansi yang semakin besar saat ini
dengan berkembangnya realitas sosial yang cenderung bersifat global.
Dalam tataran ide, kosmopolitanisme
cenderung terlihat sempurna sebagai salah satu penyelesaian konflik kemanusiaan
yang terjadi di abad ini, namun saat pengimplementasiannya begitu banyak
friksi-friksi membahayakan karena ide ini mendobrak tatanan hukum, hubungan
politik, ekonomi, ideologi, kepercayaan
dalam lingkup masyarakat yang
berbeda-beda. Alasan-alasan itu didukung oleh kenyataan dari kasus
Yue-Yue dan Dalai Lama. Masyarakat Cina dengan ketakutannya akan masalah yang
dihadapi ketika menolong Yue-Yue (bercermin dari hukum pengadilan yang memvonis
bersalah penolong korban kecelakaan di Nanjing) dan kecaman pemerintah Cina
setelah Presiden Felipe Calderon menerima Dalai Lama di Mexico.
Dua hal yang menjadi tragedi peradaban manusia
tersebut membuat penulis melihat nilai-nilai kosmopolitanisme menjadi suatu
aset yang sangat berharga untuk dikembangkan dan dipercaya tidak sebagai
pandangan utopis hanya karena pertimbangan kompleksnya hubungan yang terjadi
antarmanusia, kelompok, masyarakat dan negara. Tatanan hidup saat ini benar-benar
telah membawa manusia pada abad yang krisis rasa humanisasi. Sangat jarang
orang yang siap mati sebagai Mahatma Gandhi dan sanggup hidup sebagai Aung San
Suu Kyi yang mempertahankan kepercayaannya akan nilai-nilai kemanusiaan tanpa
penggunaan kekerasan. Namun ide tentang setiap individu harus dilihat sebagai
bagian dari umat manusia itu sendiri (tanpa mempertimbangkan unsur diluar
kemanusiaan) harus segera dikembangkan dan ditanamkan dalam pendidikan umat
manusia. Dengan cara itu memungkinkan melahirkan manusia-manusia yang melihat
komunikasi beradab sebagai cara stategis dalam penyelesaian konflik. Hal ini
sebagai harapan atas ideologi kosmopolitanisme sebagai tatanan global baru yang
menjadi pengarah peradaban dunia di masa depan.
Dunia sekarang ini teramat penuh dengan masalah
kemanusiaan, dan sangat mudah menimbulkan masalah kemanusiaan yang baru, namun
sangat sulit menemukan cara penyelesaian kemanusiaan tersebut. Itulah mengapa
menumbuhkan peradaban yang beradab melalui ide kosmopolitanisme teramat urgent untuk dilaksanakan saat ini,
karena seberapapun dirasakan datarnya dunia,
dan setinggi apapun pencapaian peradaban manusia, namun disaat mereka telah
kehilangan rasa keberadabannya, maka saat itu pula manusia mulai kebingungan
tentang apakah ‘apa (things)’ atau ‘siapa (people)’ yang dipilih untuk lebih
dicintai. Dan bagaimana tidak saat pada itulah manusia harus mulai meragukan unsur
kemanusiaanya.
Daftar
Pustaka
Brunsvick, Yves & Andre Danzin.
2005. Lahirnya Sebuah Peradaban, Goncangan Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius.
Dalam http://www.docstoc.com/docs/70163679/Makalah-Manusia-dan-Peradaban
Devania Anessya. Pandangan Hidup
dan Kepercayaan Orang-Orang Cina dalam http://frenndw.wordpress.com/2010/03/29/pandangan-hidup-dan-kepercayaan-orang-cina-taoisme-konfusianisme-dan-budhisme/
Egidius
Patnistik. 2011. Benarkah Masyarakat Cina Menjadi
Apatis? http://internasional.kompas.com/read/2011/10/20/0953167/Benarkah.Masyarakat.China.Jadi.Apatis.
Fitri Fadhilla 2010. Perbedaan
Pandangan Amerika Serikat dan Cina Tentang Hak Azazi Manusia dalam Kasus
Cina-Tibet. Universitas UMY tentang Kongres Rakyat Cina Dimulai. http://www.mailarchive.
com/berita@listerv.rnw.nl/msg0024.html.
Friedman, Thomas L. The World Is
Flat. Jakarta: Dian Rakyat. (dalam http://www.portalhr.com/publikasi/ketika-dunia-menjadi-datar/)
Hall, Martin and Patrick Thaddeus.
2007. Discourses of Civilizational Identity. In Martin Hall and Patrick
Thaddeus pada Jackson., Civilization Identity: the Production and Reproduction
of “Civilization” in International Relations. New York. Palgrave Macmillan.
Sugiono, Muhadi.
Pengembangan Human Capital dan Pendidikan Kosmopolitan pada Hannerz, Ulf. 2006.
'Two Faces of Cosmopolitanism: Culture and Politics.' Serie Dinámicas
interculturales Número Barcelona: Fundació CIDOB
[1] http://www.docstoc.com/docs/70163679/Makalah-Manusia-dan-Peradaban
[2] Martin Hall and Patrick
Thaddeus. 2007. Discourses of Civilizational Identity. In Martin Hall and
Patrick Thaddeus Jackson., Civilization Identity: the Production and
Reproduction of “Civilization” in International Relations. New York. Palgrave
Macmillan.
[3] Yves Brunsvick & Andre Danzin.
2005. Lahirnya Sebuah Peradaban, Goncangan Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius.
[4] Thomas L. Friedman. The World Is
Flat. Jakarta: Dian Rakyat. (dalam
http://www.portalhr.com/publikasi/ketika-dunia-menjadi-datar/)
[5]
ajaran Tao, manusia pada
hakekatnya terlahir dalam keadaan suci dan baik. Jalan yang ditempuh untuk
mempertahankan dan memelihara kesucian dan keadaan baik. Ia percaya jalan ini
dapat menghindarkan manusia dari segala hal yang bertentangan dengan ritme atau
irama alam semesta. Terdapat lima budi baik jalan Tuhan yakni: berkelakuan
ramah tamah, sopan santun, cerdas, jujur dan adil. aoisme bersifat tenang,
tidak berbalah, bersifat lembut seperti air, dan bersifat abadi.
[6] Dalam Konfusianisme manusia
adalah pusat daripada dunia: manusia tidak dapat hidup sendirian, melainkan
hidup bersama-sama dengan manusia yang lain. Bagi umat manusia, tujuan akhirnya
adalah kebahagiaan individu. Kondisi yang diperlukan untuk mencapai kebahagiaan
adalah melalui perdamaian. Untuk mencapai perdamaian , Khonghucu (Confucius)
menemukan hubungan antar manusia yang meliputi Lima hubungan (Ngo Lun)
berdasarkan Cintakasih dan Kewajiban. (Devania Anessya. Pandangan Hidup dan
Kepercayaan Orang-Orang Cina dalam http://frenndw.wordpress.com/2010/03/29/pandangan-hidup-dan-kepercayaan-orang-cina-taoisme-konfusianisme-dan-budhisme/)
[7] Egidius
Patnistik. 2011. Benarkah Masyarakat Cina Menjadi Apatis?
http://internasional.kompas.com/read/2011/10/20/0953167/Benarkah.Masyarakat.China.Jadi.Apatis.
[8] Kongres Rakyat
Cina Dimulai, ( tanggal Akses 08-12-2008) http://www.mailarchive.
com/berita@listerv.rnw.nl/msg0024.html. dalam Skripsi
Fitri Fadhilla 2010. Perbedaan Pandangan Amerika Serikat dan Cina
Tentang Hak Azazi Manusia dalam Kasus Cina-Tibet. Universitas UMY
[9] kekayaan alam
Tibet merupakan aset ekonomi yang penting bagi Cina. Tibet memiliki kekayaan
alam seperti: minyak, uranium, lithium, khrom, tembaga, boraks, dan besi. Ibid,
Skripsi F. Fadilla
[10] Dalai lama Batal ke Afsel.
http://metrotvnews.com/read/news/2011/10/05/67070/Dalai-Lama-Batal-ke-Afsel
[11] Brock, Gillian and Harry
Brighouse. 2005. The Political Philosophy of Cosmopolitanism. Cambridge:
Cambridge University Press.
[12] Hannerz, Ulf. 2006. 'Two Faces
of Cosmopolitanism: Culture and Politics.' Serie Dinámicas interculturales
Número 7. Barcelona: Fundació CIDOB dalam tulisan Muhadi Sugiono, Pengembangan
Human Capital dan Pendidikan Kosmopolitan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar