Kamis, 15 Desember 2011

Confusing Way To Love -PeOple or ThinG"





BERCERMIN  PADA KISAH BAYI YUE - YUE DAN DALAI LAMA

 

People are made to be loved and things are made to be used
the confusion in this world is that people are used and things are loved
-----from positive outlooks

Perkembangan dunia selalu dikaitkan dengan globalisasi dan kemajuan dalam hal yang bersifat fisik atau kasat mata seperti gedung-gedung pencakar langit, manusia pintar, teknologi canggih, tumpukan uang, sistem ekonomi-politik yang selama ini menjadi “euphoria” cerita kesuksesan  manusia yang dipengaruhi globalisasi. Peradaban memang erat kaitan dengan pencapaian segala hal yang terlihat oleh mata telanjang. Namun, tidak sedikit yang lupa bahwa peradaban justru tegak di atas fondasi yang tak kasat mata, yaitu komitmen pada moralitas. Saat peradaban itu tegak dan tumbuh, barangkali moralitas terabaikan untuk dilihat, mengingat hal-hal kasat mata segera memenjarakan setiap orang yang melihatnya. Banyak orang baru tersadar bahwa moralitaslah fondasi dari kokohnya peradaban saat peradaban sudah runtuh. Keruntuhan peradaban selalu bersamaan dengan kisah penyelewengan moral tingkat tinggi. Maka dengan landasan pernyataan diatas yang menjadi fokus utama dalam esai ini adalah permasalahan lunturnya keberadaban dalam peradaban manusia ditengah arus globalisasi.
Antara manusia dan peradaban mempunyai hubungan yang erat karena diantara keduanya saling mendukung dan menciptakan kehidupan sesuai kodratnya. Peradaban bisa muncul karena manusia yang menciptakannya dan manusia juga yang menjalankannya. Suatu peradaban mempunyai wujud, tahapan dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Peradaban mengakibatkan berubahan kehidupan sosial dan menjadi manusia yang beradab diartikan sebagai manusia yang memiliki budi pekerti yang tinggi. Istilah peradaban dalam bahasa Inggris disebut civilization. Definisi peradaban menurut Koentjaraningrat[1] adalah unsur kebudayaan yang halus, maju, indah, misalnya seperti kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun, pergaulan, organisasi kenegaraan, sistem teknologi dan masyarakat kota yang maju dan kompleks dengan wujud moral, norma, etika dan estetika.  Sedangkan menurut Samuel Huttington mengemukakan bahwa peradaban atau civilization adalah:
“The highest culture grouping of people and the broadest level of cultural identity people have short of that which distinguishes humans from other species…Civilization are the biggest “we” within which we feel culturally at home as distinguished from all other “thems” out there.” (Huntington, 1996:43)[2]
            Menurut Huttington manusia akan terbagi dalam kelompok-kelompok dan konflik antarperadaban akan didominasi oleh hal-hal yang bersifat kultural. Ia membagi peradaban manusia kedalam tujuh macam yaitu peradaban Barat, Amerika Latin, Confucian, Japanese, Islam, Hindu dan Slavic-Orthodox (Huntington, 1993: 26). Huntington mengatakan bahwa konflik di masa depan akan terjadi saat negara-negara Non-barat bereaksi terhadap kekuatan yang dimiliki oleh Barat dan nilai terpenting dari kebudayaan Barat seperti hak asasi manusia tidak terlalu diperhatikan di negara - negara Non-Barat. Teori yang dikemukannya mendapat kritik karena terlalu tersimplifikasi dengan mengabaikan konflik yang terjadi di dalam masing-masing peradaban dan konflik antar-manusia itu sendiri.
            Globalisasi dipahami sebagai suatu gelombang yang melanda dunia dalam interaksi yang menghubungkan aktivitas manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, dengan meningkatnya interdependensi yang tidak lagi dibatasi oleh batas-batas wilayah negara, sebagai hasil dari hilangnya penghalang ruang dan waktu. Globalisasi mengguncang kehidupan manusia dengan banjir informasi yang memasuki pemikiran manusia dengan begitu deras akibat kemajuan teknologi yang sangat cepat. Berbagai bidang kehidupan mendapat pengaruh globalisasi mulai dari kebudayaan, ekonomi, politik, sosial yang mengalami transformasi yang cepat dan luas sehingga kadang dipahami sebagai keterputusan hubungan dengan masa lalu. Semakin banyak yang setuju bahwa sekarang ini terjadi metamorphosis sejati dalam hubungan antarmanusia atau terjadinya perubahan peradaban. Perubahan ini menimbulkan berbagai gejala komulatif yang menimbulkan keresahan dan ketakutan bahwa saat kemajuan ekonomi yang begitu diagung-agungkan, kekuasaan politik yang begitu dibanggakan akan menggeser manusia yang memiliki keterampilan yang kurang sehingga tidak dapat menikmati manfaat dari peradaban baru yang sedang muncul ini. Metamorphosis sosial oleh globalisasi mempengaruhi setiap aspek kehidupan pribadi masyarakat, hubungan kemanusiaan dengan ruang dan waktu, hubungan sosial di tempat kerja dan lingkungan masyarakat, status perempuan, adat istiadat, nilai dan hubungan kekuasaan. Hal ini diawali dengan penyebaran ilmu pengetahuan ke dalam seluruh aktivitas manusia yang memunculkan masalah yang akut dalam pengaturan ekonomi dan keseimbangan lingkungan, serta menuntut kemajuan fundamental dalam bidang etika.[3] Hal ini menuntut diterimanya pembaruan atau modernisasi kebudayaan dan evolusi ikatan sosial, yang memerlukan perombakan menyeluruh dalam cara berfikir mengenai sistem organisasi, politik dan pendidikan. Globalisasi saat ini sebaiknya tidak dipandang hanya pada kekuatan finansial dan ekonomi, namun lebih pada hubungan timbal balik terhadap kondisi kehidupan dan hubungan antar manusia yang menuntut partisipasi setiap warga dunia bukan hanya pribadi atau kelompok-kelompok pemegang kekuasaan dalam hal politik, ekonomi maupun informasi.
            Gencarnya globalisasi mewarnai peradaban manusia saat ini ditandai dengan berbagai penemuan baru dan terobosan baru yang melahirkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah globalisasi mengarahkan manusia pada budaya yang homogen atau heterogen? Negara-negara Barat menghegemoni pemikiran manusia ketika globalisasi dikaitkan dengan modernisasi. Masyarakat yang modern identik dengan pandangan kekinian yang mengutamakan pencapaian individu (individual achievement) yang berakibat pada terjadinya perlombaan antar-manusia guna mengkukuhkan eksistensinya masing-masing. Ditambah dengan revolusi ilmiah dari teknologi dan komunikasi yang mampu menghipnotis dan mengubah pandangan manusia tentang dunia. Dunia menjadi semakin sempit, jarak semakin tidak terasa oleh alat-alat komunikasi seperti televisi, handpone, internet yang memudahkan manusia untuk berkomunikasi, mengakses berita terbaru, dan memperoleh temuan-temuan lainnya. Namun benarkah semua itu membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik dan bahagia atau justru hal-hal tersebut membuat manusia tenggelam dalam ruang privasi keindividuannya karena merasa mengerjakan sesuatu sendiri menjadi semakin mudah. Semua hal itu mulai mencederai kesadaran manusia untuk membina hubungan sesama yang sebenarnya berguna untuk mengasah rasa kemanusiaannya. Hubungan antarmanusia sering menimbulkan friksi dan goncangan yang terlihat dari banyaknya konflik individu, kelompok, etnis, ras bahkan antarnegara. Hal ini wajar terjadi dalam kehidupan kita sehingga kemampuan untuk berkomunikasi dan menjaga keberlanjutan komunikasi agar selalu dibina untuk menghindari salahpahaman antarbudaya yang dianut. Minimnya komunikasi budaya inilah yang sering menimbulkan perselisihan yang akan berdampak turunnya ketahanan mentalitas dan kepercayaan dalam hubungan antarmanusia.
Hal yang sangat disayangkan dari segala kemewahan yang disajikan oleh globalisasi dalam peradaban manusia saat ini adalah mulai tergerusnya rasa keberadaban yang seharusnya menjadi roh dari setiap peradaban manusia. Hal itu tidak sepenuhnya menjadi kesalahan manusia itu sendiri karena segala pencapaian yang mendominasi kehidupan manusia mau tidak mau memaksa mereka berpikir bahwa pencapaian fisik menjadi hal yang begitu menggiurkan untuk dikejar dan mulai melupakan pemeliharaan kesadaran mental kemanusiaannya. Pemikiran modern dapat meningkatkan daya saing dan hal-hal yang tradisional dianggap menghambat kemajuan sehingga cenderung ditinggalkan. Hal inipun tercermin dari pendidikan modern generasi muda yang mengadaptasi kurikulum Barat yang mengarahkan mereka untuk mencapai pekerjaan yang berhubungan dengan hal-hal fisik.
Sebenarnya ada hal-hal yang begitu tak ternilai harganya dari nilai-nilai tradisional yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat modern seperti local wisdom, social capital, harmonisasi hubungan antarmanusia dan alam yang dapat menjadi penangkal virus-virus mematikan dari globalisasi itu sendiri. Hal tersebut memberi koridor pembatas tentang hal mana yang positif dan negatif globalisasi. Rasa keberadaban manusia memang benar-benar diuji oleh kemegahan globalisasi dan modernisasi. Manusia modern mulai mengenyampingkan nilai-nilai budaya asli, mengabaikan hukum kesadaran dan semakin jauhnya manusia dari tindakan moral serta nilai luhur yang di pegang teguh sebelumnya. Salah satu persoalan krusial sebagai efek samping proses globalisasi, yakni pengabaian terhadap ruang-ruang religiusitas, sebab aspek ini menjadi pemegang kendali terpenting nilai-nilai religious mem-back up sisi minus hadirnya globalisasi.
Thomas L. Friedman menulis buku yang begitu dikagumi dunia yang berjudul “The World Is Flat” tentang bagaimana realita dunia saat ini yang ‘rupanya menuju pada bentuknya yang datar’ bahkan dalam buku ini Friedman mengatakan “seorang insinyur paling cerdas di India, sekolah lulusan terbaik di negerinya, didukung teknologi paling modern, mengatakan padaku bahwa dunia ini datar, sedatar layar tempat ia memandu seluruh mata rantai pemasok dunia yang dipimpinnya”. Artinya manusia tidak lagi dibatasi ruang dan waktu dan teknologi telah membantu manusia menjelajahi tempat yang sebelumnya belum pernah mereka jelajahi….[4]. Efek globalisasi sangat berperan besar terhadap pola perilaku manusia yang berlomba-lomba menciptakan pola-pola untuk mempertahankan kesejahteraan masing-masing. Fokus terhadap kegiatan ekonomi menjadi perhatian besar masyarakat dunia yang oleh Friedman dikatakan masa Globalisasi tahap 3.0 dimana cyber world menjadi primadona dari penyatuan dunia dalam lingkup produksi, distribusi dan konsumsi pasar global. Lalu apakah dunia yang seolah datar tersebut telah membuat hati manusia menjadi datar pula? Proses globalisasi tahap 3.0 ini sangat riskan bagi peradaban manusia, karena keterhubungan manusia satu sama lainnya tidak terjadi antar face to face dimana banyak hal yang seharusnya dapat dipahami jika komunikasi individu dapat terjadi secara langsung. Ditengah populernya dunia virtual sebagai pemenuhan kemakmuran global telah menggeser kesadaran manusia untuk menjaga hubungan real antarmanusia. 
Saat manusia mulai sibuk dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi masing-masing dan hubungan-hubungan yang dibangun bukan lagi atas landasan moralitas dan toleransi namun lebih ke landasan kepentingan maka itulah awal dari penggerusan nilai keberadaban. Manusia lebih memilih untuk berhubungan dengan manusia lainnya yang hanya dirasa dapat menguntungkan dan rasa malu mulai diabaikan. Hal ini dapat menimbulkan benih-benih sikap apatis dan menyuburkan sikap tidak peduli terhadap sesama. Sebuah kasus yang dapat menggambarkan keadaan itu adalah kisah bocah Cina yang ditabrak lari oleh dua orang pengendara mobil dan dibiarkan sekarat oleh 18 orang pelajan kaki yang melintas di pasar yang sibuk di kota Foshan, Provinsi Guangdong, Cina. Muncul banyak pertanyaan apa yang terjadi pada masyarakat disana. Booming ekonomi China dan kesenjangan yang menganga antara yang kaya dan yang miskin telah merupah nilai-nilai sosial. Dan materialisme telah berhasil menggantikan nilai-nilai moral. Hal ini membuat hati orang-orang disana tidak lagi memiliki rasa kemanusiaan karena terlalu dipenuhi hasrat untuk mengejar kemakmuran pribadi. Padahal peradaban kemanusiaan Cina begitu tersohor dan dikagumi masyarakat dunia dengan konsep yin dan yang yang mengutamakan keseimbangan yang dalam konteks ini adalah pemenuhan material dan spiritual yang menjadi prinsip dasar filsafat Cina. Para filsuf Cina seperti Laozi dengan Taoisme[5]-nya ataupun prinsip Confusianisme[6] yang humanis berhasil memegahkan peradaban bangsanya yang mempercayai kekuatan moral dan toleransi untuk mengakhiri konflik dan mempertahankan keharmonisan. Kejadian yang memilukan terhadap Yue - Yue ini mengindikasikan terlenanya masyarakat dalam pengaruh material globalisasi menyebabkan filsafat humanis tersebut seolah hilang tidak berbekas. Kejadian yang terjadi terhadap Yue-Yue ternyata bukan kasus satu-satunya. Selang beberapa minggu seorang saksi juga melihat pengendara truk sengaja melindas seorang anak yang ditabraknya.
Sejumlah kalangan menduga hukum negara itu juga menjadi penyebab keputusan masyarakat Cina untuk tidak membantu orang yang mengalami kecelakaan. Tidak ada Undang-Undang yang melindungi orang-orang yang melakukan penyelamatan terhadap korban kecelakaan. Tahun 2006, seorang pria Nanjing mendampingi perempuan tua yang patah kaki justru diperintahkan membayar 40 persen biaya rumah sakit. Pengadilan yang menangani kasus ini mengatakan jika anda tidak  melakukan penabrakan mengapa anda harus membawa korban ke rumah sakit? Hal yang dikatakan hakim benar-benar mencederai rasa kemanusiaan masyarakat Cina. Sejumlah sumber menduga bahwa kompensasi untuk kematian lebih ringan daripada kompensasi cedera jangka panjang yang termasuk biaya medis dan hilangnya kesempatan kerja selama bertahun-tahun. Sopir van yang menabrak Yue-Yue mengaku hanya akan membayar 20.000 yuan untuk kompensasi kematian namun jika gadis itu cedera pelaku harus membayar hingga ratusan ribu yuan.[7] Hal ini membuat orang Cina berpikir bahwa kematian korban akan lebih baik bagi para pelaku dan menolong korban akan menimbulkan masalah bagi para saksi. Sungguh ironis sekali melihat peradaban manusia saat ini tergerus oleh hukum dan perilaku yang menyimpang. Peribahasa diawal tulisan ini tentang “the confusion of today is that people are used and things are loved” tampaknya cocok sekali untuk menggambarkan lunturnya nilai-nilai keberadaban manusia ditengah arus globalisasi yang mementingkan pencapaian material. Unsur-unsur kebendaan tampaknya telah menggantikan tempat untuk manusia di hati kaumnya yang berimbas pada hilangnya rasa humanisme.
Permasalahan lain yang dihadapi Cina adalah konflik Cina dan Tibet. Ada hal yang menarik ketika penulis membaca sebuah makalah yang mengenai pernyataan Pemerintah Cina yang menolak saran Presiden Amerika Serikat, George Bush untuk segera menyelesaikan pertikaian dengan Tibet. Hal ini kembali mencuat setelah aksi damai para bikhsu di Lasha untuk memperingati perjuangan rakyat Tibet untuk lepas dari pendudukan Tiongkok berubah menjadi kerusuhan ketika aparat keamanan Cina menindak pengunjuk rasa dengan kejam. Menurut Cina ada perbedaan konsep hak asasi manusia yang dianut budaya Barat dan Cina. Menurut pemerintah Cina penerapan prinsip HAM barat yang lebih banyak mementingkan hak-hak individu tidak menguntungkan bagi stabilitas pembangunan ekonomi. Pemerintah Cina memberikan hak-hak ekonomi terlebih dahulu. Sehingga pemerintah Cina lebih mementingkan hak ekonomi daripada hak-hak sipil. Seperti tanggapan Presiden Hu Jintao dan Perdana menteri Wen Jiabao bahwa mereka menganggap serius permasalahan hak-hak asasi manusia, namun kebebasan ekonomilah yang lebih utama harus diwujudkan.[8] Ketidaksetujuan pemerintahan Cina tentang perbedaan agama dan budaya yang dianut oleh masyarakat Tibet yang sangat berbeda dengan kepercayaan yang dimiliki oleh Cina sehingga penyatuan Tibet ke Cina semakin sulit. Cina yang diramalkan akan menggantikan Amerika Serikat untuk menduduki posisi adidaya dengan pengaruh ekonominya menganggap pemberontakan rakyat Tibet menjadi penghambat peluang dan kepentingan nasioanal[9] Cina. Hal ini berpengaruh dengan pada pengasingan pemimpin Tibet, Dalai Lama yang tinggal di pengasingan Dharmasala selama bertahun-tahun. Pemerintah Cina menganggap Dalai Lama menjadi tokoh pemicu konflik berkepanjangan antara Cina dan Tibet. Dalai lama tidak hanya diasingkan oleh pemerintah Cina namun ancaman Cina pemutusan hubungan ekonomi pada negara-negara partner dagangnya yang mencoba menerima Dalai Lama di negara mereka. Hal ini berhasil membuat pemerintah Afrika Selatan menolak kedatangan Dalai Lama untuk mengunjungi perayaan ulang tahun Uskup Desmon Tutu di negara tersebut dengan alasan posisi ekonomi mereka yang tidak menguntungkan karena Cina adalah mitra dagang terbesar Afrika Selatan.[10] Permasalahan ekonomi politik di era globalisasi ini memang semakin kompleks dan sensitif, disatu sisi memberikan kemudahan bagipemenuhan negara-negara yang bekerjasama, namun disisi lain sangat mudah menjadi alat untuk mengancam pihak-pihak yang dianggap tidak menguntungkan.
            Permasalahan Yue – Yue dan Dalai lama dengan Cina menjadi salah dua dari segudang permasalahan dampak globalisasi bagi peradaban manusia. Globalisasi seolah member peremajaan yang tiada hentinya bagi pencapaian ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, namun disisi lain menjadi virus pengeroposan rasa keberadaban manusia. Hal ini coba penulis rekatkan dengan ide kosmopolitanisme sebagai secercah harapan rasa keberadaban manusia ditengah pesatnya arus globalisasi. Pemikiran kosmopolitanisme dibangun atas dua prinsip[11] yaitu setiap individu adalah dan harus dilihat sebagai bagian dari umat manusia. Kedua, sebagai konsekuensinya, karena umat manusia adalah sebuah kategori yang alami, keberadaan setiap individu di seluruh dunia adalah sederajat dan bersifat absolut dalam arti bahwa manusia tidak dapat dinilai atau diperlakukan berbeda hanya karena mereka dikelompokkan berdasarkan atribut-atribut artifisial seperti misalnya kewarganegaraan. Konkretnya, status kewarganegaraan seseorang tidak menjadikan hak atau kewajiban seseorang lebih tinggi atau lebih rendah daripada hak dan kewajiban orang lain dalam kaitannya dengan keberadaan mereka sebagai bagian umat manusia secara keseluruhan. Secara umum, pemikiran kosmopolitanisme muncul dalam dua manifestasi: kultural dan politik.[12] Secara kultural, kosmopolitanisme dimanifestasikan dalam bentuk sikap yang terbuka terhadap perbedaan kultur. Kosmopolitanisme menggambarkan toleransi dan keterbukaan pikiran untuk menerima orang lain tanpa diskriminasi apapun basisnya. Kosmopolitanisme memiliki signifikansi yang semakin besar saat ini dengan berkembangnya realitas sosial yang cenderung bersifat global.
            Dalam tataran ide, kosmopolitanisme cenderung terlihat sempurna sebagai salah satu penyelesaian konflik kemanusiaan yang terjadi di abad ini, namun saat pengimplementasiannya begitu banyak friksi-friksi membahayakan karena ide ini mendobrak tatanan hukum, hubungan politik, ekonomi,  ideologi, kepercayaan dalam lingkup masyarakat yang  berbeda-beda. Alasan-alasan itu didukung oleh kenyataan dari kasus Yue-Yue dan Dalai Lama. Masyarakat Cina dengan ketakutannya akan masalah yang dihadapi ketika menolong Yue-Yue (bercermin dari hukum pengadilan yang memvonis bersalah penolong korban kecelakaan di Nanjing) dan kecaman pemerintah Cina setelah Presiden Felipe Calderon menerima Dalai Lama di Mexico.
Dua hal yang menjadi tragedi peradaban manusia tersebut membuat penulis melihat nilai-nilai kosmopolitanisme menjadi suatu aset yang sangat berharga untuk dikembangkan dan dipercaya tidak sebagai pandangan utopis hanya karena pertimbangan kompleksnya hubungan yang terjadi antarmanusia, kelompok, masyarakat dan negara. Tatanan hidup saat ini benar-benar telah membawa manusia pada abad yang krisis rasa humanisasi. Sangat jarang orang yang siap mati sebagai Mahatma Gandhi dan sanggup hidup sebagai Aung San Suu Kyi yang mempertahankan kepercayaannya akan nilai-nilai kemanusiaan tanpa penggunaan kekerasan. Namun ide tentang setiap individu harus dilihat sebagai bagian dari umat manusia itu sendiri (tanpa mempertimbangkan unsur diluar kemanusiaan) harus segera dikembangkan dan ditanamkan dalam pendidikan umat manusia. Dengan cara itu memungkinkan melahirkan manusia-manusia yang melihat komunikasi beradab sebagai cara stategis dalam penyelesaian konflik. Hal ini sebagai harapan atas ideologi kosmopolitanisme sebagai tatanan global baru yang menjadi pengarah peradaban dunia di masa depan.
Dunia sekarang ini teramat penuh dengan masalah kemanusiaan, dan sangat mudah menimbulkan masalah kemanusiaan yang baru, namun sangat sulit menemukan cara penyelesaian kemanusiaan tersebut. Itulah mengapa menumbuhkan peradaban yang beradab melalui ide kosmopolitanisme teramat urgent untuk dilaksanakan saat ini, karena seberapapun dirasakan datarnya dunia, dan setinggi apapun pencapaian peradaban manusia, namun disaat mereka telah kehilangan rasa keberadabannya, maka saat itu pula manusia mulai kebingungan tentang apakah ‘apa (things)’ atau ‘siapa (people)’ yang dipilih untuk lebih dicintai. Dan bagaimana tidak saat pada itulah manusia harus mulai meragukan unsur kemanusiaanya.






Daftar Pustaka

Brunsvick, Yves & Andre Danzin. 2005. Lahirnya Sebuah Peradaban, Goncangan Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius. Dalam http://www.docstoc.com/docs/70163679/Makalah-Manusia-dan-Peradaban
Egidius Patnistik. 2011. Benarkah Masyarakat Cina Menjadi Apatis? http://internasional.kompas.com/read/2011/10/20/0953167/Benarkah.Masyarakat.China.Jadi.Apatis.
Fitri Fadhilla 2010. Perbedaan Pandangan Amerika Serikat dan Cina Tentang Hak Azazi Manusia dalam Kasus Cina-Tibet. Universitas UMY tentang Kongres Rakyat Cina Dimulai. http://www.mailarchive. com/berita@listerv.rnw.nl/msg0024.html
Friedman, Thomas L. The World Is Flat. Jakarta: Dian Rakyat. (dalam http://www.portalhr.com/publikasi/ketika-dunia-menjadi-datar/)
Hall, Martin and Patrick Thaddeus. 2007. Discourses of Civilizational Identity. In Martin Hall and Patrick Thaddeus pada Jackson., Civilization Identity: the Production and Reproduction of “Civilization” in International Relations. New York. Palgrave Macmillan.
Sugiono, Muhadi. Pengembangan Human Capital dan Pendidikan Kosmopolitan pada Hannerz, Ulf. 2006. 'Two Faces of Cosmopolitanism: Culture and Politics.' Serie Dinámicas interculturales Número Barcelona: Fundació CIDOB




[1] http://www.docstoc.com/docs/70163679/Makalah-Manusia-dan-Peradaban
[2] Martin Hall and Patrick Thaddeus. 2007. Discourses of Civilizational Identity. In Martin Hall and Patrick Thaddeus Jackson., Civilization Identity: the Production and Reproduction of “Civilization” in International Relations. New York. Palgrave Macmillan.
[3] Yves Brunsvick & Andre Danzin. 2005. Lahirnya Sebuah Peradaban, Goncangan Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius.

[4] Thomas L. Friedman. The World Is Flat. Jakarta: Dian Rakyat. (dalam http://www.portalhr.com/publikasi/ketika-dunia-menjadi-datar/)
[5] ajaran Tao, manusia pada hakekatnya terlahir dalam keadaan suci dan baik. Jalan yang ditempuh untuk mempertahankan dan memelihara kesucian dan keadaan baik. Ia percaya jalan ini dapat menghindarkan manusia dari segala hal yang bertentangan dengan ritme atau irama alam semesta. Terdapat lima budi baik jalan Tuhan yakni: berkelakuan ramah tamah, sopan santun, cerdas, jujur dan adil. aoisme bersifat tenang, tidak berbalah, bersifat lembut seperti air, dan bersifat abadi.
[6] Dalam Konfusianisme manusia adalah pusat daripada dunia: manusia tidak dapat hidup sendirian, melainkan hidup bersama-sama dengan manusia yang lain. Bagi umat manusia, tujuan akhirnya adalah kebahagiaan individu. Kondisi yang diperlukan untuk mencapai kebahagiaan adalah melalui perdamaian. Untuk mencapai perdamaian , Khonghucu (Confucius) menemukan hubungan antar manusia yang meliputi Lima hubungan (Ngo Lun) berdasarkan Cintakasih dan Kewajiban. (Devania Anessya. Pandangan Hidup dan Kepercayaan Orang-Orang Cina dalam http://frenndw.wordpress.com/2010/03/29/pandangan-hidup-dan-kepercayaan-orang-cina-taoisme-konfusianisme-dan-budhisme/)
[7] Egidius Patnistik. 2011. Benarkah Masyarakat Cina Menjadi Apatis? http://internasional.kompas.com/read/2011/10/20/0953167/Benarkah.Masyarakat.China.Jadi.Apatis.
[8] Kongres Rakyat Cina Dimulai, ( tanggal Akses 08-12-2008) http://www.mailarchive.
com/berita@listerv.rnw.nl/msg0024.html. dalam  Skripsi  Fitri Fadhilla 2010. Perbedaan Pandangan Amerika Serikat dan Cina Tentang Hak Azazi Manusia dalam Kasus Cina-Tibet. Universitas UMY
[9] kekayaan alam Tibet merupakan aset ekonomi yang penting bagi Cina. Tibet memiliki kekayaan alam seperti: minyak, uranium, lithium, khrom, tembaga, boraks, dan besi. Ibid, Skripsi F. Fadilla
[10] Dalai lama Batal ke Afsel. http://metrotvnews.com/read/news/2011/10/05/67070/Dalai-Lama-Batal-ke-Afsel
[11] Brock, Gillian and Harry Brighouse. 2005. The Political Philosophy of Cosmopolitanism. Cambridge: Cambridge University Press.
[12] Hannerz, Ulf. 2006. 'Two Faces of Cosmopolitanism: Culture and Politics.' Serie Dinámicas interculturales Número 7. Barcelona: Fundació CIDOB dalam tulisan Muhadi Sugiono, Pengembangan Human Capital dan Pendidikan Kosmopolitan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar