Kamis, 29 Desember 2011

Proud of My Heritage ^^




Tantangan Sistem Pertanian Masyarakat Bali Dalam Mewujudkan Sustainable Development Melalui Usaha Pelestarian Konsep Subak



Latar Belakang
            Pembangunan saat ini telah mengalami perubahan yang sangat massive dan cepat diseluruh dunia. Perubahan itu tentunya dipengaruhi oleh proses pengintensifan jaringan hubungan ekonomi dan sosial yang luar biasa. Individu, kelompok maupun negara saling berinteraksi melewati batas – batas negara, membuat kesemuanya saling tergantung, terkait dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Globalisasi setelah perang dunia kedua diusung oleh negara – negara adikuasa, yang dalam hal ini adalah negara – negara Barat, dengan sistem kapitalisme yang dipelihara dan terus dikembangkan hingga sampai dalam bentuk yang paling mutakhir. Kapitalisme dan gaya ekonomi ala Barat ini juga disebarkan dan ditanamkan ke negara – negara dunia ketiga yang lebih banyak pada awalnya melalui sistem kolonialisasi. Lalu pada saat negara – negara dunia ketiga mulai merdeka, sistem penjajahan seolah tetap dilakukan melalui konsep new colonialism dengan kekuasaan yang ditancapkan oleh lembaga IMF, Bank Dunia, dan WTO melalui Structural Adjustment Policy (SAP) dan aturan tarif perdagangan.
Pembangunan di Indonesia, seperti yang terjadi pada kebanyakan negara berkembang semakin tergantung terhadap program ekonomi yang dikembangkan oleh negara – negara Barat. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh keinginan negara – negara berkembang untuk mengikuti pertumbuhan seperti di negara – negara maju serta sistem ekonomi global yang memang telah dibentuk berdasarkan perspektif negara – negara Barat. Indonesia sebagai negara kepulauan yang susunan tanahnya terdiri dari tanah aluvial sangat cocok untuk areal persawahan dengan tumbuhan padi yang dapat berkembang subur di kebanyakan dataran rendahnya. Sebagai respon dari permasalahan yang terkait dengan penyediaan sumber pangan yang cukup dan baik bagi masyarakat maka sistem pertanian tradisional dikembangkan secara terus menerus dan diperbaiki guna mencapai hasil pertanian yang lebih baik, tahan hama, dan menghindari konflik diantara masyarakat terkait soal penggunaan common property  salah satunya adalah penggunaan air. Di Bali, sistem Subak yang erat kaitannya dengan pengaturan sistem irigasi di Bali yang menggabungkan keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama dan alam, sehingga segala tindakan yang dilakukan tidak hanya dilandasi oleh kepentingan duniawi dengan mengejar segala materi namun juga diimbangi dengan kewajiban melaksanakan kegiatan spiritual. Sistem Subak telah membangun kegiatan pertanian di Bali yang bertahan selama ribuan tahun tanpa mengabaikan keseimbangan tindakan ekonomi dengan alam. Namun seiring dengan berjalannya waktu, pembangunan yang berbasis pada teori modernisasi ikut mengubah segala hal termasuk sistem pertanian. Di Bali  sistem pertanian tradisionalnya didukung oleh sistem Subak. Sistem ini dianggap scholar dari teori modernisasi sebagai kegiatan yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan pencapaian tahap pembangunan yang lebih tinggi.
Pada tahun 1970-an Revolusi Hijau menjawab pertanyaan untuk mengatasi kelaparan. Program ini dilakukan dengan mengkomoditi beberapa produk pertanian dengan harapan akan membuat negara – negara berkembang dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya sekaligus dapat meningkatkan jumlah suplai makanan dunia. Walaupun program ini memiliki niat baik, namun program ini justru menjadi program pembangunan terburuk yang pernah ada yang efeknya masih terasa sampai saat ini, karena model pengaturan lahan dan sistem pertanian ini tidak memperhatikan sejarah, budaya, siklus alam dan jenis pertanian yang seharusnya tidak disamakan begitu saja antara satu tempat dan tempat lainnya, sehingga kegagalan demi kegagalan mewarnai perjalanan revolusi hijau. Sehingga para pakar, ilmuwan dan praktisi tertarik untuk meneliti kekuatan sistem pertanian tradisional sebagai sarana alternative untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbukan pembangunan yang tidak memperhatian kekhasan kondisi masing – masing daerah. Karena itulah tulisan ini ingin melihat lebih jauh lagi tentang efektifitasnya pertanian tradisional terhadap tujuan ekonomi jangka panjang. 

Rumusan Masalah
            Apakah tujuan ekonomi jangka panjang dari sistem pertanian di Bali dapat dicapai jika pelestarian alam melalui sistem Subak tidak terjaga dengan baik?

Landasan Teori
Modernisasi
            Modernisasi menurut karena dari individulah tumbuh modernisasi. Sementara itu Schoorl[1] (1980), menyatakan bahwa pengertian modern dan modernisasi mengandung kaitan tertentu. Di dalamnya dapat dilihat suatu penghargaan yang positif, yaitu bahwa modern, termasuk juga modernisasi adalah baik. Dube (1988)[2], menyatakan bahwa modernisasi lebih banyak dihubungkan dengan kota, industri, dan masyarakat terpelajar, seperti masyarakat Eropa dan Amerika Utara. Konsep modernisasi yang dikemukakan oleh Dube didasarkan pada tiga asumsi, yaitu (i) sumber kekuasaan yang mati harus selalu meningkat dibuka dengan maksud untuk memecahkan permasalahan manusia dan secara minimum diterima untuk memastikan standar hidup,yang semakin meningkat. (ii) Untuk mencapai tujuan ini dapat dicapai dengan usaha individu dan kerjasama. Dimensi kerjasama dianggap penting karena kemampuan hubungan untuk mengoperasikan organisasi yang kompleks. (iii) Untuk menciptakan dan menjalankan organisasi yang kompleks perubahan kepribadian yang radikal dan perubahan yang menyertainya dalam struktur sosial dan nilai-nilai dianggap perlu.
Sustainable Development
            Pembanguan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan (Brundland Report dari PBB, 1987)[3]. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Banyak laporan PBB, yang terakhir adalah laporan dari KTT Dunia 2005, yang menjabarkan pembangunan berkelanjutan sebagai terdiri dari tiga tiang utama (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung. Skema pembangunan berkelanjutan:pada titik temu tiga pilar tersebut, Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001)[4] lebih jauh menggali konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa "...keragaman budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati bagi alam". Dengan demikian "pembangunan tidak hanya dipahami sebagai pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual". Dalam pandangan ini, keragaman budaya merupakan kebijakan keempat dari lingkup kebijakan pembangunan berkelanjutan. Beberapa riset memulai dari definisi ini untuk berargumen bahwa lingkungan merupakan kombinasi dari alam dan budaya. Untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan memerlukan integrasi dari ekonomi, lingkungan, komponen sosial dari semua level yang difasilitasi oleh dialog dan tindakan kemitraan yang berfokus pada isu pembangunan uang berkelanjutan.
Pembangunan Dalam Konteks Kearifan Lokal
            Kebudayaan tidak akan ada tanpa adanya manusia, karenanya manusialah yang menjadi faktor penting dalam pembentukan kebudayaa. Keseimbangan manusia dengan ekosistem disekitarnya merupakan cara terbaik untuk dapat nertahan hidup. Manusia sebagai makhluk hidup memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan cenderung memiliki kearifan tradisional atau lokal yang telah mengalami tempaan yang cukup lama agar mampu hidup dan membuatnya menjadi sebuah lingkungan yang menguntungkan bagi kehidupannya secara kontinyu. Kearifan lokal sering diidentikkan dengan local wisdom, atau yang lebih tepat local knowledge. Kearifan lokal idealnya lebih sesuai disebut penemuan tradisi (invention of tradition). Buku The Invention of Tradition yang dieditori oleh Eric Hobsbawm dan Terence Ranger[5] (1983) menggunakan istilah tersebut. Hobsbawm dalam buku tadi menguraikan "invented tradition" sebagai seperangkat praktik, yang biasanya ditentukan oleh aturan-aturan yang berterima secara jelas atau samar-samar maupun suatu ritual atau sifat simbolik, yang ingin menanamkan nilai-nilai dan norma-norma perilaku tertentu melalui pengulangan, yang secara otomatis mengimplikasikan adanya kesinambungan dengan masa lalu. Dari definisi di atas, kearifan lokal memiliki ciri bermatra tiga waktu (masa lalu, sekarang, dan nanti), sehingga dimungkinkan ada upaya sambung-menyambung dan suturing kehidupan manusia dalam setting dan konteks yang berubah-ubah sesuai zamannya.[6]
             Tri Hita Karana adalah salah satu nilai kearifan lokal Bali yang dikembangkan sejak lama, Kata tersebut berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari Tri artinya tiga, Hita artinya sejahtera dan Karana berarti penyebab kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia dapat dimaknai sebagai tiga hubungan yang harmonis yang menyebabkan kebahagian. Ketiga hubungan tersebut meliputi : Parahyangan yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, Pawongan yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya, dan Palemahan yitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya. 

Perkembangan Sistem Subak Di Bali
Antropologis dan sejarawan telah lama berdebat tentang peran dari para pangeran dan para penduduk desa dalam pembuatan dan pengaturan sistem irigasi di Bali (Hauser – Schaublin 2003)[7]. Di tempat lain di Asia Tenggara, persebaran sistem irigasi sawah selalu dihubungkan dengan perluasan kerajaan – kerajaan sebelum masa kolonial. Secara khusus, sistem irigasi yang berkembang dalam tahap awal dibuat oleh orang – orang desa tertentu, yang semakin lama dikonsolidasikan dan diperluas oleh pemimpin – pemimpin mereka[8]. Karena topografi Bali yang berasal dari tanah vulkanik, distribusi pengairan yang dibuat di Bali adalah sistem kanal, yang secara alamiah melintasi batas wilayah masyarakat, yang membuat penangan sistem irigasi tersebut sangat tidak mungkin jika hanya diatur oleh komunitas masyarakat[9]. Sehingga sistem irigasinya menjadi sangat luas bahkan keluar dari batas – batas wilayah desa maupun kekuasaan kerajaan. Permasalahan inilah yang coba diselesaikan melalui institusi baru pada saat itu yang disebut Subak. Institusi ini mulai muncul pada abad ke 11 M dalam catatan prasasti kerajaan – kerajaan  di Bali[10]. Subak adalah perkumpulan dari para petani yang membagi air dari alam, yang berasal dari sumber air dan kanal irigasi. Sistem irigasi kuno ini menyertakan berbagai kelompok Subak, yang semua anggotanya dapat mengambil manfaat dari aliran air yang didapat melalui terowongan air maupun kanal untuk mengairi persawahan mereka. Sebagai contoh, prasasti yang tertanggal 1072 yang mengacu pada sebuah subak yang terdiri dari kawasan persawahan yang terletak di 27 desa kecil[11]
Namun gunung berapi yang ada di Bali terkait dengan irigasi sehingga dapat diupamakan sebagai sarang lebah yang sistemnya terkait dengan kanal maupun terowongan air. Namun penyebaran irigasi di Bali tidak tercatat karena kerajaan – kerajaan di Bali tidak pernah memasuki fase kekaisaran, dan berhenti mengeluarkan catatan – catatan prasasti secara bersamaan pada abad ke 14. Pada 500 tahun kemudian, datang Sir Thomas Stamford Raffless yang dalam catatannya mengatakan keterkejutannya bahwa Raja – Raja Bali hanya menjadi salah satu kelompok tuan tanah diantara tuan – tuan tanah lainnya. Pemegang kedaulatan, yang saat itu Raffles mendarat di Pelabuhan Buleleng, melihat bahwa Raja Buleleng bukan penguasa tanah yang universal, malah sebaliknya, kepemilikan tanah beragam dan menjadi aset pribadi para tuan tanah, yang dengan cara papun entah dibudayakan atau dibagi dalam pengelolaannya. (Raffles: 1817). Sistem irigasi di Bali pada tahap awal kemungkinan adalah sistem kanal yang sederhana yang menghubungkan ait dari sumber mata air kepada lembah – lembah yang berdekatan, dan sistem ini masih berfungsi sampai sekarang.
Penelitian yang dilakukan pada tahun Lansing dkk pada tahun 1997 di salah satu tempat di Bali dikemukakan dalam tulisannya yang mengambil objek penelitian pada sistem irigasi di Gunung Kawi, yang berdekatan dengan salah satu sungai utama di Bali, yaitu Petanu. Pura Gunung Kawi dilewati oleh dua sumber mata air yang terletak di sumber air yang cukup dangkal di sebelah selatan desa Sebatu. Dekat dengan sumber teratas mata air ada pancuran yang mana airnya digunakan sebagai kegiatan pembersihan upacara – upaca suci. Dibawahnya terdapat air yang mengalir ke kolam untuk permandian, dan setelah itu mengalir ke arah kolam ikan. Mata air yang memasuki rute tembusan air dan muncul beberapa ratus meter kearah hilir yang mengairi 0.89 hektar sawah bertingkat. Dari sana air yang tidak terpakai masuk ke dalam kanal yang alirannya berlanjut 4 kilometer sebelom muncul dari puncak bukit bertingkat yang digunakan untuk mengairi 31 hektar persawahan padi dekat desa Delod Blungbang. Sistem irigasi yang menggunakan kanal ini mencakup lima tembusan, yang terpanjang mencapai 1.5 kilometer. Lansing dkk memperkirakan sebelum sistem irigasi di Bali dimulai, para petani mungkin menjadikan area tersebut sebagi lahan yang ideal untuk menanam tanaman – tanaman pangan seperti kelapa, talas, pisang, dan mungkin juga padi. Selanjutnya dengan kemunculan teknologi irigasi, tempat tersebut menjadi lebih produktif dan prospektif. Air dari mata air dengan mudah dapat dialirkan melalui tembusan ke aliran di bawahnya. Menggali kanal yang pendek dibutuhkan daripada harus menggali terowongan yang melewati batu vulkanik, dan hal inilah yang pertama kali dikembangkan oleh para petani pada masa awal pembuatan sistem irigasi. Pada aliran kanal, dibuatkan pura atau tempat suci yang mana air mulai mengalir dari tempat ini.
Secara umum, setiap Subak secara bersama – sama mengatur sistem irigasinya dan pengairan yang sumbernya didapat dari common property. Sehingga tiap bulan pertemuan diadakan untuk membuat rencana, mengatur kerja tim, dan mengenakan denda pada anggota yang tidak memenuhi kewajibannya, seperti penutupan alira irigasi ke areal pertanian warga yang melanggar. Subak berlokasi di dekat pura Subak terdekat. Tiap Subak memilih pimpinan yang akn mewakili rapat bulanan yang akan menilai isu – isu terkait pengaturan irigasi, permasalahan termasuk penanggulangan hama. Dan keefektifan lembaga ini ditunjukkan dengan pembagian yang adil air irigasi, baik itu pada persawahan yang letaknya lebih diatas maupun areal persawahan yang letaknya di desa yang lebih rendah lokasinya. Hak untuk mendapat air irigasi perdasarkan pembagian yang proporsional dengan pembagian aliran air (tektek).
Padi adalah varietas tanaman yang sangat rentan terhadap hama, baik itu tikus, serangga, bakteri maupun kuman atau virus. Namun populasi hama dapat ditekan dengan sistem pertanian tradisional ini dengan cara mensikronkan jarak waktu tanam dengan mengosongkan lahan yang letaknya bersebelahan pada sawah – sawah bertingkat. Setelah panen, sawah banjiri dengan genangan air, untuk menghilangkan hama dan menekan jumlah populasinya. Hal yang menjadi penting dalam pengurangan jumlah hama adalah motivasi yang kuat dari kerjasama diantara para petani untuk bersama – sama dengan petani dari sawah tetangga untuk mensinkronkan waktu tanam. Hal ini bisa menjadi negosiasi bagi para petani yang ada yang lokasinya lebih rendah untuk mendapatkan pergantian aliran air, saat petani yang lokasinya berada di lokasi yang bagian atas sedang mengosongkan lahannya. Karena jika petani yang area persawahannya lebih rendah tidak mendapatkan air yang cukup untuk mensinkronisasi masa tanamnya, maka itu berarti tidak akan ada waktu kosong untuk jeda masa tanam, dan ini kemungkinan bahwa areal pertanian di lokasi yang lebih tinggi akan mudah terkena hama. Hal inilah yang bisa menjadi salah satu cara bahwa hama dapat dikurangi hingga hampir 100 persen. (Lansing and Miller: 2005). Hirarki yang disusun dalam penempatan tempat suci berdasarkan sistem Subak ini adalah ada tempat suci kecil pada sawah masing – masing pemilik, Pura Bedugul yang dibangun pada bendungan airsungai atau persimpangan terowongan air, dan Pura Ulun Suwi atau Ulun Carik pada tiap – tiap Subak  Pura Subak adalah sebuah pura di desa yang yang dipuja oleh beberapa kelompok Subak yang bersama – sama mengadakan upacara agama pada waktu – waktu tertentu.

Penerapan Konsep Tri Hita Karana Dalam Sistem Subak
Kearifan lokal dengan sendirinya ditujukan untuk menjadi jawaban lokal bagi gerakan-gerakan global yang cenderung dominatif dan hegemonik. Sehingga gerakan lokalisasi melalui pemberdayaan kearifan lokal benar-benar mampu menandingi kekuatan sentripetal yang dibawa oleh fenomena globalisasi. Tanpa itu, manusia dan kebudayaannya akan menjadi bulan-bulanan globalisasi. Konsep Tri Hita Karana mengedepankan prinsip – prinsip kebersamaan, keselarasan, keseimbangan antara tujuan ekonomi, pelestarian lingkungan dan budaya serta estetika dan spiritual. Pelaksanaan Tri Hita Karana secara mantap, kreatif dan dinamis akan mewujudkan kehidupan harmonis yang meliputi pembangunan manusia seutuhnya yang  tidak hanya mementingkan nilai – nilai duniawi namun juga menyeimbangkannya dengan nilai – nilai religius dimana terjadi keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, cinta kepada kelestarian lingkungan serta rukun dan damai dengan sesamanya. Filosopi yang mendasari pelaksanaan kegiatan Subak dilandasi oleh prinsip Tri Hita Karana yang menekankan prinsip bahwa kebahagiaan hanya dapat dicapai jika hubungan para petani dengan Tuhan, sesama petani, masyarakat sekitarnya, serta alam semesta (salah satunya adalah areal persawahan) terjaga dengan seimbang. Selanjutnya elemen – elemen sistem Subak yang berkitan dengan konsep Tri Hita Karana dilihat dari beberapa hal yang menjadi kegiatan rutin para petani dalam melaksanakan keseimbangan hubungannya dengan elemen yang terkandung dalam Tri Hita Karana yaitu: konsep Tri Hita Karana yang pertama yaitu Parhyangan dengan melakukan upacara – upacara tertentu untuk menunjukkan rasa terima kasih kepada Tuhan dengan pelaksanaan kegiatan ritual yang dinamakan tumpek wariga[12] (upacara perlindungan terhadap pepohonan), hari Betari Sri (upacara menghormati Dewi Padi), upacara Dewi Danu (upacara untuk menghormati Dewi Air sebagai nafas utama pelaksanaan sistem Subak)  termasuk ngaben tikus[13] dan upacara- upacara penghormatan terhadap alam lainnya.
Konsep Pawongan dalam sistem pertanian tradisional ini melibatkan kerjasama sesama petani dengan pembentukan organisasi yang mengatur pembagian air irigasi secara merata dan adil pada setiap lahan persawahan. Kawasan ini merupakan tempat petani melakukan proses sosialisasi. Masing-masing kawasan ini memiliki tata cara pengaturan hak dan kewajiban anggotanya sehingga memberi masyarakat petani dimensi kehidupan yang lengkap dan harmonis, yaitu selaras, serasi dan seimbang. Awig-awig[14] subak dibuat dan diputuskan secara musyawarah dan demokratis. Perbedaan pendapat diantara anggota Subak dalam pengambilan suatu keputusan dapat diselesaikan dengan baik secara demokratis dan dijiwai dengan rasa tanggung jawab religius dengan pelaksanaan kewajiban yang disepakati serta sanksi yang ditetapkan secara jelas jika melanggarnya. Kegiatan yang melibatkan hubungan sosial yang erat antarsesama kelompok masyarakat juga terpelihara dengan baik yaitu pelibatan masyarakat dari awal kegiatan penanaman padi terdapat kelompok masyarakat yang tergabung dalam sekaa[15]. Hal itu ditunjukkan dengan adanya sekaa makal (menggemburkan tanah), sekaa melasah (meratakan tanah yang sudah gembur), sekaa munduk (membuat pematang). Memelihara padi memunculkan sekaa yang unik pula, yakni sekaa ngabut bulih (mencabut benih), sekaa nandur (menanam), sekaa mabulung (membersihkan rumput di sela padi).  Setelah panen muncul istilah sekaa manyi (memanen), sekaa makajang (mengangkut padi dari sawah).
Konsep palemahan dalam sistem Subak ditunjukkan dengan memelihara secara baik segala hal yang berhubungan menjadi sumber kelangsungan sistem pertanian tersebut. Dalam menjaga seluruh konsep Tri Hita Karana dapat berjalan, maka menjaga kelestarian aloam sangatlah penting. Air menjadi nafas kehidupan bagi organisasi pengairan ini. Maka menjaga air agar tetap dapat mengalir ke sawah – sawah warga masyarakat sangatlah penting untuk kelangsungan kegiatan pertanian hingga mencapai waktu panen. Air tidak akan begitu saja mengalir tanpa menjaga sumber dari aliran air itu tetap terpelihara dengan baik. Maka sangat penting untuk menjaga daerah resapan dan aliran sungai agar pasokan air yang dibutuhkan tetap tersedia.  Kawasan persawahan menjadi tempat kegiatan produksi petani membuat kawasan ini sangat ketat dijaga kesuciannya, sehingga setiap petak sawah/pemilikan selalu memiliki bedugul/tempat suci. Bagi petani di Bali, sawah merupakan karunia Tuhan yang diwariskan dari leluhurnya sehingga sawah memiliki nilai religius dan tempat bermukim dan bermain Betara Sri (lambang Tuhan sebagai penguasa padi).[16] Pada masa lalu jual beli sawah waris pantang dilakukan, karena pada sawah melekat simbol – simbol Ketuhanan. 

Subak Sebagai Salah Satu Sarana Penting Dalam Pertanian Berkelanjutan
            Pertanian berfungsi untuk memproduksi pangan untuk menjaga ketahanan pangan. Sangat disadari, bahwa selama manusia membutuhkan pangan selama itu pula pertanian tetap penting. Pertanian yang berkelanjutan diartikan secara sederhana diartikan sebagai upaya memperpanjang, memeliara, meningkatkan dan meneruskan kemampuan produktif dari sumber daya pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan. Meskipun subak adalah sistemi irigasi yang khas Bali (upacara ritual keagamaan yang senantiasa menyertai setiap aktivitaasnya), namun ia memiliki nilai-nilai leluhur yang bersifat universal dan sangat relevan dengan konsep pembangunan berkelanjutan dengan landasan falsafah Tri Hita. Tri Hita Karana secara implisit mengandung pesan agar kita sebagai mengelola sumberdaya air dan tanah tetap secara arif menjaga kelestariannya. Subak sebagai lembaga irigasi yang bercorak sosio religius dan berlandaskan Tri Hita Karana yang berfungsi sebagai organisasi pengelolaan air irigasi memproduksi tanaman pangan (padi dan palawija). Harmoni dalam nilai – nilai Tri Hita Karana tadi menghasilkan kedisiplinan seluruh anggota Subak di tingkat provinsi hingga pedesaan dalam melestarikan sumber daya air di satu daerah aliran sungai.
DAS dari hulu ke hilir dikelompokkan menjadi:
  • DAS hulu, sebagai zona tangkapan air, maka hutan-hutan dijaga agar kemampuan menampung air hujan       besar.
  • DAS tengah, sebagai zona konservasi air dan zona penggunaan air, yang diwujudkan dalam bentuk sistem usahatani konservasi atau wanatani (agroforestry).
  • DAS hilir, sebagai zona penggunaan air, di mana sawah irigasi dominan.
·         Subak lokal di DAS hilir mengurus dan memperhatikan pembagian air irigasi dan pengendalian cara penggunaan air oleh anggotanya dengan berpedoman kepada awig-awig (peraturan tertulis dan sanksi atas pelanggaran).
Sistem Subak yang dalam pengelolaan sumber daya, distribusi, dan penggunaan air irigasi berwawasan kesejahteraan secara paripurna, yaitu kesejahteraan masyarakat dalam kawasan DAS. Maka dalam proses pengambilan keputusan seyogianya mempertimbangkan segi politis, ekonomi, sosial, dan budaya (religi). Multifungsi ekosistem untuk mencapai pembangunan pertanian yang berkelanjutan (sustainable agricultural development). Subak memenuhi kaidah sebagai sistem irigasi sesuai dengan “Standar Perencanaan Irigasi” karena berdasarkan fakta di lapangan subak dengan jaringan irigasinya telah memiliki ke-empat fungsi pokok seperti yang disyaratkan yaitu :
  • Bangunan utama disebut empelan (bendungan) atau buka (intake)
  • Saluran air disebut telabah (bila berupa saluran terbuka) atau aungan (bila berupa saluran              tertutup).
  • Hamparan petak-petak yang merupakan bagian dari subak yang disebut Tempek  atau Munduk dilengkapi pula dengan bangunan dan saluran untuk membagi-bagikan air ke seluruh areal dengan saluran pembuangan yang disebut Kekalen
  • Sistem pembuangan kolektif yang disebut pengutangan juga dimilki subak, yang umumnya berupa saluran alam (pangkung atau sungai yang letaknyapaling bawah dan sangat dalam)
  • Sistem yg ada pada Subak di Bali, jaringannya hampir sama dengan jaringan teknis tetapi bangunan dan pengelolaannya berbeda.
  • Bendung  pada subak disebut empelan 
  •  Pemasukan air (intake) = bungas
  • Saluran primer = telabah gede
  • Bangunan pembagian air sekunder = tembuku
  • Saluran sekunder = Telabah                                                                      
  • Bangunan pembagian air tersier = tembuku pemaron
  • Saluran tersier = telabah pemaron
  • Bangunan pembagian air kuarter = tembuku cerik
  • Saluran kuarter = telabah cerik
Dengan demikian kiranya dapat juga disebutkan bahwa sistem irigasi subak pada dasarnya adalah suatu lembaga adat yang berfungsi untuk mengelola air irigasi untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat (petani). Selanjutnya agama Hindu yang berkembang pada saat itu di Bali yang memiliki konsep Tri Hita Karana, yang dianut oleh para raja dahulu danmasyarakat pengikutnya, dijadikan juga sebagai asas dan diterapkan pada sistem subak dalam melakukan kegiatannya untuk mengelola air irigasi di lahan sawah. Perkembangan/perubahan yang tampak terjadi pada sistem irigasi subak disebutkan oleh Pusposutardjo (1996) sebagai suatu proses transformasi sistem irigasi dengan lingkungannya. Kemudian dalam perannya sebagai pengelola pertanian beririgasi, maka seperti yang dikemukakan Pusposutardjo (1997), ternyata komponen manusia dalam sistem subak sangat dominan dalam sistem pengelolaan irigasi, yakni dalam aktifitasnya untuk mengendalikan pasokan air yang dinamis pada sistem pertanian. Adapun hal yang penting dan mendasar dalam kajian ini adalah berkait dengan peranan subak sebagai institusi adat pendayaguna air, yang diharapkan mampu memecahkan masalah yang muncul secara integratif melalui pendekatan sosio kultural di tengah-tengah arus perkembangan teknologi dan perubahan sikap hidup manusia.
Sebagai konsekuensi dari kemungkinan adanya peran ganda subak yaitu sebagai lembaga pengelola irigasi sekaligus pengelola unit usaha ekonomi dan bisnis di tingkat usahatani sesuai dengan jiwa INPRES RI No. 3/1999, maka subak tersebut harus mampu menempatkan unit ekonomi dan bisnis pada kedudukan yang tegas dan jelas dalam struktur organisasi subak (Budiasa, 2005). Artinya, subak yang bersangkutan bersedia melakukan restrukturisasi kelembagaan termasuk melakukan penyempurnaan AD/ART (awig-awig) yang dapat memenuhi tuntutan efisiensi dan profesionalisme kerja dalam melaksanakan peran ganda. Konsep restrukturisasi organisasi pada tingkat subak dapat diketengahkan dalam pelaksanaan Koperasi Tani akan menjadi salah satu sumber dana subak terkait dengan tanggung jawab pembiayaan operasi dan pemeliharaan institusi subak. Selain itu Koperasi Tani akan menjadi wahana peningkatan kesejahteraan ekonomi anggota.

Subak dan Sistem Pertanian Di Era Modernisasi Serta Tantangan Yang Dihadapi
Pertanian berperan penting dalam perekonomian dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama dalam sumbangannnya terhadap PDB , penyedia lapangan pekerjaan dan penyediaaan bahan pangan. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar masyarakat masih memelihara kegiatan pertanian meskipun sebuah negara telah menjadi negara industri. Masalah pengendalian lahan pertanian merupakan satu kebijakan nasional yang strategis untuk memelihara industri pertanian primer dalam kapasitas penyediaan pangan, dalam kaitannya untuk mencegah kerugian sosial ekonomi dalam jangka panjang mengingat sifat multi fungsi lahan pertanian. Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian dapat mengurangi jumlah lahan pertanian terutama lahan sawah telah berlangsung sejak tahun 90-an. Namun pengendalian alih fungsi lahan sampai saat ini belum berhasil diwujudkan walaupun berbagai kebijakan yang berkaitan dengan masalah pengendalian konversi lahan sawah sudah dibuat. Sebagai contoh peraturan perundangan
Peraturan / Perundangan
Garis besar isi, yang terkait dengan alih guna lahan pertanian
Kepres no.53 tahun 1989
Pembangunan kawasan industri, tidak boleh konversi sawah irigasi teknis (SIT) atau tanah pertanian subur
Kepres no. 33 tahun 1990
Pelarangan pemberian ijin perubahan fungsi lahan basah dan pengairan beririgasi bagi pembangunan kawasan industri
SE MNA / KBPN 410 – 2261 tahun 1994
Ijin lokasi tidak boleh mengkonversi sawah irigasi teknis (SIT)
SE MNA / KBAPPENAS 5524 / MK/ 9/ tahun 1994
Pelarangan konversi lahan sawah irigasi teknisuntuk non pertanian
SE MNA / KBPN 5417/ MK/ 10 tahun 1994
Efisiensi pemanfaatan lahan  bagi pembangunan perumahan
SE MENDAGRI 474/ 4263/ SJ  tahun 1994
Mempertahankah sawah irigasi teknia untuk mendukung swasembada pangan
SE/ KBPN460 - 1594  tahun 1994
Mencvegah konversi tanah sawah dan irigasi teknis menjadi tanah kering
           
            Namun pengimplementasian peraturan dan perundangan diatas tidak didukung dengan data dan sikap proaktif yang memadai dengan kendala besar yang menjadi alasan peraturan pengendalian konversi lahan sulit dilaksanakan yaitu: kebijakan yang kontradiktif dengan cakupan yang terbatas dan kendala konsistensi perencanaan (Nasoetion, 2003) Kebijakan kontradiktif terjadi karena disatu pihak pemerintah berupaya melarang alih fungsi lahan disisi lain kebijakan pertumbuhan manufaktur atau industri dan sektor pertanian justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Selain itu peraturan tersebut tidak dikenakan kepada perusahaan – perusahaan atau badan hukum yang menggunakan tanah dan/ atau akan merubah tanah pertanian ke non pertanian yang dilakukan secara individual, padalah justru perubahan yang dilakukan secara individuallah yang terjadi cukup luas. Kelemahan lainnya dalam peraturan perundangan adalah peraturan yang dibuat cenderung berupa himbauan namun tidak dilengkapi sanksi yang :tegas (Simatupang dan Irawan: 2002). Petani sebagai pemilik lahan dan pemain dalam kelembagaan lokal belum dilibatkan secara aktif dalam berbagai upaya pengendalian alih fungsi lahan serta belum terbangunnya komitmen, perbaikan sistem koordinasi serta pengembangan kompetensi lembaga – lembaga formaldalam menangani alih fungsi lahan pertanian. Di sisi sektor internal pertanian, berbagi karakteristik dari usaha tani belum sepenuhnya mendukung kea rah pelaksanaan pelestarian lahan pertanian yang ada. Sempitnya rata – rata luas lahan yang diusahakan petani karena proses fragmentasi yang disebabkan oleh sistem waris pecah bagi serta hasil kegiatan pertanian dengan biaya yang terus meningkat tidak sesuai dengan biaya pemenuhan kebutuhan sehari – hari, ditambah lagi dengan penerapan teknologi baru yang dikatakan peningkatan produktivitas. Yang terjadi kemudian justru bukan modernisasi melainkan penjualan lahan pertanian untuk penggunaan lainnya (alih fungsi lahan pertanian). Hal lain yang memperparah adalah desentralisasi yang menyebabkan daerah berlomba – lomba untuk meningkatkan pertumbuhan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar dengan cara penggunaan lahan pertanian untuk pengembangan sarana dan prasarana fisik dengan penawaran nilai ekonomis yang lebih baik.
Hal itu begitu jelas tercermin dalam kondisi lingkungan dan sosial masyarakat Bali utamanya pada lingkungan perkotaan serta daerah – daerah strategis pengembangan pariwisata saja. Di Bali telah terjadi alih fungsi lahan sawah ke non pertanian dari 85.776 ha pada tahun 2000 menjadi 81.144 ha pada tahun 2007 dengan rata-rata luas alih fungsi lahan lebih dari 660 ha per tahun (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, 2008). Terlebih-lebih adanya fragmentasi lahan akibat sistem pembagian waris menyebabkan rata-rata skala usahatani mereka semakin kecil. Studi diagnosis penguasaan lahan sawah di Kota Denpasar (Sedana dkk. 2003) menunjukkan bahwa selama satu dasawarsa (1993 – 2003) telah terjadi penyusutan luas lahan sawah produktif sebanyak 49,71 persen, dari 5.753 ha pada tahun 1993 menjadi 2.888,8 ha pada akhir tahun 2002. Penyebab utama terjadinya pengurangan luas lahan sawah produktif tersebut adalah adanya land consolidation (LC) untuk pengadaan infrastruktur dan sarana pelayanan umum (public services), pengembangan pemukiman, serta perubahan lahan menjadi “lahan tidur” (lahan tidak produktif) akibat keterbatasan sumberdaya air atau terganggunya sarana dan prasarana jaringan irigasi sebagai penyedia air irigasi dan/atau terbatasnya sumberdaya manusia yang mau menjadi petani. Demikian pula, pada periode yang sama telah terjadi pengurangan jumlah subak dari 45 subak (berdasarkan Keputusan Wali Kotamadya No. 658 Tahun 1993) menjadi 41 subak.
Ketika industrialisasi masuk ke Bali dan orang mulai dipompa untuk hidup dikejar-kejar oleh waktu, landasan budaya dalam pelaksanaan sistem pertanian tradisional seolah terpinggirkan. Kegiatan Revolusi Hijau yang dipromosikan secara terus menerus pada tahun 1970 hingga tahun 1980 membuat masyarakat Bali tergiur dengan keuntungan yang didapat dari menanam benih padi yang dapat dipanen dalam waktu yang pendek serta semua hal dikerjakan serba terburu-buru. Sehingga sistem menanam padi secara tradisional yang baru dapat dipanen setelah lima atau enam bulan mulai ditinggalkan karena waktu yang relatif panjang menghambat produksi pangan. Sistem pertanian modern dianggap lebih efisien karena tanah tak perlu terlalu digemburkan karena pemberian banyak pupuk dipercaya dapat meningkatkan kualitas kesuburan tanaman. Ditambah lagi penyuluhan tentang mudahnya penggunaan bahan – bahan kimia (pupuk kimia dan pestisida) membuat penggunaan pupuk kompos tradisional (pembuatannya membutuhkan waktu lama) mulai ditinggalkan. Kebiasaan petani untuk bergotong royong membajak sawah juga mulai hilang. Karena penggunaan pupuk kimia membuat rumput-rumput liar juga berkurang, sehingga pekerjaan sebagian orang Bali sebagai sekaa mabulung (menyiangi rumput) menjadi lenyap. Kaum ibu tak bisa lagi memanen padinya dengan ani-ani karena peran mereka digantikan para lelaki dengan sistem yang lebih efisisen yaitu menebas padi itu langsung dari batangnya dan langsung dirontokkan di tengah sawah dengan ritme penuh ketergesa-gesaan.
 Semua hal yang terbangun dari sistem pertanian modern tidak memiliki efektivitas jangka panjang karena penggunaan pupuk kimia hanya membuat hasil pertanian yang tercemar dan menjadi berbahaya. Efek samping lainnya yaitu pengurangan fungsi tanah pertanian, karena tanah yang ditanami terus menerus tanpa ada jeda waktu penanaman dapat mengikis kesuburan tanah sehingga tidak dapat ditanami lagi. Air sawah yang terkontaminasi pestisida membunuh hewan – hewan air yang hidup di sawah seperti belut, ikan dll. Jika saja hewan - hewan tersebut termakan manusia maka akan sangat berbahaya bagi kesehatan. 
Pada sistem pertanian tradisional diterapkan pola sangat efektif bagi keberlangsungan pertanian jangka panjang yang tidak merusak lingkungan. Penerapan beberapa sistem diantaranya pelaksanaan istirahat tanah, yaitu tidak melakukan penanaman beberapa waktu setelah masa panen selain istirahat tanah juga dapat menghindari penyebaran hama pada sawah yang berdekatan. Selain itu pembanjiran lahan pertanian setelah musim panen selama beberapa waktu sangat efektif membunuh sisa – sisa hama. Hal ini memang menghambat jumlah produksi beras yang besar namun hal – hal teknis alami ini jauh lebih ampuh untuk proses pertanian yang jangka panjang serta ramah terhadap kesehatan. Hal positif lainnya adalah sistem sosial masyarakat juga tetap terpelihara karena rutinnya dialog – dialog pemecahan konflik pembagian air serta kerjasama masyarakat dalam memberantas hama.
Musnahnya sistem pertanian di beberapa daerah di Bali (Badung dan Denpasar) menyebabkan berkurangnya jumlah beberapa subak. Tanpa adanya areal persawahan, maka sistem Subak tidak akan bisa dijalankan. Musnahnya sistem Subak dapat disebabkan oleh hilangnya satu atau lebih unsur sebagai penciri Tri Hita Karana. Unsur-unsur yang dimaksud adalah hilangnya sistem fisik (lahan sawah, tata tanam, sarana dan prasarana jaringan irigasi) juga hilangnya sistem sosial akibat lahan sawah, status petani bahkan kepemilikan lahan berubah. Dalam hal terjadinya alih fungsi lahan sawah pada sistem subak maupun karena sawah bukan lagi dimiliki dan dikerjakan oleh umat Hindu sudah tentu akan berpengaruh besar terhadap eksistensi pura-pura subak serta penyelenggaraan sistem religius di dalamnya. Besar-kecilnya pengaruh tersebut tergantung pada seberapa banyak lahan yang telah beralih fungsi. Berdasarkan uraian di atas, nampaknya keberlanjutan pertanian dan ketahanan pangan di Bali sangat tergantung pada keberadaan dan peran subak.
Saat ini pertanian tidak lagi menjadi mata pencaharian utama masyarakat Bali, hal ini disebabkan oleh peraturan pemerintah yang melonggarkan masuknya beras impor yang lebih mura. Subsidi yang rendah terhadap pupuk, bibit, serta peralatan pertanian lainnya. membuat pendapatan petani terkadang tidak sesuai dengan pengeluaran mereka disamping bencana gagal panen karena hama maupun cuaca. Kerugian yang berkepanjangan membuat para petani mulai berpaling dari kegiatan bertani. Pariwisata Bali yang mulai booming pada tahun 1990-an membawa perubahan yang drastis terhadap kehidupan masyarakat Bali. Apalagi usaha untuk mengembangkan sarana pariwisata didukung oleh pemerintah serta masyarakat Bali sendiri karena jauh lebih menguntungkan dari segi pendapatan. Hal ini terlihat di daerah Nusa Dua yang perubahan daerah gersang berubah menjadi kawasan bisnis dan hotel – hotel mewah untuk wisatawan kelas atas. Begitu juga daerah Kuta, Benoa, Pecatu yang tidak kalah gemerlapnya menyediakan segala fasilitas modern dan kenyamanan bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali. Kemajuan dalam bidang pariwisata ini ternyata mengorbankan kelestarian alam dengan merusak ekosistem pantai dan sawah, jalur hijau dan daerah resapan air. Hal ini disebabkan lahan tersebut telah berubah fungsi menjadi hotel dan villa – villa mewah yang kebanyakan milik dari investor asing. Ditambah lagi limbah – limbah yang cukup besar yang datang dari hotel, restaurant yang tidak dikelola dengan baik serta penggunaan air tanah yang berlebihan.
Mobilisasi yang semakin mudah menyebabkan Bali sebagai salah satu daerah tujuan untuk membuka usaha maupun bekerja. Hal inilah yang memperparah alih fungsi lahan karena pembangunan fisik terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam membuka bisnis/usaha maupun pemukiman. Di Kota Denpasar dan Badung pada awal tahun 1990-an penulis mengalami dan melihat langsung masih bisa dijumpai hamparan sawah yang terbentang luas, dan hanya dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, areal persawahan tersebut sebagian besar lenyap dan digantikan oleh ruko, hotel, garmen, perumahan mewah, restaurant, bahkan lingkungan kumuh. Semakin tinggi prospek pengembangan pariwisata di Bali berpengaruh pada harga tanah yang terus meningkat. Hal inilah menyebabkan masyarakat Bali makin gencar melakukan penjualan tanah untuk digunakan untuk memenuhi kehidupan yang hedonis dengan mengabaikan nilai – nilai Tri Hita Karana.
Hal ini tentu berdampak tragis pada pada sistem tata ruang tradisional yang sangat dahulunya mengedepankan keseimbangan melalui konsep Tri Hita Karana. Uang telah menggantikan segala – galanya. Kearifan lokal, hubungan sosial maupun kelestarian lingkungan telah tergadaikan oleh godaan mencari pendapatan besar dalam waktu singkat. Sistem Subak di kota Denpasar mulai hilang ditelan oleh gemerlap kehidupan modern dan majunya pariwisata, karena pelaksanaan kegiatan Subak tidak bisa dilakukan jika tidak tersedia lahan pertanian. Ketidakpedulian masyarakat terhadap pengelolaan air dan tanah yang serakah tidak saja berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan yang parah (banjir dan kekeringan) serta  menurunnya interaksi sosial dalam masyarakat. Forum – forum diskusi masyarakat sebagai ajang tukar pikiran mengenai penguatan hubungan dan penyelesaian masalah sosial termasuk konflik masyarakat di perkotaan mulai ditinggalkan. Hal yang lebih menggelikan, saat ini pura – pura Subak di kota Denpasar tidak lagi dipuja oleh para petani namun justru dipuja oleh para penghuni perumahan, karena lahan – lahan pertanian mulai lenyap di daerah perkotaan yang padat dengan perumahan.
Kejadian bom Bali pada tahun 2002 menyadarkan masyarakat Bali bahwa kemakmuran yang disebabkan oleh pariwisata dapat hilang sewaktu – waktu bahkan habis sama sekali, karena peristiwa tersebut menyebabkan para wisatawan banyak yang menghentikan kunjungannya ke Bali selama beberapa waktu. Hal ini membuat banyak masyarakat Bali yang dahulunya makmur saat bergantung pada sektor pariwisata mendadak jatuh miskin, baik itu karena PHK dan lesunya bisnissouvenir, restaurant maupun hotel. Ditambah lagi krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat dunia pariwisata sewaktu – waktu menjadi sangat labih dan rentan terhadap kejatuhan. Tampaknya hal ini mulai membuat masyarakat Bali memikirkan kembali bahwa sebenarnya sektor agraris tidak hanya dijadikan sebagai sektor pinggiran kegiatan perekonomian. Nilai – nilai mapan yang terkandung di dalamnya yang terjaga selama ribuan tahun memberi ketahanan yang baik bagi kelangsungan perekonomian, hubungan sosial, pelestarian budaya dan lingkungan. Sumber daya manusia tidak akan bisa maju jika tidak didukung oleh kondisi alam yang memadai, seperti rendahnya polusi serta ketahanan wilayah terhadap bencana.
Belakangan ini penggalakan sistem Subak mulai digencarkan dalam forum – forum sosial, para akademisi mulai menyadarkan generasi muda tentang pentingnya pembangunan yang berkelanjutan dengan konsep sistem Subak tanpa mengabaikan dampak positif sistem modern. Pendidikan sekolah tidak hanya diisi dengan mempelajari ilmu – ilmu bahasa alam maupun sosial, tetapi juga dilengkapi dengan pelajaran seni dan budaya untuk memperkenalkan konsep – konsep tradisional sebagai upaya membuat generasi muda mengetahui, mencintai dan ikut melestarikannya termasuk sistem Subak. Mendorong minat para generasi muda untuk tebih tertarik mendalami sistem pertanian Bali tradisional dalam keilmuan modern menjadi hal yang sangat penting untuk diwujudkan. Lalu bagaimana tentang nasib Subak kedepannya, hanya bisa dijawab dengan perilaku masyarakat Bali, jika masyarakat Bali benar –peduli terhadap sistem pembangunan yang berkelanjutan melalui penyandaran diri pada nilai – nilai budaya dan tindakan yang menghargai kearifan lokal pelestarian sistem subak dan pelaksanaan pertanian yang berkelanjutan masih bisa diselamatkan.Namun satu hal yang penting adalah hal ini tidak hanya sekedar menjadi wacana atau mungkin dalam tataran promosi karena pelestarian sistem Subak harus segera dilakukan dengan tindakan nyata salah satunya adalah pengaturan pembangunan yang tidak melanggar jalur hijau. Peraturan pemerintah daerah Bali telah tentang tata wilayah tahun 2009 menetapkan dalam pasal 1 agar seluruh pemerintah di kabupaten dan kotamadya melandasi pembanguananya berdasar prinsip Tri Hita Karana engan tidak merusak kawasan suci (pura), kawasan lindung dan resapan air dengan strategi pemulihan dan penanggulangan kerusakan lingkungan hidup dengan mengembalikan dan meningkatkan fungsi lingkungan hidup yang telah menurun. Peraturan penting lainnya adalah pencegahan dan pelarangan alih fungsi lahan budidaya pertanian menjadi lahan non pertanian, kecuali untuk pembangunan sistem jaringan prasarana penunjang kawasan pertanian, jaringan jalan, jaringan energi listrik, jaringan telekomunikasi dan jaringan air minum. Arahan peraturan zonasi kawasan budidaya tanaman pangan Pasal 116 ayat (2) mencakup: pengamanan kawasan pertanian lahan basah produktif berbasis subak, sebagai kawasan pertanian lahan basah berkelanjutanmempertahankan dan memelihara jaringan irigasi kawasan pertanian tanaman pangan produktif yang telah diarahkan menjadi kawasan terbangun, sampai dengan pemanfaatan sebagai kawasan terbangun mulai dilakukan, pencegahan dan pembatasan alih fungsi lahan sawah beririgasi untuk kegiatan budidaya lainnya, seperti akomodasi/fasilitas pariwisata, industri, perumahan skala besar, kecuali untuk prasarana umum yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah; dan pemerintah dan masyarakat anggota subak, wajib menjaga keberlangsungan pasokan air irigasi pertanian lahan basah berkelanjutan. Peraturan yang mapan sudah dibuat sedangkan langkah selanjutnya melakukan tindakan yang konkret dengan memperhatikan kelangsungan pembangunan yang berkelanjutan,
Stakeholders harus memperhatikan nasib para petani termasuk memberi bantuan dana dan dukungan bagi yang benar –benar serius mempertahankan praktek pertanian tradisional Bali dan pelaksanaan sistem Subak. Hal itu diharapkan dapat menekan penjualan tanah pertanian yang menyebabkan pada bentuk alih fungsi lahan. Langkah ini masih sangat mungkin dilakukan karena Bali masih terdapat banyak areal persawahan utamanya di daerah – daerah yang tidak terlalu terkena imbas gemerlap pariwisata, seperti di Kabupaten Tabanan, Bangli, Klungkung dan daerah – daerah  lainnya. Penyelamatan sedini mungkin terhadap nilai – nilai dan praktek pembangunan yang bertumpu pada keseimbangan alam seperti konsep Subak jauh lebih mudah dibandingkan membangun sesuatu yang baru yang kadang sangat sulit dicapai hasilnya karena belum tentu akan sesuai dengan tipologi suatu wilayah dan kebiasaan masyarakat yang berbeda – beda. Selama selalu ada usaha yang sungguh – sungguh nampaknya penguatan sistem Subak belum terlambat untuk digali dan disadarkan kepada generasi penerus bangsa selanjutnya. Alam bukan milik kita untuk saat ini saja, bukankah kita hanya satu generasi yang beruntung diberi kemudahan oleh generasi sebelumnya, dan hal itulah yang harus kita selalu tanamkan dan  jalankan untuk mempermudah kehidupan generasi selanjutnya. 

Kesimpulan
            Deklarasi UNESCO telah mengakui bahwa kebudayaan adalah unsur penting yang harsu dimasukkan dalam pembangunan ekonomi karena hal tersebut tidak hanya dipahami sebagai pembangunan yang hanya menekankan pentingnya aspek ekonomi semata, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual. Dan dari pernyataan deklarasi UNESCO itulah bagaimana konsep pembangunan ekonomi hijau mulai gencar diberdayakan. Pelaksanaan sistem pertanian tradisional di Indonesia merupakan model yang tepat menghadapi kondisi iklim, cuaca, dan alam. Hal itu telah dikembangkan beribu tahun lamanya termasuk sistem pertanian di Bali. Indonesia telah lama menjadi negara agraris. Hal ini harusnya menjadi kebanggaan karena tidak semua negara dikaruniai keadaan alam seperti Indonesia. Namun tak dapat dipungkiri dalam melaksanakan sistem perekonomian yang bersandar pada kebaikan alam, banyak masalah yang dihadapi. Hal ini juga terjadi di Bali, siklus musim menyebabkan sistem pertanian yang tergantung pada air bisa saja mengalami konflik disaat sumber air sedang surut, serta pengrusakan alam selalu dapat terjadi. Oleh karena itu perkembangan konsep Tri Hita Karana menjadi nafas dalam kehidupan masyarakat Bali termasuk dalam pelaksanaan sistem Subak yang mensinergikan hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan, sesamanya serta alam. Hal ini membuat masyarakat menyadari hal – hal mana saja yang boleh dilakukan dan nilai – nilai apa saja yang tidak boleh dilanggar. Selama ribuan tahun sistem Subak telah menjaga keseimbangan hidup masyarakat Bali dan alamnya. Namun berkembangnya konsep modernisasi, ditambah dengan arus globalisasi menyebabkan banyak nilai – nilai budaya Barat yang mulai masuk ke Indonesia, termasuk merongrong budaya tradisional yang sudah sangat mapan menyokong pondasi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk Bali. Revolusi hijau membawa dampak buruk jangka panjang serta mengoyak keseimbangan alam. Ditambah kondisi alam Bali yang menjadi daya tarik pariwisata telah membuat mesyarakat mulai mengalihkan sumber perekonomian berbasis pada pariwisata, smapai tindakan yang paling merugikan yaitu membangun sarana pariwisata tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Tampaknya peristiwa bom Bali menyadarkan masyarakat Bali tentang rentannya kejatuhan perekonomian yang hanya bersandar pada pariwisata, sehingga masyarakat mulai melihat pertanian ternyata lebih sustainable terhadap prospek perekonomian masa depan. Sistem perekonomian pertanian harus tetap berbasis pada kearifan lokal yaitu nilai Tri Hita Karana sehingga sistem pembangunan yang berkelanjutan tidak mengorbankan nilai sosial, ekonomi, budaya dan religius, karena nilai – nilai tersebutlah yang dapat membangun kualitas manusia seutuhnya. 


Referensi:

Atmojo, S.K. 1986. Some Shorts Notes on Agricultural Data from Ancient Balinese Insciption, in S. Kartodirjo (ed.) Papers of the Fourth Indonesian – Dutch History Conference. Yogyakarta 24 – 29 July 1983, vol.1. Agrarian History, pp.41-2. Yogyakarta. Gajah Mada University.
BPS Propinsi Bali. 2008. Sekilas Bali 2008
Budiasa, I Wayan. 2005. Subak dan Keberlanjutan Sistem Pertanian Beririgasi di Bali. Dalam Pitana, I Gde dan Gede Setiawan AP (Eds). Revitalisasi Subak dalam Memasuki Era Globalisasi. Yogyakarta: Andi Offset.
Budiasa, I Wayan. 2007. Optimization of Groundwater Irrigation-Based Farming System Towards Sustainable Agriculture in North Coastal Plain, Bali. Unpublish PhD Thesis, Agricultural Economics Study Program, Gadjah Mada Graduate School, Yogyakarta.
Dube, S.C. 1988. “Modernization and Development: The Search for Alternative Paradigms”. Zed Books Ltd. London.
Christie, J.W. 1992. Water From The Ancestor: Irrigation from the Early Java and Bali, in J. Rigg (ed.) The gift of Water: Water Management, Cosmology and the State in The Southeast Asia. Pp.7-25. London: Scholl of Oriental and African Studies, University of London.
Hauser – Schaublin. B. 2003. The Precolonial Balinese State Reconsidered. Current Anthropology, 44: 153-81.
Hobsbawm, Eric dan Terence Ranger. 1983. The Invention Of Tradition. Edinburgh: Cambridge University Press
Kulke, H. 1986. The Early and The Imperial Kingdom of Southeast Asian History in D.G. Marr and A. C. Miller(eds) Southeast Asia in the 9th to 14th Centuries. Canberra: Research School of Pacific Studies, Australian International University.
Lansing et. al. 2007.  A DNA Signature for the Expansion of Irrigation in Bali.
Mudana, I Gede 2003. Lokal, dari Wacana Menuju Praksis. http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2003/9/11/op3.htm
Schoorl, J.W. 1980. “Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara sedang Berkembang”. PT. Gramedia. Jakarta.
UNESCO Universal Declaration on Cultural Diversity 200. http://portal.unesco.org/en/ev.php URL_ID=13179&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=201.htm
Widyaiswara. 2011 Subak Model Kearifan Lokal BALI yang Terkikis Kementrian Pertanian dan Badan Penyuluhan Pengembangan Pertanian. BBPP Ketindan Malang (http://bbppketindan.info/index.php?option=com_content&view=article&id=96:subak-model-kearifan-lokal-bali-yang-terkikis&catid=9:artikel-pertanian&Itemid=28diambil pada 29 Desember 2011)
http://balisustain.blogspot.com/2010/08/peran-ganda-subak-dalam-mewujudkan.html
http://balisustain.blogspot.com/2010/08/kajian-tata-ruang-dan-pengelolaan.html
http://blog.baliwww.com/arts-culture/467
http://canangsari.net/2011/06/tumpek-wariga-hormati-tumbuhan/
http://kemoning.info/blogs/?m=200912
           


[1] Schoorl, J.W. 1980. “Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara sedang Berkembang”. PT. Gramedia. Jakarta.
[2] Dube, S.C. 1988. “Modernization and Development: The Search for Alternative Paradigms”. Zed Books Ltd. London.
[3] http://www.scribd.com/doc/24176124/Brundtland-Report-1987
[4] UNESCO Universal Declaration on Cultural Diversity 200. http://portal.unesco.org/en/ev.php URL_ID=13179&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=201.htm
[5] Eric Hobsbawm dan Terence Ranger 1983. The Invention Of Tradition. Edinburgh: Cambridge University Press.
[6] I Gede Mudana. 2003. Lokal, dari Wacana menuju Praksis. http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2003/9/11/op3.htm
[7] Hauser – Schaublin. B. 2003. The Precolonial Balinese State Reconsidered. Current Anthropology, 44: 153-81.
[8] Kulke, H. 1986. The Early and The Imperial Kingdom of Southeast Asian History in D.G. Marr and A. C. Miller(eds) Southeast Asia in the 9th to 14th Centuries. Canberra: Research School of Pacific Studies, Australian International University.
[9] Christie, J.W. 1992. Water From The Ancestor: Irrigation from the Early Java and Bali, in J. Rigg (ed.) The gift of Water: Water Management, Cosmology and the State in The Southeast Asia. Pp.7-25. London: Scholl of Oriental and African Studies, University of London.
[10] Lansing et. al. 2007. A DNA Signature for the Expansion of Irrigation in Bali.
[11] Atmojo, S.K. 1986. Some Shorts Notes on Agricultural Data from Ancient Balinese Insciption, in S. Kartodirjo (ed.) Papers of the Fourth Indonesian – Dutch History Conference. Yogyakarta 24 – 29 July 1983, vol.1. Agrarian History, pp.41-2. Yogyakarta. Gajah Mada University.
[12] Tumpek Wariga/ Pengatag/Uduh dalam konsepsi Hindu di Bali merupakan hari untuk bersyukur kepadaTuhan yang dikonkretkan melalui mengupacarai pepohonan. Karenanya ucapan syukur dan penghormatan kepada Tuhan dilakukan manusia dengan mengasihi segala jenis tumbuh-tumbuhan.  Dengan demikianperayaan hari Tumpek Pengatag memberi isyarat dan makna mendalam agar manusia mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan penghidupannya. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam memberi hidup umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia bersumber dari tumbuh-tumbuhan. mulai dari pangan, sandang hingga papan. Karena itu pula, tradisi perayaan Tumpek Pengatag disepadankan sebagai peringatan Hari Bumi ala Bali. Tumpek Pengatag merupakan momentum untuk merenungi jasa dan budi Ibu Bumi kepada umat manusia. Selanjutnya, dengan kesadaran diri menimbang-nimbang perilaku tak bersahabat dengan alam yang selama ini dilakukan dan memulai hari baru untuk tidak lagi merusak lingkungan. Sampai di sini, dapat disimpulkan para tetua Bali di masa lalu telah memiliki visi futuristik untuk menjaga agar Bali tak meradang menjadi tanah gersang dan kerontang akibat alam lingkungan yang tak terjaga. Bahkan, kesadaran yang tumbuh telah pula dalam konteks semesta raya. Istimewanya, segala kearifan itu muncul jauh sebelum manusia modern berkampanye tentang upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan. (http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=368&Itemid=79 diambil pada 29 Desember 2011)
[13] Upacara Mreteka Merana/Ngaben Tikus, sudah sering dilakukan oleh masyarakat Hindu  di Kabupaten Tabanan. Mengingat wilayah ini sebagian besar penduduknya hidup dari bercocok tanam, khususnya padi. Sehingga upacara yang berhubungan dengan keselamatan dan kesuburan tanaman, khususnya padi, sudah sering dilaksanakan baik secara rutin seperti maupun tidak rutin. Mreteka Merana terdiri dari dua kata yaitu kata Mreteka dan kata Merana. Mreteka artinya mengupacarai, Merana artinya hama penyakit. Tujuan dari upacara ini adalah untuk menyucikan roh/atma hama penyakit supaya kembali ke asalnya sehingga tidak kembali menjelma ke bumi sebagai hama penyakit dan merusak segala jenis tanaman yang ada di bumi, khususnya tanaman padi. Upacara seperti ini dilaksanakan apabila hama tikus dan hama lainnya telah menyebabkan gangguan yang sudah luar biasa dan tidak bisa dikendalikan. Sebagai contoh di desa pekraman Bedha, desa Bongan , kecamatan Tabanan upacara mreteka merana ini sudah lebih dari enam kali dilaksanakan. Pada tahun 2000 pernah dilaksanakan, setelah itu tanaman tidak pernah lagi terserang oleh hama penyakit sampai tahun 2008. Akan tetapi sejak tahun 2008 hama penyakit khususnya hama tikus lagi merajalela sampai tidak bisa dikendalikan. (http://www.tabanankab.go.id/artikel/budaya-dan-agama/372-upacara-mreteka-merana-ngaben-tikus diambil pada 29 Desember 2011)
[14] Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya dan berlaku sebagai pedoman bertingkah  laku  dari anggota organisasi   yang bersangkutan. Dengan demikian, awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku yang dibuat oleh masyarakat yang   bersangkutan   berdasarkan   rasa   keadilan   dan rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Salah satu bentuk organisasi tradisional yang berwernang membuat awig-awig adalah desa pakraman. Disamping desa pakraman, masih banyak lagim organisasi tradisional   Bali   lain   yang   juga   mempunyai   awig-awig, seperti salah satunya adalah organisasi Subak. (I Wayan Suarjaya. 2007. Analisis Pelayanan Publik Desa Dinas dan Desa Pekraman Desa Wongaya Gede, kabupaten Tabanan, Disertasi. Jakarta: Fisip UI, Ilmu Administrasi Negara. http://www.scribd.com/doc/66066869/128131-D-00831-Analisis-pelayanan diambil pada 29 Desember 2011)
[15] Sekaa adalah kelompok organisasi masyarakat yang dengan berbagai kegiatan tertentu, guna menyukseskan kegiatan – kegiatan masyarakat termasuk dalam sistem pertanian.
[16] Widyaiswara. 2011 Subak Model Kearifan Lokal BALI yang Terkikis Kementrian Pertanian dan Badan Penyuluhan Pengembangan Pertanian. BBPP Ketindan Malang (http://bbppketindan.info/index.php?option=com_content&view=article&id=96:subak-model-kearifan-lokal-bali-yang-terkikis&catid=9:artikel-pertanian&Itemid=28diambil pada 29 Desember 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar