The Art Of War" atau "Seni Perang Sunzi" (Hanyu Pinyin: Sūnzĭ Bīngfǎ) adalah sebuah buku filsafat militer yang diperkirakan ditulis pada abad keenam oleh Sun Zi (juga di sebut sebagai Sun Tzu). Terdiri dari 13 bab di mana setiap bagian membahas strategi dan berbagai metode perang. Karya ini begitu dikenang sepanjang masa untuk membantu sebuah perang mencapai kemenangan. Namun karya Sun Tzu ini belum memasukkan perempuan sebagai aktor utama yang ikut serta dalam menentukan sebuah strategi perang. Perempuan bagi Sun Tzu mempunyai potensi dan sangat efektif jika digunakan sebagai tools of war (profesi sebagai perayu ataupun intelijen yang handal). Hal ini terjadi karena kepercayaan yang berkembang pada masa itu yang masih menganggap kedudukan perempuan lebih rendah dari kedudukan laki-laki. Namun melalui perspektif feminisme penulis ingin membuktikan bahwa perempuan jika diberikan kesempatan yang sama seperti laki-laki biisa menduduki posisi-posisi penting kepemimpinan temasuk menjadi seorang jenderal. Hal ini telah dibuktikan oleh Ann E. Dunwoody yang menjadi Jenderal Wanita pertama dalam militer Amerika Serikat
1.
Latar
Belakang
Dalam
kesusastraan Cina, Sun Tzu “The Art of War’ merupakan karya militer klasik
tertua dalam sejarah yang berasal dari negeri tirai bambu. Karya Sun Tzu ‘Art
of War’ menjadi karya tulis Cina yang paling dihormati dan terkenal di luar
Cina. Para pakar sejarah sepakat bahwa ‘Art of War’ itu kemungkinan ditulis
pada 400-320 SM, atau 100 tahun setelah kelahiran Konfusianus dan Lao Tze yang
merupakan para filsuf terkenal yang berasal dari Cina. Masa dimana Sun Tzu
hidup dinamakan sebagai masa-masa negara sedang berperang, karena selama dua
seperempat abad lamanya Cina masih melakukan peperangan dan belum merupakan
negara yang bersatu. Pada akhir musim semi dan gugur adalah waktu dimana perang
adalah kegiatan yang rutin dilakukan pada masa itu yang membuat Cina terbagi
menjadi tujuh negara yang kuat dan lima belas negara yang lebih lemah
kedudukannya yang berusaha untuk saling menguasai satu sama lainnya. (Chow Hou:
2006). Strategi “Art of War” yang mulai diterapkan oleh SunTzu pada masa itu membuat
perang menjadi sebuah hal yang serius. Seni perang telah menghasilkan petarung-petarung
yang handal dan ditakuti. Sun Tzu berfokus kepada seni perang yang berusaha
untuk memenangkan “hati” musuh. Dalam karyanya, Sun Tzu menguraikan lima faktor
dan tujuh dimensi yang diperlukan untuk memperoleh kemenangan. Sun Tzu juga
menulis bahwa deception (muslihat)
dan intelligence (mata-mata)
merupakan bagian yang penting dari sebuah peperangan. Selain itu menurut Sun
tzu, seorang jenderal merupakan seorang aktor utama dalam mengatur sebuah strategi
perang.
Saat inipun “Art of War” masih menjadi
acuan dalam pelaksanaan perang-perang modern. Banyak akademi militer memasukkan
strategi perang “Art of War’ dalam kurikulum pendidikan yang digunakan untuk
mendidik para komandan militer. Sebagai contoh, Panglima Pasukan Koalisi
Amerika Serikat Tony Franks, jenderal Norman Schwarkophf yang mengomandani
perang Teluk Persia, dan pemimpin Partai Komunis Cina Mao Zedong, sering mengutip
dan menggunakan prinsip dari strategi “Art of War’ dalam mengasah kemampuan
beradaptasi dan fleksibilitas dalam menjalankan peperangan. Para pemimpin era
modern tersebut memiliki keyakinan bahwa kebijaksanaan kuno yang diuraikan Sun
Tzu memiliki keberhasilan yang besar untuk diterapkan pada peperangan masa
kini. Teks dalam “Art of War” begitu populer dan telah menjadi pegangan bagi
orang-orang diseluruh dunia untuk mengubah pendekatan mereka terhadap konflik.
Ternyata karya Sun Tzu ini tidak hanya mempengaruhi prinsip dalam dunia
peperangan, karena konsep pemikiran strategis Sun Tzu telah mengilhami
pemikiran orang-orang dalam berbagai bidang baik baik politik, ekonomi, sosial
budaya, maupun kehidupan sehari-hari.
Dalam kaitannya dengan naskah dari
“Art of War” yang berbahasa Inggris, tulisan karya Sun Tzu tersebut
memperlihatkan adanya ketimpangan peran gender. Hal ini dibuktikan dengan penggunaandalam
peperangan. Kata-kata “he” yang terlihat pada seluruh naskah “Art of War’. He disini
ditunjukkan pada sapaan jenderal serta para pasukan militer yang menjadi aktor
utama dalam strategi “Art of War”. Tulisan Sun Tzu ini memiliki kecenderungan
untuk mengenyampingkan peran para perempuan untuk mengisi posisi-posisi utama dalam
perang pada masa itu. Sehingga muncul pertanyaan yang menggelitik dalam pikiran
penulis bahwa mungkin pada masa itu jenderal dan para prajurit-prajurit perang
hanya bisa dilakukan oleh kaum laki-laki. Namun, berkembangnya aliran feminisme
modern telah mengubah pola pikir para pelajar tentang fungsi dan kedudukan laki-laki
dan perempuan masa kini. Gerakan aliran ini mencoba untuk menyesuaikan diri
dengan kelembagaan laki-laki yang berusaha untuk melindungi hak dan
superioritas yang dijunjung tinggi dan dianggap berharga. Jika naskah “Art of War” benar – benar belum
menyadari peran penting wanita dalam peperangan klasik. Maka tulisan ini
mencoba memaparkan secara lebih mendalam tentang kekosongan peran krusial para
perempuan dalam peperangan karya Sun Tzu tersebut ditulis. Agar terjadi
keseimbangan dalam memperlihatkan peran perempuan dan laki-laki dalam dunia
peperangan, tulisan ini juga membahas kekurangan bahsan tentang perang dalam
aliran feminisme.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah sejauh
mana Sun Tzu mengusung nilai-nilai maskulinitas dalam karyanya “Art of War” dan
bagaimana kekurangan aliran feminisme dalam membahas topik peperangan?
3.
Landasan
Teori
3.1 Feminisme
Menurut Sarah Gamble (2006) dalam
bukunya “Feminisme dan Post-Feminisme” menjelaskan bahwa feminisme merupakan
sebuah gerakan yang selalu dinamis dan memiliki langkah-langkah beragam. Konsep
feminism mulai dirancang sedemikian rupa sehingga membuat perempuan berdiri
sama tinggi dengan laki-laki. Feminisme menyangkut bagaimana memposisikan
perempuan dalam masyarakat. Beberapa abad lamanya perempuan diposisikan sebagai
‘the other’ yang relasinya menunggu
untuk didefinisikan dan dimaknai. Feminisme secara umum bisa dikategorikan
sebagai sebuah perjuangan guna meningkatkan kesempatan perempuan untuk
mendapatkan hak atas kebudayaan yang didominasi oleh laki-laki. Walaupun
sebenarnya apa yang diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan bagi para peempuan
masih menjadi isu yang dipertentangkan baik mengenai sarana-sarana maupun
permasalahan-permasalahan kodrati.
Di AS, terdapat dua cabang utama, yaitu Betty
Friedan yang mendirikan NOW (National Organization for Women) pada tahun 1966
yang tujuannya mengarahkan perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam arus
utama masyarakat AS dewasa ini, serta mencapai hak-hak dan tanggung jawab yang
setara dengan laki-laki. Komisi ini mendapatkan Rancangan Undang-Undang untuk
hak-hak perempuan dalam konferensi pertamanya pada bulan oktober 1967.
Sebaliknya gerakan feminism yang kedua yaitu Women Liberation (Pembebasan Perempuan) di AS terletak pada hak-hak
sipil, anti-perang Vietnam dan gerakan pelajar pada tahun 1960-an. Dari sinilah
pandangan feminisme berkembang dan mulai mengkritisasi hal-hal yang berkaitan
dengan gender mainstreaming.
Kesetaraan gender merupakan hal yang sering
diperjuangkan kaum feminin. Konsep gender pertama kali diperkenalkan oleh
sosiolog yang berasal dari Inggris yaitu Ann Oakley. Ia membedakan antara seks
dan gender. Perbedaan seks membedakan laki-laki dan perempuan dari ciri-ciri
biologis. Sedangkan perbedaan gender
adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks
tetapi tidak selalu identik dengannya karena gender lebih mengarah ke simbol-simbol sosial yang diberikan pada
suatu masyarakat tertentu. Gender adalah suatu sikap yang melekat antara
laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural.
Gender tidak diperoleh sejak lahir melainkan melalui proses sosialisasi dari
masa anak-anak hingga dewasa. Pada akhirnya gender merupakan konsepsi yang
mengharapkan kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan. Ada kesadaran
baru bahwa keterpurukan perempuan merupakan rantai kondisi ketidakadilan yang
ada di komunitas, negara, bahkan korporasi yang juga berdampak pada hidup
masyarakat, termasuk kaum laki-laki dari kelompok miskin dan minoritas. Namun
masih ada banyak pihak yang resisten terhadap kenyataan tentang adanya
keterkaitan antara isu gender dan kehidupan masyarakat.
3.2 Feminisme dalam Ilmu Hubungan
Internasional
Kata ‘Internasional ‘ dalam disiplin
ilmu hubungan internasional dicirikan sebagai suatu bentuk “politik tingkat
tinggi” antarnegara yang impersonal dan beresiko. Tindakan ‘negara atau lebih
tepatnya lagi tindakan laki-laki untuk negara’ telah member dominasi atas
sebuah ‘hubungan’. Sehingga muncul sebuah pertanyaan besar tentang kedudukan
seorang perempuan atau konstruksi sosial gender (maskulin-feminin). Tidak perlu
dinyatakan bahwa feminism merupakan suatu intervensi yang baru dan sangat
provokatif dalam teori dan praktik hubungan internasional. Feminisme sendiri
telah memberi pengaruh dalam Hubungan Internasional sejak tahun 1980-an.
Perdebatan teoritis yang terbuka mengenai Hubungan Internasional menciptakan
suatu ruang bagi para sarjana feminis dalam sebuah disiplin yang telah sangat
mengabaikan gender.Para sarjana feminis telah membuat kontribusi yang bernilai
bagi begitu banyak wilayah yang sejak lama menjadi bagian utama dalam bidang
Hubungan Internasional. Pada saat yang sama, feminisme menantang ide-ide
konvensional tentang segala hal yang didefinisikan sebagai pusat, penting
ataupun tidak penting dalam Hubungan Internasional. Pendalaman utama dari
feminisme terletak pada cara pembagian privat atau publik yang tegas telah
mengubah seperangkat hubungan kekuasaan menjadi tidak terlihat. Dari perspektif
feminis, privat bukan hanya bersifat politis, tetapi juga merambah lingkup internasional
dan global
Masuknya
perempuan kontemporer ke dalam kancah pertempuran militer telah meruntuhkan
pertahanan terakhir keistimewaan kewarganegaraan laki-laki pada sejumlah negara
membuat pergeseran atas perspektif tradisional pemisahan tenaga kerja
berdasarkan gender dengan mengenalkan konsep feminis ke dalam politik global
selama dasa warsa terakhir, telah mengancam dasar ontologism dan epistemologis
Hubungan Internasional, salah satu disiplin yang melindungi laki-laki dan
maskulinitas. Sesungguhnya representasi HI sebagai ‘politik tingkat tinggi’
secara implisit bias gender ketika ‘signifikansi krusial dan kekuatan publik,
merupakan alasan tentang membangun sebuah otoritas tertinggi tanpa
mengikutsertakan perempuan.’
3.3 Dominasi Maskulin dalam Perang:
Perspektif Feminisme
Pria
terdorong untuk militer dalam upaya untuk mendapatkan kehormatan dan prestise.
Militer telah diidentifikasi sebagai lembaga maskulin bukan hanya karena mereka
akan diisi dengan laki-laki tetapi juga karena mereka merupakan arena utama
untuk konstruksi identitas maskulin dan memainkan peran utama dalam membentuk
gambar maskulinitas dalam masyarakat pada umumnya. Ketentuan seperti kehormatan,
pengecut, keberanian, kepahlawanan, dan kewajiban adalah pusat untuk perekrutan
dan pelatihan angkatan bersenjata Kaum feminis telah mengidentifikasi bahwa
ruang lingkup keamanan Internasional didominasi oleh nilai-nilai dan norma
maskulin (Tickner 2001; Sjoberg: 2009). Dalam bidang keamanan nasional,
nilai-nilai yang terkait dengan maskulinitas (misalnya kekuatan, rasionalitas,
dan otonomi) diberikan penghargaan yang lebih tinggi daripada nilai-nilai
feminism yaitu (kelemahan, emosi, dan rasa saling ketergantungan) (Tickner:
2002) Dalam dikotomi ini, ada hierarki kekuasaan yang berbeda antara maskulin
dan feminine seperti tipikal maskulin yang idealnya berada di atas hierarki
gender feminine dalam area Internasional (Connell: 1995; Hopper: 2001). Feminist scholars mengidentifikasi sifat
ideal maskulin ini sebagai sebuah “hegemoni kaum maskulin” (Connel: 1995).
Hegemoni
maskulin mengacu pada norma-norma dan nilai-nilai tertentu dari maskulin yang
menjadikannya dominan dalam institusi kontrol sosial tertentu, dan membuat
institusi-institusi tersebut mempertahankan nilai sosial dan politik patriarki (Kronsell,
2005:281; Tickner, 1992:6). Maskulinitas dihargai dan dijunjung tinggi dalam
kepemimpinan politik dan militer, bahkan
ketika posisi ini diduduki oleh wanita. Dominasi maskulin bergantung pada
perlawanan dan persaingan dengan kaum maskulin yang tersubordinasi dan kaum
feminin itu sendiri. Hegemoni maskulin sekaligus mempromosikan organisasi
tertentu dalam tata perpolitikan dan menekankan hubungan yang tidak setara
antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mempromosikan legitimasi otoritas
kaum maskulin.
Charlotte
Hooper menjelaskan bahwa ketika
nilai-nilai maskulin sangat dihargai, hal itu dapat diperdebatkan sebagai
ungkapan yang membuat para feminin hanya mengisi kategori sisa, bekas ataupun hal lainnya yang melawan
nilai-nilai maskulinitas (Hooper 2001: 43). Nilai yang terkait dengan
maskulinitas dihargai sedemikian rupa karena mereka dianggap lebih unggul dari
kaum feminin. (Hooper 2001: 43). Kaum feminis telah mengasosiasikan bahwa dalam
militer, perusahaan, pahlawan dalam cerita-cerita narasi, tindakan militer
dimana dan entitas-entitas negara selalu ingin membuktikan kemaskulinitasan
mereka. (Huston 1983: 271; Sjoberg 2006b). Idealisme perawakan maskulin seorang
tentara telah dibentuk oleh perjalanan sejarah yang menyertakan karakteristik
yang berasosiasi dengan sifat agresi, keberanian, pelayanan, rasa kebanggaan,
dan perlindungan. Maskulinitas militer yang ideal mempunyai nilai sosial dan kekuatan
fisik. Maskulin juga melatih kemampuannya dengan spesialisasi tertentu dalam militer
(misalnya pelatihan untuk menjadi anggota NAVY SEALS atau Army Rangers). Budaya
militer kebayakan menekankan pada ciri-ciri fisik dan ciri sosial yang
berlawanan dengan nilai-nilai feminism. Anggapan ini menekankan pentingnya
kekuatan fisik untuk menjadi tentara, yang membuat framing alami tubuh
perempuan, kekuatan, dan kemapuan yang mereka miliki tidak cocok dengan profesi
sebagi seorang tentara. Jika seorang laki-laki secara fisik mampu menjadi
seorang tentara,, maka ketidakmampuan fisik mereka seorang tentara digolongkan
sebagai feminin. Dan pada kedua jenis kelamin (laki-laki atau perempuan) atau
gender (masculine atau feminine) hal ini sangat dideterminasi.
Pada
saat yang bersamaan, iklan-iklan perekrutan tenaga militer menuntut wanita
untuk menunjukkan standar ganda, dimana perempuan harus dapat menunjukkan
kemampuan dan sifat-sifat maskulinitas mereka disamping juga harus tetap
mempertahankan penampilan feminin mereka (seperti bersepatu hak tinggi, bermake
up, dan menggunakan perhiasan) (Brown 2006). Beberapa tentara wanita
menjelaskan bahwa bahwa mereka diharapkan dapat meniru (atau bahkan melebihi)
karakteristik gender maskulin, dan ditantang untuk tidak menunjukkan kelemahan
yang dirasa terkait dengan unsur feminitas, sambil menjalankan peran gender
mereka diman mereka tidak mendekonstruksi gender dikotomi dimana ditemukannya
hubungan antara sosial dan politik. Banyak organisasi militer yang
mengecualikan perempuan dalam pertempuran militer. (Kornblum 1984 - Horrigan
1992). Prajurit digambarkan sebagai laki-laki yang membela kaum feminine untuk
kebaikan diri sendiri, keluarga dan negara. Dalam struktur sosial ini,
laki-laki tidak hanya dihormati sebagai warga negara, namun juga sebagai
seorang prajurit yang dapat dipanggil kapan saja saat negara membutuhkan.
Sementara fungsi seorang wanita adalah sebagai alat reproduksi sosial dan
biologis bagi bangsa pada umumnya dan untuk tentara khususnya
4.
Pembahasan
4.1 Brief Explanation about Art of
War
Buku
Seni Berperang karya Sun Tzu adalah hasil dari pengalaman yang dialami oleh Sun
Tzu pada masa hidupnya (Hanzhang, 1998: 112). Pada saat itu, masyarakat antar
kelas di Cina sedang mengalami pergolakan akibat transisi sistem, dari sistem
perbudakan ke sistem feodal. Para bangsawan sibuk berperang dan berdiplomasi
untuk memperebutkan dominasi wilayah dan juga mengadakan aliansi untuk
memperlancar perekonomiannya. Menurut Sun Tzu, terdapat lima faktor fundamental
beserta tujuh elemen yang harus dipertimbangkan oleh Sang Jenderal sebelum
memulai peperangan. Tujuannya adalah untuk memperkirakan hasil dari peperangan
tersebut. Kelima faktor utama itu adalah kondisi politik, cuaca, medan tempur,
panglima perang, dan doktrin. Sementara tujuh elemen yang harus dipertimbangkan
oleh Jendera perang adalah kecerdasan penguasa, kebijaksanaan serta kemampuan
komandan perang, kemampuan tentara di medan tempur, pertimbangan kedisiplinan
(mana yang lebih ketat), kekuatan tentara, keterlatihan petugas, dan pemberian
hukuman maupun hadiah (Hanzhang, 1998: 63-64). Selain itu, Sun Tzu juga
menekankan akan pentingnya kualitas Jenderal perang dalam menentukan strategi
maupun tipu muslihat (deception) perang.
Keberhasilan dalam perang juga
ditentukan oleh kemampuan mata-mata (intelijen) dalam memperoleh informasi
mengenai lawannya. Informasi yang berguna dari seorang mata-mata adalah
informasi tentang logistik lawan, kapabilitas militer, strategi lawan. Mengingat
pentingnya peran mata-mata,
dalam era Sun Tzu seorang mata-mata digambarkan mempunyai kedekatan dengan para
jenderal, dan karena tugas mereka begitu penting maka para jenderal memberikan
penghargaan yang tinggi bagi mata-mata yang berhasil menjalankan tugasnya.
4.2
Women
Life in Chinese Ancient War
Sebelum masuk
pada pembahasan tentang hubungan karya Sun Tzu dengan perspektif kaum
feminisme, perlu dibahas terlebih dahulu tentang kehidupan para wanita pada
masa perang klasik di dataran Cina pada era Sun Tzu. Pembahasan ini mempengaruhi
pandangan atas kedudukan dan peran wanita dalam masyarakat pada jaman itu. Di
era kehidupan Sun Tzu (400 – 320 SM) pengaruh agama dan tatanan masyarakat
masih sangat kental dengan budaya patriarki dan aliran konfisianisme. Aliran
Konfusianisme dipengaruhi oleh prinsip Yin dan Yang. Dimana Yin lebih
menggambarkan unsur langit, terang, positif, siang, keberanian, dan lebih
direpresentasikan kepada karakter seorang laki-laki. Sedangkan Yang mengarah
pada unsur gelap, lemah, negatif, ketakutan. Yin dan Yang kemudian berinteraksi
secara harmonis untuk menjaga keseimbangan alam. Konsep Yin dan Yang juga berhubungan
dengan posisi perempuan dan struktur sosial masyarakat Cina pada masa itu. Maka
berdasarkan prinsip keseimbangan Yin dan yang masyarakat Cina pada masa itu
mengenal perempuan sebagai sesuatu yang negative sedangkan pria adalah sesuatu
yang positif. Ajaran konfusianisme yang berkaitan dengan peran dan pandangan
terhadap kaum perempuan pada era Cina klasik dijelaskan pada lima hubungan
terpenting antarumat manusia yaitu:
1. Jun-Chen
yaitu hubungan penguasa dengan bawahan
2. Fu-Zi
yaitu hubungan ayah dengan laki-laki
3. Fu-Fu
yaitu hubungan suami dengan istri
4. Xiong-Di
yaitu hubungan kakak laki-laki dengan adik laki-laki
5. Peng-You
yaitu hubungan sesama teman
Apabila
kita melihat kelima hubungan manusia yang dipaparkan diatas, maka perempuan
hanya menempati satu dari empat hubungan yang ada, sehingga hal ini
memperlihatkan bahwa peran yang diberikan kepada laki-laki lebih banyak
ketimbang perempuan. Sesuai dengan prinsip konfusianisme, kedudukan perempuan
selalu ada dibawah pria. Hal ini dimaksudkan agar masing-masing individu
mengetahui kewajibannya dan berperilaku sesuai tugasnya, sehingga kehidupan
sosial akan terjamin. Seorang perempuan diidentikkan dengan peran anak, istri
dan ibu yang harus patuh kepada aturan ayah maupun suami. Dengan adanya aturan
ini maka system hierarki masyarakat Cina pada masa itu sangat mementingkan
superioritas. Hal ini sangat mempengaruhi kehidupan perempuan baik dalam
posisinya di rumah tangga maupun dalam masyarakat. Konsep patriarki ini telah
ada semenjak Dinasti Zhou (2100 SM). Patriarki disimbolkan dengan pedang dan
profesi sebagai kaum prajurit yang didominasi oleh kaum laki-laki. Kekuatan
yang dimiliki laki-laki menyebabkan semakin mengakarnya system patriarki.
Posisi para pria yang menempati kedudukan yang begitu tinggi tidak lepas dari
kekerabatan masyarakat Cina yang dalam kehidupan sosialnya, kehadiran anak
laki-laki sangat diharapkan untuk meneruskan nama keluarga dan menjaga
kehormatan leluhur. Dengan alasan inilah perempuan dianggap tidak lebih
berharga dapipada laki-laki.
Adanya
perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan inilah menimbulkan bentuk konsep
moral dalam masyarakat Cina klasik mengenai anggapan bahwa laki-laki adalah hal
yang harus diutamakan, dan semua tanggungjawab penting diberikan kepada
laki-laki.Perempuan ditempatkan dalam posisi terhormat karena kemampuan mereka
untuk melahirkan, namun ini tidak da artinya jika dibandingkan dengan posisi
laki-laki. Anak laki-laki bebas bermain dan menjalankan aktivitasnya, namun
anak perempuan dituntut untuk mematuhi kode moral masyarakat Cina yaitu
memiliki sifat yang baik sesuai norma yang berlaku, bertingkah laku yang benar
sesuai dengan perintah yang diberikan, sopan santun dan berbicara seperlunya,
dan terampil dalam melayani suami. Karena posisi wanita yang selalu dibuat
tidak dalam posisi diuntungkan maka ia tidak dapat mandiri dan harus tergantung
pada laki-laki. Seumur hidupnya. Hal ini merupakan gambaran tentang rendahnya
status perempuan dalam masyarakat Cina tradisional yang berlaku didaerah
manapun, dan dalam kelas apapun.
Hal
diatas akan mempengaruhi pola pikir para perempuan sekaligus laki-laki Cina
pada masa itu. Kungkungan dalam keluarga dan masyarakat sosial membuat
perempuan tidak dapat memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan dunia luar
ataupun mencoba meraih impian yang mereka harapkan. Selain itu stigma yang
menganggap kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki juga mempengaruhi
pemikiran-pemikiran orang-orang pada masa itu. Sehingga mencoba menggali
kemampuan perempuan atau membuat perempuan menjadi lebih berpendidikan
cenderung diabaikan.
4.3
Sun
Tzu’s Perspective towards Women: They are as Tools of War
Cerita
dibalik kesuksesan strategi Sun Tzu menyimpan suatu tragedi tentang matinya dua
selir raja yang dibunuh oleh Sun Tzu karena tidak patuh pada perintah yang
diberikan. Hal itu terjadi ketika raja Ho Lu dari negara Wu menguji apakah
strategi yang dimiliki Sun Tzu dapat berhasil jika diterapkan oleh para wanita.
Kemudian cerita diatas dilanjutkan dengan dipanggilnya ke 180 selir-selir raja
untuk dilatih oleh Sun Tzu. Namun saat latihan dimulai para selir tidak mau mengikuti Sun Tzu bahkan
Sun Tzu ditertawakan atas perintah-perintahnya. Akhirnya kejadian ini berakhir
dengan kematian kedua selir favorit raja karena lalai menjalankan tugasnya untuk
mendisiplinkan pasukan. Dari cerita diatas tampak bahwa perempuan di era itu tidak
terbiasa dengan kedisiplinan perang, sehingga mereka menertawakan Sun Tzu saat
memberikan perintah. Kala itu perang memang hanya menjadi urusan laki-laki.
Para lelaki berpendapat bahwa mereka terlahir untuk berperang dan bertempur di
medan perang hanya merupakan keahlian yang dimiliki laki-laki. Budaya patriarki
membuat para perempuan perempuan harus selalu mengikuti perintah-perintah yang
dilakukan oleh para laki-laki tanpa ada kesempatan untuk berargumen apakah
tindakan yang dilakukan laki-laki selalu tepat. Hal inilah yang selalu membuat
wanita selalu menjadi objek dan bisa diperlakukan sesuai dengan keinginan
laki-laki. Para selir raja sama sekali tidak memprotes mengapa mereka harus
menanggung akibat dari kelalaian mereka. Sama sekali tidak tampak suatu
kemungkinan bahwa perempuan pada masa itu berpendapat untuk menyelamatkan diri
mereka. Hal ini menjadi bukti bahwa perempuan tidak memiliki kesejajaran fungsi
dan kedudukan dalam tatanan sosial masyarakat Cina.
Sun
Tzu menyadari bahwa perempuan memiliki potensi untuk menyukseskan sebuah
perang. Namun yang menjadi permasalahan adalah perempuan pada masa itu hanya
digunakan hanya sebagai ‘alat’ untuk mencapai keberhasilan. Hal ini terlihat
dari ungkapan dibawah:
Jebakan indah / jebakan bujuk rayu (gunakan seorang
perempuan untuk menjebak seorang laki-laki.) Kirim musuh anda
perempuan-perempuan cantik yang akan menyebabkan perselisihan di basis
pertahanannya. Strategi ini dapat bekerja pada tiga tingkatan. Pertama,
penguasa akan terpesona oleh kecantikannya sehingga akan melalaikan tugasnya
dan tingkat kewaspadaannya akan menurun. Kedua, para laki-laki akan menunjukkan
sikap agresifnya yang akan menyulut perselisihan kecil di antara mereka,
menyebabkan lemahnya kerjasama dan jatuhnya semangat. Ketiga, para perempuan
akan termotivasi oleh rasa cemburu dan iri, sehingga akan membuat intrik yang
pada gilirannya akan semakin memperburuk situasi..
Perempuan
memiliki kemampuan untuk melemahkan kewaspadaan laki-laki. Perempuan cantik
dapat menjadi senjata pemecah belah kesatuan musuh. Kelemahan wanita bisa
menjadi sumber kekuatan utama yang dapat mengacaukan kekuatan yang dimiliki
laki-laki. Sun Tzu begitu lihai melihat kesempatan ini untuk memperburuk
hubungan baik lawan-lawannya. Sun Tzu juga menggunakan perempuan sebagai
intelijen. Sun Tzu mengetahui bahwa intelijen memiliki peran penting dalam
menyukseskan strategi seorang jenderal. Menurut Sun Tzu penggunaan perempuan
sebagai intelijen lebih aman dibandingkan laki-laki. Sifat perempuan yang lemah
cenderung menurunkan kewaspadaan musuh. Padahal perempuan-perempuan inilah yang
akan merusak strategi lawan dengan cara mencuri informasi. Sun Tzu percaya
perempuan lebih leluasa dalam bertindak . Namun musuh justru menganggap
perempuan tidak membahayakan. Sehingga dengan mudah Sun Tzu juga memanfaatkan
selir-selir raja untuk menjadi seorang mata-mata, dan kecantikan mereka dapat
menarik pimpinan dari pihak lawan untuk membagi informasi. Bahkan dalam salah
satu tulisan Sun Tzu sangat mempercayai salah satu selir raja yang merupakan
wanita tercantik di Cina untuk bekerja sebagai mata-mata selama dua puluh
tahun. (Chow-How: 2006)
4.4
Sun
Tzu Art of War ‘The Art of Man, Not Woman”: Pathriarchy Mainstreaming
Perang adalah sebuah aksi fisik dan
non fisik (dalam arti sempit adalah kondisi permusuhan dan penggunaan
kekerasan) antara dua atau lebih kelompok manusia untuk menentukan dominasi di
wilayah yang dipertentangka. Perang secara klasik dimaknai sebagai pertikaian
dengan menggunakan senjata. Hal ini terjadi karena berkembangnya doktrin bahwa
“barang siapa yang menguasai “ketinggian” maka ia akan menguasai dunia. Secara
filosofis, keinginan untuk berperang merupakan turunan dari sifat dasar manusia
yang sampai saat ini dipelihara melalui rasa persaingan dengan cara menundukkan
pihak yang dimusuhi. Strategi dan perang merupakan wacana yang berjalan secara
inheren. Di dalam perjalanan sejarah, perang selalu hadir sebagai sebuah
fenomena yang natural. Meski seni perang Sun Tzu diakui sebagai strategi
militer, namun bukunya tidak mutlak memaparkan teknik berperang untuk mematahkan
serangan atau pertahanan musuh secara fisik. Bagi Sun Tzu mengerahkan kekuatan
militer adalah jalan terakhir untuk memenangkan pertempuran. Sehingga teori
perang Sun Tzu menjadi sangat fleksibel, karena menaklukkan perang dengan
kekauatan otak, diplomasi dan cara-cara mikliter dipilih sebagai jalan
terakhir. Esensi tertinggi sebuah kemenangan perang bagi Sun Tzu adalah ’how to win a war without engage in the real
war’.
Pengaturan
tertinggi dalam tulisan Sun Tzu adalah bagaiman seseorang menang bukan dengan
penggunaan kekuatan pasukan namun lebih kepada pengaturan strategi. Bahkan di
dalam pertempuran Sun Tzu mengajarkan bahwa pakar pertempuran adalah orang yang
menang tanpa menggunakan pasukan sama sekali, yakni tanpa menghancurkan musuh.
Strategi Sun Tzu lebih ditekankan pada seni militer bukan pada kekuatan
militer. Karena konsep yang ia tawarkan diarahkan pada cara-cara untuk “memenangkan
hati” musuh. Ia lebih menyukai pendekatan menyeluruh dalam menghadapi konflik
militer. Sun Tzu mengatakan bahwa perang adalah suatu kepanjangan pengaruh
militer dan politik seharusnya menjadi penggerak dalam isu militer, sehingga
tindakan untuk berperang tidak dianggap sebagai suatu tujuan utama. Pandangan
Sun Tzu sangat bertolak belakang dengan pandangan Clausewitz (1780 – 1831) yang
menganggap peperangan adalah suatu tindakan militer yang menyeluruh. Calusewitz
lebih berorientasi kepada tindakan yang logis dan ilmiah karena ia lebih
mendukung keputusan penggunaan kekuatan untuk menaklukkan musuh daripada
mencari alternatif lain.
Sun
Tzu bukan penganjur perang, karena ia menyadari tingginya biaya dari
peperangan. Karena biaya tidak terbatas pada keuangan negara, namun biaya
perang juga didapatkan dari pembebanan pajak terhadap rakyar yang akan
menyebabkan penderitaan, dan semakin mengecilnya sumber daya nasional, sehingga
perang merupakan alternatif terakhir yang hanya digunakan jika tidak ada lagi
alternatif lainnya. Inti dari pemikiran Sun Tzu yaitu dalam menentukan
peperangan seseorang harus berpikir dahulu sebelum melakukan suatu tindakan.
Perencanaan merupakan hal yang sangat penting bagi Sun Tzu, karena dengan
perencanaan, faktor Inilah ciri khas dari Sun Tzu, bahwa untuk mengalahkan
musuh tidak harus dengan perang frontal. Perang frontal dilakukan manakala cara
damai gagal ditempuh, dan itu pun harus melalui serangkaian uji kompetensi agar
tentara yang berperang adalah mereka yang benar-benar terlatih. (Hanzhang,
1998: 76).
Namun
fleksibilitas Strategi Sun Tzu tidak dibarengi dengan fleksibilitas Sun Tzu
untuk member kesempatan pada para wanita menempati posisi sebagai seorang
prajurit. Karya-karya Sun Tzu menggambarkan dominasi pria yang begitu tinggi
dalam melaksanakan hingga memenangkan sebuah perang. Dengan kata lain budaya
patriarki masih mengakar dalam strategi yang dibuat oleh Sun Tzu. Untuk
membuktikan hal tersebut maka akan penulis buktikan melalui beberapa naskah Sun
Tzu:
1. Politics
means the things which causes the people to be in harmony with their ruler so
they will follow him in disregard of their lives and without fear of any danger
(Chapter 1, estimates)
2. ….
In that case, no man, however wise,
will be able to avert the disastrous consequences that ensue. (Chapter 2,
waging war)
3. He
whose ranks are united in purpose will be victorious (chapter3, offensive
strategy)
4. …For he wins his victorieswithout erring
(chapter 4, disposition)
5. He
entices the enemy with something he is certain to want (Chaptert 5, posture of
army)
6. If
he strengthtens his left, his right will
be vulnerable (chapter 6, void and actuality)
Dari
beberapa bagian kalimat dari setiap penjelasan strategi Sun Tzu masih
menandakan bahwa bertempur di medan perang hanya dapat dilakukan oleh para
pria. Wanita tidak memiliki kemampuan dalam perperang karena keterbatasan fisik
dan psikologis mereka. Hal ini ditandai dengan beberapa kata-kata dalam
strategi Sun Tzu yang sama sekali tidak memperlihatkan peran wanita dalam medan
pertempuran untuk melaksanakan pertempuran dengan menggunakan senjata seperti
yang dilakukan oleh para lelaki. Penulis dapat menangkap bahwa pandangn Sun tzu
terhadap kelemahan yang dimiliki oleh wanita digolongkan pada entitas feminine.
Sedangkan kekuatan diperlihatkan oleh Sun Tzu melalui peran para pria dalam
posisi sebagai jenderal, raja dan prajurit dapat dikatakan sebagai dominasi
maskulin.
Strategi
Sun Tzu membutuhkan kecepatan, ketepatan, keakuratan dan kondisi fisik dan mental
yang prima untuk bertahan. Dalam pemikiran klasik perempuan dianggap tidak
tidak memiliki kemampuan seperti yang dimiliki oleh laki-laki. Karakteristik perang
terkait dengan maskulinitas begitu dihargai Sun Tzu sebagai proses militerisasi
(yang mengandung unsur ketabahan dan rasionalisasi) Pada akhirnya nilai-nilai
keprajuritan sangat terkait dengan unsur maskulinitasnya, dimana maskulinitas
dibuktikan dalam tindakan militer yang cara pandangnya berdasar pada asumsi nilai-nilai maskulin
sebelumnya. Seorang pria (atau siapapun) menyatakan bahwa maskulinitas
diposisikan lebih tinggi jika disandingkan dengan feminin. Hal ini telah
menjadi konstruksi pemikiran masyarakat. Tanpa kehadiran seseorang ataupun
kelompok yang diberi label sebagai pihak yang lebih lemah, norma-norma sosial
maskulin tidak akan ada nilainya. Norma-norma sosial untuk kaum maskulin dalam
politik internasional tampak nyata dalam institusi-institusi militer, yang
disusun disekitar hierarki hubungan gender di dalam lembaga ataupun pencapaian
dari misi-misi mereka. Istilah “militerisme” digunakan untuk menunjukkan
nilai-nilai militeristik (misalnya kepercayaan dala sebuah hierarki, kepatuhan
dan penggunaan kekuatan), yang nilai-nilainya diadopsi oleh negara, organisasi,
maupun individu, perusahaan dan institusi lainnya. (Enloe 2007: 4) Fenomena
dominasi maskulin terhadap feminin sangat kental dalam karya Sun Tzu karena Sun
Tzu melalui tulisannya memposisikan peran-peran kuat dan dominan seperti peran
jenderal, raja dan prajurit dipercayakan pada laki-laki, sedangkan perempuan
belum mendapatkan kedudukan yang setara dengan laki-laki atas peran itu.
Sehingga Art of War of Sun Tzu adalah penulis kategorikan sebagai seni
berperangnya para pria.
4.5
The
Unrecognizing Prominent Role of Women in Sun Tzu “Art of War”
Art
of War yang disusun oleh Sun Tzu lebih menekankan pada penggunaan strategi
daripada penggunaan kekuatan fisik. Salah satu kunci kesuksesan dalam Art of
War adalah strategi untuk menaklukkan musuh dengan kemampuam untuk menipu musuh
(deception). Sun Tzu mengatakan saat kita
berani berpura-puralah untuk jadi pengecut, saat siap berpura-puralah untuk
tidak memiliki persiapan, saat kita dekat berpura-puralah jauh, saat
kitamenyerang berpura-puralah untuk mundur sehingga musuh tidak mengetahui niat
yang kita miliki. Sehingga musuh dapat sewaktu-waktu lalai dan membuat musuh
mudah dikalahkan. (Wee: 2006) Pada
perang kebanyakan, penggunaan fisik lebih ditekankan, kekuatan otot lebih
dipentingkan, dalam perang modern hal ini juga membuat para lelaki
memarjinalkan fragmen alami tubuh
perempuan yang lemah dan tidak kuat menghadapi pertarungan-pertarungan fisik
yang sarat dengan unsure kekerasan. Namun tidak banyak yang menyadari bahwa
tindakan deception merupakan seni
perilaku yang lebih banyak dilakukan oleh para perempuan. Perempuan karena
stereotip yang dilekatkan pada identitas mereka membuat tindakan fisik terutama
kekerasan sangat dihindari, perempuan memiliki sifat yang cenderung pasif, dan
perlawanan yang mereka lakukan lebih banyak dalam bentuk deception. Sehingga strategi ini sebenarnya sudah jauh dikenal
perempuan sebelum ditulis oleh Sun Tzu.
Kunci
kesuksesan strategi Sun Tzu yang kedua adalah intelijen (mata-mata). Mata-mata
handal yang dimiliki oleh Sun Tzu kebanyakan adalah perempuan. Hal ini terjadi
karena perempuan lebih leluasa untuk masuk ke dalam sarang musuh tanpa
menimbulkan kecurigaan yang besar daripada mengirimkan mata-mata seorang
laki-laki. Kemampuan yang dimiliki oleh intelijen memiliki peran yang vital
dalam menentukan keberhasilan atu kegagalan strategi yang akan dijalankan oleh
Sun Tzu. Mengirimkan perempuan-perempuan cantik yang berprofesi sebagai
intelijen ke temapat-tempat musuh juga kerap dilakukan oleh Sun Tzu. Kemampuan
yang dimiliki oleh perempuan-perempuan ini untuk menggali informasi tidak mampu
dilakukan dengan mudah oleh para pria sebagai contoh dengan kecantikan yang
mereka miliki para perempuan ini mendekati para jenderal musuh dan membujuk
mereka untuk membocorkan rahasia perang yang akan dapat membantu Sun Tzu.
Namun
ada kemampuan yang paling krusial yang tidak disadari oleh Sun Tzu untuk
menyukseskan peperangan yaitu profesi sebagai seorang jenderal dan bertarung
sebagai seorang prajurit. Sun Tzu masih mengidentikkan peran jenderal dan
prajurit merupakan profesi yang hanya bisa dilakukan oleh pria. Hal ini
menggambarkan ketergantungan antara nilai konseptual dan aktualisasi dari
maskulinitas dan kegiatan ketentaraan yang mengenyampingkan perempuan dalam
profesi militer. Seperti hal yang dicatat oleh kaum feminis bahwa saat perempuan
memasuki dunia kemiliteran, maka rekan laki-laki akan menyuruh para perempuan
tersebut untuk membuktikan kemaskulinan mereka dalam hal-hal kecakapan fisikkan
karakter-karakter sosial dalam bidang militer yang disukai (Cohn 2000). Begitu
pula Sun Tzu melalui tulisannya menandakan bahwa posisi-posisi penting dalam
tatanan masyarakat harus dijalankan oleh pria. Hal ini tidak dapat dilepaskan
dari kepercayaan Konfusianisme yang mempengaruhi ideologi masyarakat pada masa
itu selain budaya patriarki yang telah berurat akar. Dominasi hegemoni kaum
maskulin dalam bidang keamanan berkaitan tergantung dari jumlah keterwakilan
laki-laki dalam posisi politik dan pertahanan (Pettman: 1996). Potensi
perempuan untuk menduduki posisi penting begitu dikesampingkan. Sun Tzu belum
dapat melihat bahwa saat perempuan diberikan kebebasan dan pendidikan yang sama
akan memiliki kehandalan dalam menjadi seorang jenderal dan prajurit yang
profesional.
4.6
The
Lack of “War Study” on Feminism Theory
Tujuan utama yang dicapai kaum feminis berkaitan
erat dengan tatanan sosial, yang sensitif yaitu dihapuskannya diskriminasi,
penindasan, dan ketidaksetaraan gender secara represif. Teoritisi feminisme
lebih memprioritaskan studi gender yang selama ini bersifat marginal. Hierarkhi
wanita dan dan ‘negara bergender’dalam feminisme saat ini benar-benar mendapat
pengakuan proporsional dalam politik dunia.
Asumsi yang mendasari feminisme ialah adanya perlakuan diskriminatif dan
marginalitas kaum wanita dalam menentukan langkah hidupnya. Bahkan, hak asasi
wanita tidak sebanding dengan lelaki, kaum lelaki seringkali mendapat posisi
tertinggi dan diunggulkan dalam setiap bidang.
Dengan adanya teori feminisme, kedudukan
komparatif gender dapat berjalan dinamis dalam heterogenitas aspek seperti:
perbandingan kelas atau strata, kelas, etnis, nasionalisme, seksualitas, dan
menyatu dengan struktur global. (J.Ann Ticker, 2002 : 278). Bagi kaum feminis
perdamaian dan kooperasi memang menjadi landasan dasar dalam memahami sistem
anarki internasional yang didiidentikkan sebagai peperangan. Menurut kaum feminis, perang diidentikkan
dengan pencarian arah untuk mewujudkan perdamaian. Naluri seorang wanita
diharapkan mampu memperkuat politik pembendungan senjata nuklir, yang
seharusnya menuju stabilitas kooperatif dan integrasi sistem internasional. (J.
Ann Ticker, 2002: 285). Wanita yang secara biologis memiliki esensi psikologis
dan emosi lebih dominan daripada lelaki justru mampu menumbuhkan politik etis
dan moral yang baik bagi hubungan internasional yang berkelanjutan. Sehingga
pembahasan dalam teori feminis justru lebih identik dengan bagaimana mencari
solusi damai untuk mencegah atau menghentikan peperangan daripada membahas
peperangan itu sendiri.
4.7 Modern Life: The Same Role of
Women and Man in Military Area
Kaum
feminis modern datang sebagai teori pendobrak kebiasaan-kebiasaan pemisahan
gender dalam kehidupan, sebagai contoh adalah masuknya perempuan kontemporer ke
dalam ranah pertempuran militer (misalnya Lyudmila Pavlichenko, seorang sniper
ulung dari Uni Soviet). Dapat dikatakan bahwa feminisme ini berusaha untuk
menunjukkan bahwa wanita juga memiliki hak yang sama dengan kaum pria, bahwa
wanita juga mampu melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh kaum pria,
bahwa wanita juga memiliki talenta yang dapat sejajar dengan kaum pria, bahkan
ada yang dapat melebihinya.Gerakan feminisme berkembang pesat dan meningkatkan
posisi perempuan dalam tatanan masyarakat. Gerakan ini tahap demi tahap
memberikan kesadaran bahwa perempuan memiliki peluang dan kesempatan yang sama
untuk berpartisipasi dalam tiap bidang pekerjaan.
Feminisme
saat ini tidak lagi dipandang sebagai subordinasi dari golongan maskulin. Tiap
individu baik laki-kali maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam
bidang apapun asalkan memiliki kemampuan. Saat ini peran sebagai seorang
pemimpin juga banyak dilakoni oleh para perempuan. Bahkan dalam bidang yang
paling ekstrim sekalipun seperti dunia militer. Perempuan masa kini telah
memiliki tingkat pendidikan yang setara dengan laki-laki sehingga mereka mampu
membuktikan bahwa peran yang dulu hanya didominasi oleh laki-laki saat ini
telah dapat diemban oleh para wanita. Sebagai contoh di Amerika Serikat, saat
tahun 2008, lembaga militer di negara tersebut telah melantik seorang jenderal
perempuan bernama Ann E. Dunwoody yang telah mengabdi selama 33 tahun di
Lembaga Angkatan Darat Amerika Serikat. Posisi ini adalah posisi puncak yang
pernah diduduki seorang wanita militer di AS dengan pangkat jenderal bintang
empat. Dunwoody telah mengukir sejarah
dalam dunia militer dengan pencapaiannya sekaligus member kebanggaan dan
memotivasi perempuan lainnya untuk meraih mimpi yang lebih tinggi.
Saat
ini nilai-nilai feminis telah mengekspor dasar-dasar gender yang memberikan
persepsi bahwa hal yang dapat dilakukan oleh laki-laki dapat pula dilakukan
oleh kaum perempuan termasuk dalam usaha bela negara. Hal ini dibuktikan dengan
bertambahnya prajurit-prajurit militer perempuan dari tahun ke tahun. Di
Amerika saja terdapat 40 ribu tentara wanita yang tersebar di seluruh
Departemen Pertahanan AS. Perang masa kini membuktikan bahwa pandangan Sun Tzu
dalam tulisannya yang tidak menyertakan peran perempuan sebagai Jenderal maupun
tentara terpatahkan. Kekosongan peran jenderal yang dapat diisi oleh seorang
perempuan telah terbukti pada kehidupan modern. Perempuan dan laki-laki
memiliki potensi yang sama. Kesusksesan seseorang sebagai pemimpin tidak
ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan mampu atau tidaknya seseorang dalam
mengemban tugas yang dibebankan kepadanya.
Kesimpulan
Stategi
Sun Tzu “Art of War” diakui tidak ada bandingannya sampai saat ini.
Prinsip-prinsip strategi Sun Tzu digunakan sampai sekarang dan telah membantu
keberhasilan dalam peperangan. Deception, intelligent dan jenderal adalah hal
yang paling krusial dalam strategi Sun Tzu begitu dikagumi oleh para ahli
militer dari era kuno sampai modern. Yang menjadi permasalah kini adalah kerelevanan
karya Sun Tzu dalam memasukkan kesadaran tentang potensi besar yang dimiliki
kaum perempuan. Ketika perempuan diberikan kesempatan yang sama dalam mengakses
pendidikan dan berkompetisi dalam bidang pekerjaan membuatnya memiliki
kesempatan untuk menduduki posisi seorang jenderal. Perempuan juga dapat
mengatur strategi seperti yang bisa dilakukan laki-laki. Perempuan juga
memiliki ketahanan fisik yang dapat diandalkan, hal ini terbukti dalam perang
kontemporer begitu banyak wanit yang ikut serta sebagai tentara dalam
menyukseskan sebuah pertempuran. Perempuan kini tidak lagi hanya sebagai tool of war. Mereka telah dapat menentukan
secara independen posisi yang ingin mereka capai. Hal ini dapat terjadi karena
berkembangnya aliran feminisme yang telah mendobrak diskriminasi yang
ditimpakan pada perempuan. Art of War akan menjadi karya abadi sepanjang masa
dan perempuan dapat mengisi kekosongan posisi yang dulu belum bisa mereka
tempati.
Daftar Pustaka
Cohn, Carol. 2000. “How
Can She Claim Equal Rights When She Doesn’t Have to Do as Many Push-ups as I
Do?” Men and Masculinities 3 (2): 131–51.
Connell,
R. W. 1995. Masculinities. Berkley:
University of California Press.
Enloe, Cynthia. 2007. Globalization and Militarism: Feminists Make
the Link. Lanham,Md.: Rowman & Littlefield.
Hanzhang,
Tao. 1998. General Tao Hanzhang’s
Commentary on the Art of War dalam Sun Tzu, The Art of War, Hertfordshire:
Wordworth Classic of World Literature, pp. 63-130.
Hooper,
Charlotte. 2001. Manly States:
Masculinities, International Relations, and Gender Politics. New York:
Columbia University Press.
Kornblum,
Lori S. 1984. “Women Warriors in a Men’s
World: The Combat Exclusion.”Law and Inequality 2: 351–444.
Kronsell,
Annica. 2005. “Gendered Practices in
Institutions of Hegemonic Masculinities: Reflections from Feminist Standpoint
Theory.” International Feminist Journal of Politics 7 (2): 280–98.
Pettman,
Jan Jindy. 1996. Worlding Women: A
Feminist International Politics. London: Routledge.
Sarah
Gamble. 2006. Feminisme dan Post
Feminisme. Jakarta: Jala Sutra
Scott Burchill. 2001. Theories of International Relations : Feminism. New York : Palgrave
Tickner,
J. Ann., and Sjoberg, Laura. 2006. “Feminism.”
In International Relations Theories, ed. T. Dunne, M. Kurki, and S. Smith.
Oxford: Oxford University Press.
Tzu,
Sun. 1998. The Art of War.
Herfordshire: Wordworth Classic of World Literature, pp.10 – 53.
Wee,
Chow-Hou. 2009. Sun Tzi Art of War.
Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
http://id.shvoong.com/social-sciences/1697021-sejarah-dan-emansipasi-politik/
- 66k – diakses pada 6 Juli 2011
http://www.cdi.org/issue/women/combat.html
diakses pada 6 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar