Kamis, 15 Desember 2011

Sun Tzu and the Masculinity Art of War: Toward Feminism Perspective






The Art Of War" atau "Seni Perang Sunzi" (Hanyu Pinyin: Sūnzĭ Bīngfǎ) adalah sebuah buku filsafat militer yang diperkirakan ditulis pada abad keenam oleh Sun Zi (juga di sebut sebagai Sun Tzu). Terdiri dari 13 bab di mana setiap bagian membahas strategi dan berbagai metode perang. Karya ini begitu dikenang sepanjang masa untuk membantu sebuah perang mencapai kemenangan. Namun karya Sun Tzu ini belum memasukkan perempuan sebagai aktor utama yang ikut serta dalam menentukan sebuah strategi perang. Perempuan bagi Sun Tzu mempunyai potensi dan sangat efektif jika digunakan sebagai tools of war (profesi sebagai perayu ataupun intelijen yang handal). Hal ini terjadi karena kepercayaan yang berkembang pada masa itu yang masih menganggap kedudukan perempuan lebih rendah dari kedudukan laki-laki. Namun melalui perspektif feminisme penulis ingin membuktikan bahwa perempuan jika diberikan kesempatan yang sama seperti laki-laki biisa menduduki posisi-posisi penting kepemimpinan temasuk menjadi seorang jenderal. Hal ini telah dibuktikan oleh Ann E. Dunwoody yang menjadi Jenderal Wanita pertama dalam militer Amerika Serikat

1.    Latar Belakang
            Dalam kesusastraan Cina, Sun Tzu “The Art of War’ merupakan karya militer klasik tertua dalam sejarah yang berasal dari negeri tirai bambu. Karya Sun Tzu ‘Art of War’ menjadi karya tulis Cina yang paling dihormati dan terkenal di luar Cina. Para pakar sejarah sepakat bahwa ‘Art of War’ itu kemungkinan ditulis pada 400-320 SM, atau 100 tahun setelah kelahiran Konfusianus dan Lao Tze yang merupakan para filsuf terkenal yang berasal dari Cina. Masa dimana Sun Tzu hidup dinamakan sebagai masa-masa negara sedang berperang, karena selama dua seperempat abad lamanya Cina masih melakukan peperangan dan belum merupakan negara yang bersatu. Pada akhir musim semi dan gugur adalah waktu dimana perang adalah kegiatan yang rutin dilakukan pada masa itu yang membuat Cina terbagi menjadi tujuh negara yang kuat dan lima belas negara yang lebih lemah kedudukannya yang berusaha untuk saling menguasai satu sama lainnya. (Chow Hou: 2006). Strategi “Art of War” yang mulai diterapkan oleh SunTzu pada masa itu membuat perang menjadi sebuah hal yang serius. Seni perang telah menghasilkan petarung-petarung yang handal dan ditakuti. Sun Tzu berfokus kepada seni perang yang berusaha untuk memenangkan “hati” musuh. Dalam karyanya, Sun Tzu menguraikan lima faktor dan tujuh dimensi yang diperlukan untuk memperoleh kemenangan. Sun Tzu juga menulis bahwa deception (muslihat) dan intelligence (mata-mata) merupakan bagian yang penting dari sebuah peperangan. Selain itu menurut Sun tzu, seorang jenderal merupakan seorang aktor utama dalam mengatur sebuah strategi perang.
            Saat inipun “Art of War” masih menjadi acuan dalam pelaksanaan perang-perang modern. Banyak akademi militer memasukkan strategi perang “Art of War’ dalam kurikulum pendidikan yang digunakan untuk mendidik para komandan militer. Sebagai contoh, Panglima Pasukan Koalisi Amerika Serikat Tony Franks, jenderal Norman Schwarkophf yang mengomandani perang Teluk Persia, dan pemimpin Partai Komunis Cina Mao Zedong, sering mengutip dan menggunakan prinsip dari strategi “Art of War’ dalam mengasah kemampuan beradaptasi dan fleksibilitas dalam menjalankan peperangan. Para pemimpin era modern tersebut memiliki keyakinan bahwa kebijaksanaan kuno yang diuraikan Sun Tzu memiliki keberhasilan yang besar untuk diterapkan pada peperangan masa kini. Teks dalam “Art of War” begitu populer dan telah menjadi pegangan bagi orang-orang diseluruh dunia untuk mengubah pendekatan mereka terhadap konflik. Ternyata karya Sun Tzu ini tidak hanya mempengaruhi prinsip dalam dunia peperangan, karena konsep pemikiran strategis Sun Tzu telah mengilhami pemikiran orang-orang dalam berbagai bidang baik baik politik, ekonomi, sosial budaya, maupun kehidupan sehari-hari.
            Dalam kaitannya dengan naskah dari “Art of War” yang berbahasa Inggris, tulisan karya Sun Tzu tersebut memperlihatkan adanya ketimpangan peran gender.  Hal ini dibuktikan dengan penggunaandalam peperangan. Kata-kata “he” yang terlihat pada seluruh naskah “Art of War’. He disini ditunjukkan pada sapaan jenderal serta para pasukan militer yang menjadi aktor utama dalam strategi “Art of War”. Tulisan Sun Tzu ini memiliki kecenderungan untuk mengenyampingkan peran para perempuan untuk mengisi posisi-posisi utama dalam perang pada masa itu. Sehingga muncul pertanyaan yang menggelitik dalam pikiran penulis bahwa mungkin pada masa itu jenderal dan para prajurit-prajurit perang hanya bisa dilakukan oleh kaum laki-laki. Namun, berkembangnya aliran feminisme modern telah mengubah pola pikir para pelajar tentang fungsi dan kedudukan laki-laki dan perempuan masa kini. Gerakan aliran ini mencoba untuk menyesuaikan diri dengan kelembagaan laki-laki yang berusaha untuk melindungi hak dan superioritas yang dijunjung tinggi dan dianggap berharga.  Jika naskah “Art of War” benar – benar belum menyadari peran penting wanita dalam peperangan klasik. Maka tulisan ini mencoba memaparkan secara lebih mendalam tentang kekosongan peran krusial para perempuan dalam peperangan karya Sun Tzu tersebut ditulis. Agar terjadi keseimbangan dalam memperlihatkan peran perempuan dan laki-laki dalam dunia peperangan, tulisan ini juga membahas kekurangan bahsan tentang perang dalam aliran feminisme.
2.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah sejauh mana Sun Tzu mengusung nilai-nilai maskulinitas dalam karyanya “Art of War” dan bagaimana kekurangan aliran feminisme dalam membahas topik peperangan?
3.    Landasan Teori
3.1 Feminisme
            Menurut Sarah Gamble (2006) dalam bukunya “Feminisme dan Post-Feminisme” menjelaskan bahwa feminisme merupakan sebuah gerakan yang selalu dinamis dan memiliki langkah-langkah beragam. Konsep feminism mulai dirancang sedemikian rupa sehingga membuat perempuan berdiri sama tinggi dengan laki-laki. Feminisme menyangkut bagaimana memposisikan perempuan dalam masyarakat. Beberapa abad lamanya perempuan diposisikan sebagai ‘the other’ yang relasinya menunggu untuk didefinisikan dan dimaknai. Feminisme secara umum bisa dikategorikan sebagai sebuah perjuangan guna meningkatkan kesempatan perempuan untuk mendapatkan hak atas kebudayaan yang didominasi oleh laki-laki. Walaupun sebenarnya apa yang diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan bagi para peempuan masih menjadi isu yang dipertentangkan baik mengenai sarana-sarana maupun permasalahan-permasalahan kodrati.
 Di AS, terdapat dua cabang utama, yaitu Betty Friedan yang mendirikan NOW (National Organization for Women) pada tahun 1966 yang tujuannya mengarahkan perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam arus utama masyarakat AS dewasa ini, serta mencapai hak-hak dan tanggung jawab yang setara dengan laki-laki. Komisi ini mendapatkan Rancangan Undang-Undang untuk hak-hak perempuan dalam konferensi pertamanya pada bulan oktober 1967. Sebaliknya gerakan feminism yang kedua yaitu Women Liberation (Pembebasan Perempuan) di AS terletak pada hak-hak sipil, anti-perang Vietnam dan gerakan pelajar pada tahun 1960-an. Dari sinilah pandangan feminisme berkembang dan mulai mengkritisasi hal-hal yang berkaitan dengan gender mainstreaming.
Kesetaraan gender merupakan hal yang sering diperjuangkan kaum feminin. Konsep gender pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog yang berasal dari Inggris yaitu Ann Oakley. Ia membedakan antara seks dan gender. Perbedaan seks membedakan laki-laki dan perempuan dari ciri-ciri biologis. Sedangkan perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak selalu identik dengannya karena gender lebih mengarah ke simbol-simbol sosial yang diberikan pada suatu masyarakat tertentu. Gender adalah suatu sikap yang melekat antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Gender tidak diperoleh sejak lahir melainkan melalui proses sosialisasi dari masa anak-anak hingga dewasa. Pada akhirnya gender merupakan konsepsi yang mengharapkan kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan. Ada kesadaran baru bahwa keterpurukan perempuan merupakan rantai kondisi ketidakadilan yang ada di komunitas, negara, bahkan korporasi yang juga berdampak pada hidup masyarakat, termasuk kaum laki-laki dari kelompok miskin dan minoritas. Namun masih ada banyak pihak yang resisten terhadap kenyataan tentang adanya keterkaitan antara isu gender dan kehidupan masyarakat.

3.2 Feminisme dalam Ilmu Hubungan Internasional
            Kata ‘Internasional ‘ dalam disiplin ilmu hubungan internasional dicirikan sebagai suatu bentuk “politik tingkat tinggi” antarnegara yang impersonal dan beresiko. Tindakan ‘negara atau lebih tepatnya lagi tindakan laki-laki untuk negara’ telah member dominasi atas sebuah ‘hubungan’. Sehingga muncul sebuah pertanyaan besar tentang kedudukan seorang perempuan atau konstruksi sosial gender (maskulin-feminin). Tidak perlu dinyatakan bahwa feminism merupakan suatu intervensi yang baru dan sangat provokatif dalam teori dan praktik hubungan internasional. Feminisme sendiri telah memberi pengaruh dalam Hubungan Internasional sejak tahun 1980-an. Perdebatan teoritis yang terbuka mengenai Hubungan Internasional menciptakan suatu ruang bagi para sarjana feminis dalam sebuah disiplin yang telah sangat mengabaikan gender.Para sarjana feminis telah membuat kontribusi yang bernilai bagi begitu banyak wilayah yang sejak lama menjadi bagian utama dalam bidang Hubungan Internasional. Pada saat yang sama, feminisme menantang ide-ide konvensional tentang segala hal yang didefinisikan sebagai pusat, penting ataupun tidak penting dalam Hubungan Internasional. Pendalaman utama dari feminisme terletak pada cara pembagian privat atau publik yang tegas telah mengubah seperangkat hubungan kekuasaan menjadi tidak terlihat. Dari perspektif feminis, privat bukan hanya bersifat politis, tetapi juga merambah lingkup internasional dan global
Masuknya perempuan kontemporer ke dalam kancah pertempuran militer telah meruntuhkan pertahanan terakhir keistimewaan kewarganegaraan laki-laki pada sejumlah negara membuat pergeseran atas perspektif tradisional pemisahan tenaga kerja berdasarkan gender dengan mengenalkan konsep feminis ke dalam politik global selama dasa warsa terakhir, telah mengancam dasar ontologism dan epistemologis Hubungan Internasional, salah satu disiplin yang melindungi laki-laki dan maskulinitas. Sesungguhnya representasi HI sebagai ‘politik tingkat tinggi’ secara implisit bias gender ketika ‘signifikansi krusial dan kekuatan publik, merupakan alasan tentang membangun sebuah otoritas tertinggi tanpa mengikutsertakan perempuan.’
3.3 Dominasi Maskulin dalam Perang: Perspektif Feminisme
Pria terdorong untuk militer dalam upaya untuk mendapatkan kehormatan dan prestise. Militer telah diidentifikasi sebagai lembaga maskulin bukan hanya karena mereka akan diisi dengan laki-laki tetapi juga karena mereka merupakan arena utama untuk konstruksi identitas maskulin dan memainkan peran utama dalam membentuk gambar maskulinitas dalam masyarakat pada umumnya. Ketentuan seperti kehormatan, pengecut, keberanian, kepahlawanan, dan kewajiban adalah pusat untuk perekrutan dan pelatihan angkatan bersenjata Kaum feminis telah mengidentifikasi bahwa ruang lingkup keamanan Internasional didominasi oleh nilai-nilai dan norma maskulin (Tickner 2001; Sjoberg: 2009). Dalam bidang keamanan nasional, nilai-nilai yang terkait dengan maskulinitas (misalnya kekuatan, rasionalitas, dan otonomi) diberikan penghargaan yang lebih tinggi daripada nilai-nilai feminism yaitu (kelemahan, emosi, dan rasa saling ketergantungan) (Tickner: 2002) Dalam dikotomi ini, ada hierarki kekuasaan yang berbeda antara maskulin dan feminine seperti tipikal maskulin yang idealnya berada di atas hierarki gender feminine dalam area Internasional (Connell: 1995; Hopper: 2001). Feminist scholars mengidentifikasi sifat ideal maskulin ini sebagai sebuah “hegemoni kaum maskulin” (Connel: 1995).
Hegemoni maskulin mengacu pada norma-norma dan nilai-nilai tertentu dari maskulin yang menjadikannya dominan dalam institusi kontrol sosial tertentu, dan membuat institusi-institusi tersebut mempertahankan nilai sosial dan politik patriarki (Kronsell, 2005:281; Tickner, 1992:6). Maskulinitas dihargai dan dijunjung tinggi dalam kepemimpinan  politik dan militer, bahkan ketika posisi ini diduduki oleh wanita. Dominasi maskulin bergantung pada perlawanan dan persaingan dengan kaum maskulin yang tersubordinasi dan kaum feminin itu sendiri. Hegemoni maskulin sekaligus mempromosikan organisasi tertentu dalam tata perpolitikan dan menekankan hubungan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mempromosikan legitimasi otoritas kaum maskulin.
Charlotte Hooper menjelaskan  bahwa ketika nilai-nilai maskulin sangat dihargai, hal itu dapat diperdebatkan sebagai ungkapan yang membuat para feminin hanya mengisi kategori sisa,  bekas ataupun hal lainnya yang melawan nilai-nilai maskulinitas (Hooper 2001: 43). Nilai yang terkait dengan maskulinitas dihargai sedemikian rupa karena mereka dianggap lebih unggul dari kaum feminin. (Hooper 2001: 43). Kaum feminis telah mengasosiasikan bahwa dalam militer, perusahaan, pahlawan dalam cerita-cerita narasi, tindakan militer dimana dan entitas-entitas negara selalu ingin membuktikan kemaskulinitasan mereka. (Huston 1983: 271; Sjoberg 2006b). Idealisme perawakan maskulin seorang tentara telah dibentuk oleh perjalanan sejarah yang menyertakan karakteristik yang berasosiasi dengan sifat agresi, keberanian, pelayanan, rasa kebanggaan, dan perlindungan. Maskulinitas militer yang ideal mempunyai nilai sosial dan kekuatan fisik. Maskulin juga melatih kemampuannya dengan spesialisasi tertentu dalam militer (misalnya pelatihan untuk menjadi anggota NAVY SEALS atau Army Rangers). Budaya militer kebayakan menekankan pada ciri-ciri fisik dan ciri sosial yang berlawanan dengan nilai-nilai feminism. Anggapan ini menekankan pentingnya kekuatan fisik untuk menjadi tentara, yang membuat framing  alami tubuh perempuan, kekuatan, dan kemapuan yang mereka miliki tidak cocok dengan profesi sebagi seorang tentara. Jika seorang laki-laki secara fisik mampu menjadi seorang tentara,, maka ketidakmampuan fisik mereka seorang tentara digolongkan sebagai feminin. Dan pada kedua jenis kelamin (laki-laki atau perempuan) atau gender (masculine atau feminine) hal ini sangat dideterminasi.
Pada saat yang bersamaan, iklan-iklan perekrutan tenaga militer menuntut wanita untuk menunjukkan standar ganda, dimana perempuan harus dapat menunjukkan kemampuan dan sifat-sifat maskulinitas mereka disamping juga harus tetap mempertahankan penampilan feminin mereka (seperti bersepatu hak tinggi, bermake up, dan menggunakan perhiasan) (Brown 2006). Beberapa tentara wanita menjelaskan bahwa bahwa mereka diharapkan dapat meniru (atau bahkan melebihi) karakteristik gender maskulin, dan ditantang untuk tidak menunjukkan kelemahan yang dirasa terkait dengan unsur feminitas, sambil menjalankan peran gender mereka diman mereka tidak mendekonstruksi gender dikotomi dimana ditemukannya hubungan antara sosial dan politik. Banyak organisasi militer yang mengecualikan perempuan dalam pertempuran militer. (Kornblum 1984 - Horrigan 1992). Prajurit digambarkan sebagai laki-laki yang membela kaum feminine untuk kebaikan diri sendiri, keluarga dan negara. Dalam struktur sosial ini, laki-laki tidak hanya dihormati sebagai warga negara, namun juga sebagai seorang prajurit yang dapat dipanggil kapan saja saat negara membutuhkan. Sementara fungsi seorang wanita adalah sebagai alat reproduksi sosial dan biologis bagi bangsa pada umumnya dan untuk tentara khususnya
4.        Pembahasan
4.1 Brief Explanation about Art of War
Buku Seni Berperang karya Sun Tzu adalah hasil dari pengalaman yang dialami oleh Sun Tzu pada masa hidupnya (Hanzhang, 1998: 112). Pada saat itu, masyarakat antar kelas di Cina sedang mengalami pergolakan akibat transisi sistem, dari sistem perbudakan ke sistem feodal. Para bangsawan sibuk berperang dan berdiplomasi untuk memperebutkan dominasi wilayah dan juga mengadakan aliansi untuk memperlancar perekonomiannya. Menurut Sun Tzu, terdapat lima faktor fundamental beserta tujuh elemen yang harus dipertimbangkan oleh Sang Jenderal sebelum memulai peperangan. Tujuannya adalah untuk memperkirakan hasil dari peperangan tersebut. Kelima faktor utama itu adalah kondisi politik, cuaca, medan tempur, panglima perang, dan doktrin. Sementara tujuh elemen yang harus dipertimbangkan oleh Jendera perang adalah kecerdasan penguasa, kebijaksanaan serta kemampuan komandan perang, kemampuan tentara di medan tempur, pertimbangan kedisiplinan (mana yang lebih ketat), kekuatan tentara, keterlatihan petugas, dan pemberian hukuman maupun hadiah (Hanzhang, 1998: 63-64). Selain itu, Sun Tzu juga menekankan akan pentingnya kualitas Jenderal perang dalam menentukan strategi maupun tipu muslihat (deception) perang.
Keberhasilan dalam perang juga ditentukan oleh kemampuan mata-mata (intelijen) dalam memperoleh informasi mengenai lawannya. Informasi yang berguna dari seorang mata-mata adalah informasi tentang logistik lawan, kapabilitas militer, strategi lawan. Mengingat pentingnya peran mata-mata, dalam era Sun Tzu seorang mata-mata digambarkan mempunyai kedekatan dengan para jenderal, dan karena tugas mereka begitu penting maka para jenderal memberikan penghargaan yang tinggi bagi mata-mata yang berhasil menjalankan tugasnya.
4.2              Women Life in Chinese Ancient War
Sebelum masuk pada pembahasan tentang hubungan karya Sun Tzu dengan perspektif kaum feminisme, perlu dibahas terlebih dahulu tentang kehidupan para wanita pada masa perang klasik di dataran Cina pada era Sun Tzu. Pembahasan ini mempengaruhi pandangan atas kedudukan dan peran wanita dalam masyarakat pada jaman itu. Di era kehidupan Sun Tzu (400 – 320 SM) pengaruh agama dan tatanan masyarakat masih sangat kental dengan budaya patriarki dan aliran konfisianisme. Aliran Konfusianisme dipengaruhi oleh prinsip Yin dan Yang. Dimana Yin lebih menggambarkan unsur langit, terang, positif, siang, keberanian, dan lebih direpresentasikan kepada karakter seorang laki-laki. Sedangkan Yang mengarah pada unsur gelap, lemah, negatif, ketakutan. Yin dan Yang kemudian berinteraksi secara harmonis untuk menjaga keseimbangan alam. Konsep Yin dan Yang juga berhubungan dengan posisi perempuan dan struktur sosial masyarakat Cina pada masa itu. Maka berdasarkan prinsip keseimbangan Yin dan yang masyarakat Cina pada masa itu mengenal perempuan sebagai sesuatu yang negative sedangkan pria adalah sesuatu yang positif. Ajaran konfusianisme yang berkaitan dengan peran dan pandangan terhadap kaum perempuan pada era Cina klasik dijelaskan pada lima hubungan terpenting antarumat manusia yaitu:
1.      Jun-Chen yaitu hubungan penguasa dengan bawahan
2.      Fu-Zi yaitu hubungan ayah dengan laki-laki
3.      Fu-Fu yaitu hubungan suami dengan istri
4.      Xiong-Di yaitu hubungan kakak laki-laki dengan adik laki-laki
5.      Peng-You yaitu hubungan sesama teman
Apabila kita melihat kelima hubungan manusia yang dipaparkan diatas, maka perempuan hanya menempati satu dari empat hubungan yang ada, sehingga hal ini memperlihatkan bahwa peran yang diberikan kepada laki-laki lebih banyak ketimbang perempuan. Sesuai dengan prinsip konfusianisme, kedudukan perempuan selalu ada dibawah pria. Hal ini dimaksudkan agar masing-masing individu mengetahui kewajibannya dan berperilaku sesuai tugasnya, sehingga kehidupan sosial akan terjamin. Seorang perempuan diidentikkan dengan peran anak, istri dan ibu yang harus patuh kepada aturan ayah maupun suami. Dengan adanya aturan ini maka system hierarki masyarakat Cina pada masa itu sangat mementingkan superioritas. Hal ini sangat mempengaruhi kehidupan perempuan baik dalam posisinya di rumah tangga maupun dalam masyarakat. Konsep patriarki ini telah ada semenjak Dinasti Zhou (2100 SM). Patriarki disimbolkan dengan pedang dan profesi sebagai kaum prajurit yang didominasi oleh kaum laki-laki. Kekuatan yang dimiliki laki-laki menyebabkan semakin mengakarnya system patriarki. Posisi para pria yang menempati kedudukan yang begitu tinggi tidak lepas dari kekerabatan masyarakat Cina yang dalam kehidupan sosialnya, kehadiran anak laki-laki sangat diharapkan untuk meneruskan nama keluarga dan menjaga kehormatan leluhur. Dengan alasan inilah perempuan dianggap tidak lebih berharga dapipada laki-laki.
Adanya perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan inilah menimbulkan bentuk konsep moral dalam masyarakat Cina klasik mengenai anggapan bahwa laki-laki adalah hal yang harus diutamakan, dan semua tanggungjawab penting diberikan kepada laki-laki.Perempuan ditempatkan dalam posisi terhormat karena kemampuan mereka untuk melahirkan, namun ini tidak da artinya jika dibandingkan dengan posisi laki-laki. Anak laki-laki bebas bermain dan menjalankan aktivitasnya, namun anak perempuan dituntut untuk mematuhi kode moral masyarakat Cina yaitu memiliki sifat yang baik sesuai norma yang berlaku, bertingkah laku yang benar sesuai dengan perintah yang diberikan, sopan santun dan berbicara seperlunya, dan terampil dalam melayani suami. Karena posisi wanita yang selalu dibuat tidak dalam posisi diuntungkan maka ia tidak dapat mandiri dan harus tergantung pada laki-laki. Seumur hidupnya. Hal ini merupakan gambaran tentang rendahnya status perempuan dalam masyarakat Cina tradisional yang berlaku didaerah manapun, dan dalam kelas apapun.
Hal diatas akan mempengaruhi pola pikir para perempuan sekaligus laki-laki Cina pada masa itu. Kungkungan dalam keluarga dan masyarakat sosial membuat perempuan tidak dapat memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan dunia luar ataupun mencoba meraih impian yang mereka harapkan. Selain itu stigma yang menganggap kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki juga mempengaruhi pemikiran-pemikiran orang-orang pada masa itu. Sehingga mencoba menggali kemampuan perempuan atau membuat perempuan menjadi lebih berpendidikan cenderung diabaikan.
4.3              Sun Tzu’s Perspective towards Women: They are as Tools of War
Cerita dibalik kesuksesan strategi Sun Tzu menyimpan suatu tragedi tentang matinya dua selir raja yang dibunuh oleh Sun Tzu karena tidak patuh pada perintah yang diberikan. Hal itu terjadi ketika raja Ho Lu dari negara Wu menguji apakah strategi yang dimiliki Sun Tzu dapat berhasil jika diterapkan oleh para wanita. Kemudian cerita diatas dilanjutkan dengan dipanggilnya ke 180 selir-selir raja untuk dilatih oleh Sun Tzu. Namun saat latihan dimulai  para selir tidak mau mengikuti Sun Tzu bahkan Sun Tzu ditertawakan atas perintah-perintahnya. Akhirnya kejadian ini berakhir dengan kematian kedua selir favorit raja karena lalai menjalankan tugasnya untuk mendisiplinkan pasukan. Dari cerita diatas tampak bahwa perempuan di era itu tidak terbiasa dengan kedisiplinan perang, sehingga mereka menertawakan Sun Tzu saat memberikan perintah. Kala itu perang memang hanya menjadi urusan laki-laki. Para lelaki berpendapat bahwa mereka terlahir untuk berperang dan bertempur di medan perang hanya merupakan keahlian yang dimiliki laki-laki. Budaya patriarki membuat para perempuan perempuan harus selalu mengikuti perintah-perintah yang dilakukan oleh para laki-laki tanpa ada kesempatan untuk berargumen apakah tindakan yang dilakukan laki-laki selalu tepat. Hal inilah yang selalu membuat wanita selalu menjadi objek dan bisa diperlakukan sesuai dengan keinginan laki-laki. Para selir raja sama sekali tidak memprotes mengapa mereka harus menanggung akibat dari kelalaian mereka. Sama sekali tidak tampak suatu kemungkinan bahwa perempuan pada masa itu berpendapat untuk menyelamatkan diri mereka. Hal ini menjadi bukti bahwa perempuan tidak memiliki kesejajaran fungsi dan kedudukan dalam tatanan sosial masyarakat Cina.
Sun Tzu menyadari bahwa perempuan memiliki potensi untuk menyukseskan sebuah perang. Namun yang menjadi permasalahan adalah perempuan pada masa itu hanya digunakan hanya sebagai ‘alat’ untuk mencapai keberhasilan. Hal ini terlihat dari ungkapan dibawah:
Jebakan indah / jebakan bujuk rayu (gunakan seorang perempuan untuk menjebak seorang laki-laki.) Kirim musuh anda perempuan-perempuan cantik yang akan menyebabkan perselisihan di basis pertahanannya. Strategi ini dapat bekerja pada tiga tingkatan. Pertama, penguasa akan terpesona oleh kecantikannya sehingga akan melalaikan tugasnya dan tingkat kewaspadaannya akan menurun. Kedua, para laki-laki akan menunjukkan sikap agresifnya yang akan menyulut perselisihan kecil di antara mereka, menyebabkan lemahnya kerjasama dan jatuhnya semangat. Ketiga, para perempuan akan termotivasi oleh rasa cemburu dan iri, sehingga akan membuat intrik yang pada gilirannya akan semakin memperburuk situasi..
Perempuan memiliki kemampuan untuk melemahkan kewaspadaan laki-laki. Perempuan cantik dapat menjadi senjata pemecah belah kesatuan musuh. Kelemahan wanita bisa menjadi sumber kekuatan utama yang dapat mengacaukan kekuatan yang dimiliki laki-laki. Sun Tzu begitu lihai melihat kesempatan ini untuk memperburuk hubungan baik lawan-lawannya. Sun Tzu juga menggunakan perempuan sebagai intelijen. Sun Tzu mengetahui bahwa intelijen memiliki peran penting dalam menyukseskan strategi seorang jenderal. Menurut Sun Tzu penggunaan perempuan sebagai intelijen lebih aman dibandingkan laki-laki. Sifat perempuan yang lemah cenderung menurunkan kewaspadaan musuh. Padahal perempuan-perempuan inilah yang akan merusak strategi lawan dengan cara mencuri informasi. Sun Tzu percaya perempuan lebih leluasa dalam bertindak . Namun musuh justru menganggap perempuan tidak membahayakan. Sehingga dengan mudah Sun Tzu juga memanfaatkan selir-selir raja untuk menjadi seorang mata-mata, dan kecantikan mereka dapat menarik pimpinan dari pihak lawan untuk membagi informasi. Bahkan dalam salah satu tulisan Sun Tzu sangat mempercayai salah satu selir raja yang merupakan wanita tercantik di Cina untuk bekerja sebagai mata-mata selama dua puluh tahun. (Chow-How: 2006)
4.4    Sun Tzu Art of War ‘The Art of Man, Not Woman”: Pathriarchy Mainstreaming
            Perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit adalah kondisi permusuhan dan penggunaan kekerasan) antara dua atau lebih kelompok manusia untuk menentukan dominasi di wilayah yang dipertentangka. Perang secara klasik dimaknai sebagai pertikaian dengan menggunakan senjata. Hal ini terjadi karena berkembangnya doktrin bahwa “barang siapa yang menguasai “ketinggian” maka ia akan menguasai dunia. Secara filosofis, keinginan untuk berperang merupakan turunan dari sifat dasar manusia yang sampai saat ini dipelihara melalui rasa persaingan dengan cara menundukkan pihak yang dimusuhi. Strategi dan perang merupakan wacana yang berjalan secara inheren. Di dalam perjalanan sejarah, perang selalu hadir sebagai sebuah fenomena yang natural. Meski seni perang Sun Tzu diakui sebagai strategi militer, namun bukunya tidak mutlak memaparkan teknik berperang untuk mematahkan serangan atau pertahanan musuh secara fisik. Bagi Sun Tzu mengerahkan kekuatan militer adalah jalan terakhir untuk memenangkan pertempuran. Sehingga teori perang Sun Tzu menjadi sangat fleksibel, karena menaklukkan perang dengan kekauatan otak, diplomasi dan cara-cara mikliter dipilih sebagai jalan terakhir. Esensi tertinggi sebuah kemenangan perang bagi Sun Tzu adalah ’how to win a war without engage in the real war’.
Pengaturan tertinggi dalam tulisan Sun Tzu adalah bagaiman seseorang menang bukan dengan penggunaan kekuatan pasukan namun lebih kepada pengaturan strategi. Bahkan di dalam pertempuran Sun Tzu mengajarkan bahwa pakar pertempuran adalah orang yang menang tanpa menggunakan pasukan sama sekali, yakni tanpa menghancurkan musuh. Strategi Sun Tzu lebih ditekankan pada seni militer bukan pada kekuatan militer. Karena konsep yang ia tawarkan diarahkan pada cara-cara untuk “memenangkan hati” musuh. Ia lebih menyukai pendekatan menyeluruh dalam menghadapi konflik militer. Sun Tzu mengatakan bahwa perang adalah suatu kepanjangan pengaruh militer dan politik seharusnya menjadi penggerak dalam isu militer, sehingga tindakan untuk berperang tidak dianggap sebagai suatu tujuan utama. Pandangan Sun Tzu sangat bertolak belakang dengan pandangan Clausewitz (1780 – 1831) yang menganggap peperangan adalah suatu tindakan militer yang menyeluruh. Calusewitz lebih berorientasi kepada tindakan yang logis dan ilmiah karena ia lebih mendukung keputusan penggunaan kekuatan untuk menaklukkan musuh daripada mencari alternatif lain.
Sun Tzu bukan penganjur perang, karena ia menyadari tingginya biaya dari peperangan. Karena biaya tidak terbatas pada keuangan negara, namun biaya perang juga didapatkan dari pembebanan pajak terhadap rakyar yang akan menyebabkan penderitaan, dan semakin mengecilnya sumber daya nasional, sehingga perang merupakan alternatif terakhir yang hanya digunakan jika tidak ada lagi alternatif lainnya. Inti dari pemikiran Sun Tzu yaitu dalam menentukan peperangan seseorang harus berpikir dahulu sebelum melakukan suatu tindakan. Perencanaan merupakan hal yang sangat penting bagi Sun Tzu, karena dengan perencanaan, faktor Inilah ciri khas dari Sun Tzu, bahwa untuk mengalahkan musuh tidak harus dengan perang frontal. Perang frontal dilakukan manakala cara damai gagal ditempuh, dan itu pun harus melalui serangkaian uji kompetensi agar tentara yang berperang adalah mereka yang benar-benar terlatih. (Hanzhang, 1998: 76).
Namun fleksibilitas Strategi Sun Tzu tidak dibarengi dengan fleksibilitas Sun Tzu untuk member kesempatan pada para wanita menempati posisi sebagai seorang prajurit. Karya-karya Sun Tzu menggambarkan dominasi pria yang begitu tinggi dalam melaksanakan hingga memenangkan sebuah perang. Dengan kata lain budaya patriarki masih mengakar dalam strategi yang dibuat oleh Sun Tzu. Untuk membuktikan hal tersebut maka akan penulis buktikan melalui beberapa naskah Sun Tzu:
1.      Politics means the things which causes the people to be in harmony with their ruler so they will follow him in disregard of their lives and without fear of any danger (Chapter 1, estimates)
2.      …. In that case, no man, however wise, will be able to avert the disastrous consequences that ensue. (Chapter 2, waging war)
3.      He whose ranks are united in purpose will be victorious (chapter3, offensive strategy)
4.      …For he wins his victorieswithout erring (chapter 4, disposition)
5.      He entices the enemy with something he is certain to want (Chaptert 5, posture of army)
6.      If he strengthtens his left, his right will be vulnerable (chapter 6, void and actuality)
Dari beberapa bagian kalimat dari setiap penjelasan strategi Sun Tzu masih menandakan bahwa bertempur di medan perang hanya dapat dilakukan oleh para pria. Wanita tidak memiliki kemampuan dalam perperang karena keterbatasan fisik dan psikologis mereka. Hal ini ditandai dengan beberapa kata-kata dalam strategi Sun Tzu yang sama sekali tidak memperlihatkan peran wanita dalam medan pertempuran untuk melaksanakan pertempuran dengan menggunakan senjata seperti yang dilakukan oleh para lelaki. Penulis dapat menangkap bahwa pandangn Sun tzu terhadap kelemahan yang dimiliki oleh wanita digolongkan pada entitas feminine. Sedangkan kekuatan diperlihatkan oleh Sun Tzu melalui peran para pria dalam posisi sebagai jenderal, raja dan prajurit dapat dikatakan sebagai dominasi maskulin.
Strategi Sun Tzu membutuhkan kecepatan, ketepatan, keakuratan dan kondisi fisik dan mental yang prima untuk bertahan. Dalam pemikiran klasik perempuan dianggap tidak tidak memiliki kemampuan seperti yang dimiliki oleh laki-laki. Karakteristik perang terkait dengan maskulinitas begitu dihargai Sun Tzu sebagai proses militerisasi (yang mengandung unsur ketabahan dan rasionalisasi) Pada akhirnya nilai-nilai keprajuritan sangat terkait dengan unsur maskulinitasnya, dimana maskulinitas dibuktikan dalam tindakan militer yang cara pandangnya  berdasar pada asumsi nilai-nilai maskulin sebelumnya. Seorang pria (atau siapapun) menyatakan bahwa maskulinitas diposisikan lebih tinggi jika disandingkan dengan feminin. Hal ini telah menjadi konstruksi pemikiran masyarakat. Tanpa kehadiran seseorang ataupun kelompok yang diberi label sebagai pihak yang lebih lemah, norma-norma sosial maskulin tidak akan ada nilainya. Norma-norma sosial untuk kaum maskulin dalam politik internasional tampak nyata dalam institusi-institusi militer, yang disusun disekitar hierarki hubungan gender di dalam lembaga ataupun pencapaian dari misi-misi mereka. Istilah “militerisme” digunakan untuk menunjukkan nilai-nilai militeristik (misalnya kepercayaan dala sebuah hierarki, kepatuhan dan penggunaan kekuatan), yang nilai-nilainya diadopsi oleh negara, organisasi, maupun individu, perusahaan dan institusi lainnya. (Enloe 2007: 4) Fenomena dominasi maskulin terhadap feminin sangat kental dalam karya Sun Tzu karena Sun Tzu melalui tulisannya memposisikan peran-peran kuat dan dominan seperti peran jenderal, raja dan prajurit dipercayakan pada laki-laki, sedangkan perempuan belum mendapatkan kedudukan yang setara dengan laki-laki atas peran itu. Sehingga Art of War of Sun Tzu adalah penulis kategorikan sebagai seni berperangnya para pria.
4.5    The Unrecognizing Prominent Role of Women in Sun Tzu “Art of War”
Art of War yang disusun oleh Sun Tzu lebih menekankan pada penggunaan strategi daripada penggunaan kekuatan fisik. Salah satu kunci kesuksesan dalam Art of War adalah strategi untuk menaklukkan musuh dengan kemampuam untuk menipu musuh (deception). Sun Tzu mengatakan saat kita berani berpura-puralah untuk jadi pengecut, saat siap berpura-puralah untuk tidak memiliki persiapan, saat kita dekat berpura-puralah jauh, saat kitamenyerang berpura-puralah untuk mundur sehingga musuh tidak mengetahui niat yang kita miliki. Sehingga musuh dapat sewaktu-waktu lalai dan membuat musuh mudah dikalahkan. (Wee: 2006) Pada perang kebanyakan, penggunaan fisik lebih ditekankan, kekuatan otot lebih dipentingkan, dalam perang modern hal ini juga membuat para lelaki memarjinalkan fragmen alami tubuh perempuan yang lemah dan tidak kuat menghadapi pertarungan-pertarungan fisik yang sarat dengan unsure kekerasan. Namun tidak banyak yang menyadari bahwa tindakan deception merupakan seni perilaku yang lebih banyak dilakukan oleh para perempuan. Perempuan karena stereotip yang dilekatkan pada identitas mereka membuat tindakan fisik terutama kekerasan sangat dihindari, perempuan memiliki sifat yang cenderung pasif, dan perlawanan yang mereka lakukan lebih banyak dalam bentuk deception. Sehingga strategi ini sebenarnya sudah jauh dikenal perempuan sebelum ditulis oleh Sun Tzu.
Kunci kesuksesan strategi Sun Tzu yang kedua adalah intelijen (mata-mata). Mata-mata handal yang dimiliki oleh Sun Tzu kebanyakan adalah perempuan. Hal ini terjadi karena perempuan lebih leluasa untuk masuk ke dalam sarang musuh tanpa menimbulkan kecurigaan yang besar daripada mengirimkan mata-mata seorang laki-laki. Kemampuan yang dimiliki oleh intelijen memiliki peran yang vital dalam menentukan keberhasilan atu kegagalan strategi yang akan dijalankan oleh Sun Tzu. Mengirimkan perempuan-perempuan cantik yang berprofesi sebagai intelijen ke temapat-tempat musuh juga kerap dilakukan oleh Sun Tzu. Kemampuan yang dimiliki oleh perempuan-perempuan ini untuk menggali informasi tidak mampu dilakukan dengan mudah oleh para pria sebagai contoh dengan kecantikan yang mereka miliki para perempuan ini mendekati para jenderal musuh dan membujuk mereka untuk membocorkan rahasia perang yang akan dapat membantu Sun Tzu.
Namun ada kemampuan yang paling krusial yang tidak disadari oleh Sun Tzu untuk menyukseskan peperangan yaitu profesi sebagai seorang jenderal dan bertarung sebagai seorang prajurit. Sun Tzu masih mengidentikkan peran jenderal dan prajurit merupakan profesi yang hanya bisa dilakukan oleh pria. Hal ini menggambarkan ketergantungan antara nilai konseptual dan aktualisasi dari maskulinitas dan kegiatan ketentaraan yang mengenyampingkan perempuan dalam profesi militer. Seperti hal yang dicatat oleh kaum feminis bahwa saat perempuan memasuki dunia kemiliteran, maka rekan laki-laki akan menyuruh para perempuan tersebut untuk membuktikan kemaskulinan mereka dalam hal-hal kecakapan fisikkan karakter-karakter sosial dalam bidang militer yang disukai (Cohn 2000). Begitu pula Sun Tzu melalui tulisannya menandakan bahwa posisi-posisi penting dalam tatanan masyarakat harus dijalankan oleh pria. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kepercayaan Konfusianisme yang mempengaruhi ideologi masyarakat pada masa itu selain budaya patriarki yang telah berurat akar. Dominasi hegemoni kaum maskulin dalam bidang keamanan berkaitan tergantung dari jumlah keterwakilan laki-laki dalam posisi politik dan pertahanan (Pettman: 1996). Potensi perempuan untuk menduduki posisi penting begitu dikesampingkan. Sun Tzu belum dapat melihat bahwa saat perempuan diberikan kebebasan dan pendidikan yang sama akan memiliki kehandalan dalam menjadi seorang jenderal dan prajurit yang profesional.
4.6    The Lack of “War Study” on Feminism Theory
Tujuan  utama yang dicapai kaum feminis berkaitan erat dengan tatanan sosial, yang sensitif yaitu dihapuskannya diskriminasi, penindasan, dan ketidaksetaraan gender secara represif. Teoritisi feminisme lebih memprioritaskan studi gender yang selama ini bersifat marginal. Hierarkhi wanita dan dan ‘negara bergender’dalam feminisme saat ini benar-benar mendapat pengakuan proporsional dalam politik dunia.  Asumsi yang mendasari feminisme ialah adanya perlakuan diskriminatif dan marginalitas kaum wanita dalam menentukan langkah hidupnya. Bahkan, hak asasi wanita tidak sebanding dengan lelaki, kaum lelaki seringkali mendapat posisi tertinggi dan diunggulkan dalam setiap bidang.
 Dengan adanya teori feminisme, kedudukan komparatif gender dapat berjalan dinamis dalam heterogenitas aspek seperti: perbandingan kelas atau strata, kelas, etnis, nasionalisme, seksualitas, dan menyatu dengan struktur global. (J.Ann Ticker, 2002 : 278). Bagi kaum feminis perdamaian dan kooperasi memang menjadi landasan dasar dalam memahami sistem anarki internasional yang didiidentikkan sebagai peperangan.  Menurut kaum feminis, perang diidentikkan dengan pencarian arah untuk mewujudkan perdamaian. Naluri seorang wanita diharapkan mampu memperkuat politik pembendungan senjata nuklir, yang seharusnya menuju stabilitas kooperatif dan integrasi sistem internasional. (J. Ann Ticker, 2002: 285). Wanita yang secara biologis memiliki esensi psikologis dan emosi lebih dominan daripada lelaki justru mampu menumbuhkan politik etis dan moral yang baik bagi hubungan internasional yang berkelanjutan. Sehingga pembahasan dalam teori feminis justru lebih identik dengan bagaimana mencari solusi damai untuk mencegah atau menghentikan peperangan daripada membahas peperangan itu sendiri.
4.7 Modern Life: The Same Role of Women and Man in Military Area
Kaum feminis modern datang sebagai teori pendobrak kebiasaan-kebiasaan pemisahan gender dalam kehidupan, sebagai contoh adalah masuknya perempuan kontemporer ke dalam ranah pertempuran militer (misalnya Lyudmila Pavlichenko, seorang sniper ulung dari Uni Soviet). Dapat dikatakan bahwa feminisme ini berusaha untuk menunjukkan bahwa wanita juga memiliki hak yang sama dengan kaum pria, bahwa wanita juga mampu melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh kaum pria, bahwa wanita juga memiliki talenta yang dapat sejajar dengan kaum pria, bahkan ada yang dapat melebihinya.Gerakan feminisme berkembang pesat dan meningkatkan posisi perempuan dalam tatanan masyarakat. Gerakan ini tahap demi tahap memberikan kesadaran bahwa perempuan memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam tiap bidang pekerjaan.
Feminisme saat ini tidak lagi dipandang sebagai subordinasi dari golongan maskulin. Tiap individu baik laki-kali maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam bidang apapun asalkan memiliki kemampuan. Saat ini peran sebagai seorang pemimpin juga banyak dilakoni oleh para perempuan. Bahkan dalam bidang yang paling ekstrim sekalipun seperti dunia militer. Perempuan masa kini telah memiliki tingkat pendidikan yang setara dengan laki-laki sehingga mereka mampu membuktikan bahwa peran yang dulu hanya didominasi oleh laki-laki saat ini telah dapat diemban oleh para wanita. Sebagai contoh di Amerika Serikat, saat tahun 2008, lembaga militer di negara tersebut telah melantik seorang jenderal perempuan bernama Ann E. Dunwoody yang telah mengabdi selama 33 tahun di Lembaga Angkatan Darat Amerika Serikat. Posisi ini adalah posisi puncak yang pernah diduduki seorang wanita militer di AS dengan pangkat jenderal bintang empat.  Dunwoody telah mengukir sejarah dalam dunia militer dengan pencapaiannya sekaligus member kebanggaan dan memotivasi perempuan lainnya untuk meraih mimpi yang lebih tinggi.
Saat ini nilai-nilai feminis telah mengekspor dasar-dasar gender yang memberikan persepsi bahwa hal yang dapat dilakukan oleh laki-laki dapat pula dilakukan oleh kaum perempuan termasuk dalam usaha bela negara. Hal ini dibuktikan dengan bertambahnya prajurit-prajurit militer perempuan dari tahun ke tahun. Di Amerika saja terdapat 40 ribu tentara wanita yang tersebar di seluruh Departemen Pertahanan AS. Perang masa kini membuktikan bahwa pandangan Sun Tzu dalam tulisannya yang tidak menyertakan peran perempuan sebagai Jenderal maupun tentara terpatahkan. Kekosongan peran jenderal yang dapat diisi oleh seorang perempuan telah terbukti pada kehidupan modern. Perempuan dan laki-laki memiliki potensi yang sama. Kesusksesan seseorang sebagai pemimpin tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan mampu atau tidaknya seseorang dalam mengemban tugas yang dibebankan kepadanya.
Kesimpulan
            Stategi Sun Tzu “Art of War” diakui tidak ada bandingannya sampai saat ini. Prinsip-prinsip strategi Sun Tzu digunakan sampai sekarang dan telah membantu keberhasilan dalam peperangan. Deception, intelligent dan jenderal adalah hal yang paling krusial dalam strategi Sun Tzu begitu dikagumi oleh para ahli militer dari era kuno sampai modern. Yang menjadi permasalah kini adalah kerelevanan karya Sun Tzu dalam memasukkan kesadaran tentang potensi besar yang dimiliki kaum perempuan. Ketika perempuan diberikan kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan dan berkompetisi dalam bidang pekerjaan membuatnya memiliki kesempatan untuk menduduki posisi seorang jenderal. Perempuan juga dapat mengatur strategi seperti yang bisa dilakukan laki-laki. Perempuan juga memiliki ketahanan fisik yang dapat diandalkan, hal ini terbukti dalam perang kontemporer begitu banyak wanit yang ikut serta sebagai tentara dalam menyukseskan sebuah pertempuran. Perempuan kini tidak lagi hanya sebagai tool of war. Mereka telah dapat menentukan secara independen posisi yang ingin mereka capai. Hal ini dapat terjadi karena berkembangnya aliran feminisme yang telah mendobrak diskriminasi yang ditimpakan pada perempuan. Art of War akan menjadi karya abadi sepanjang masa dan perempuan dapat mengisi kekosongan posisi yang dulu belum bisa mereka tempati.





Daftar Pustaka

Cohn, Carol. 2000. “How Can She Claim Equal Rights When She Doesn’t Have to Do as Many Push-ups as I Do?” Men and Masculinities 3 (2): 131–51.
Connell, R. W. 1995. Masculinities. Berkley: University of California Press.
Enloe, Cynthia. 2007. Globalization and Militarism: Feminists Make the Link. Lanham,Md.: Rowman & Littlefield.
Hanzhang, Tao. 1998. General Tao Hanzhang’s Commentary on the Art of War dalam Sun Tzu, The Art of War, Hertfordshire: Wordworth Classic of World Literature, pp. 63-130.
Hooper, Charlotte. 2001. Manly States: Masculinities, International Relations, and Gender Politics. New York: Columbia University Press.
Kornblum, Lori S. 1984. “Women Warriors in a Men’s World: The Combat Exclusion.”Law and Inequality 2: 351–444.
Kronsell, Annica. 2005. “Gendered Practices in Institutions of Hegemonic Masculinities: Reflections from Feminist Standpoint Theory.” International Feminist Journal of Politics 7 (2): 280–98.
Pettman, Jan Jindy. 1996. Worlding Women: A Feminist International Politics. London: Routledge.
Sarah Gamble. 2006. Feminisme dan Post Feminisme. Jakarta: Jala Sutra
Scott Burchill. 2001. Theories of International Relations : Feminism. New York : Palgrave
Tickner, J. Ann., and Sjoberg, Laura. 2006. “Feminism.” In International Relations Theories, ed. T. Dunne, M. Kurki, and S. Smith. Oxford: Oxford University Press.
Tzu, Sun. 1998. The Art of War. Herfordshire: Wordworth Classic of World Literature, pp.10 – 53.
Wee, Chow-Hou. 2009. Sun Tzi Art of War. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
http://id.shvoong.com/social-sciences/1697021-sejarah-dan-emansipasi-politik/ - 66k – diakses pada 6 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar