Tantangan Sistem Pertanian
Masyarakat Bali Dalam Mewujudkan Sustainable Development Melalui Usaha
Pelestarian Konsep Subak
Latar Belakang
Pembangunan saat ini telah
mengalami perubahan yang sangat massive dan
cepat diseluruh dunia. Perubahan itu tentunya dipengaruhi oleh proses
pengintensifan jaringan hubungan ekonomi dan sosial yang luar biasa. Individu,
kelompok maupun negara saling berinteraksi melewati batas – batas negara,
membuat kesemuanya saling tergantung, terkait dan saling mempengaruhi satu sama
lainnya. Globalisasi setelah perang dunia kedua diusung oleh negara – negara
adikuasa, yang dalam hal ini adalah negara – negara Barat, dengan sistem
kapitalisme yang dipelihara dan terus dikembangkan hingga sampai dalam bentuk
yang paling mutakhir. Kapitalisme dan gaya ekonomi ala Barat ini juga
disebarkan dan ditanamkan ke negara – negara dunia ketiga yang lebih banyak
pada awalnya melalui sistem kolonialisasi. Lalu pada saat negara – negara dunia
ketiga mulai merdeka, sistem penjajahan seolah
tetap dilakukan melalui konsep new
colonialism dengan kekuasaan yang ditancapkan oleh lembaga IMF, Bank Dunia,
dan WTO melalui Structural Adjustment
Policy (SAP) dan aturan tarif perdagangan.
Pembangunan di Indonesia, seperti yang terjadi
pada kebanyakan negara berkembang semakin tergantung terhadap program ekonomi
yang dikembangkan oleh negara – negara Barat. Hal ini salah satunya dipengaruhi
oleh keinginan negara – negara berkembang untuk mengikuti pertumbuhan seperti
di negara – negara maju serta sistem ekonomi global yang memang telah dibentuk
berdasarkan perspektif negara – negara Barat. Indonesia sebagai negara
kepulauan yang susunan tanahnya terdiri dari tanah aluvial sangat cocok untuk
areal persawahan dengan tumbuhan padi yang dapat berkembang subur di kebanyakan
dataran rendahnya. Sebagai respon dari permasalahan yang terkait dengan
penyediaan sumber pangan yang cukup dan baik bagi masyarakat maka sistem
pertanian tradisional dikembangkan secara terus menerus dan diperbaiki guna
mencapai hasil pertanian yang lebih baik, tahan hama, dan menghindari konflik
diantara masyarakat terkait soal penggunaan common
property salah satunya adalah
penggunaan air. Di Bali, sistem Subak yang
erat kaitannya dengan pengaturan sistem irigasi di Bali yang menggabungkan
keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama dan alam, sehingga segala
tindakan yang dilakukan tidak hanya dilandasi oleh kepentingan duniawi dengan
mengejar segala materi namun juga diimbangi dengan kewajiban melaksanakan
kegiatan spiritual. Sistem Subak telah
membangun kegiatan pertanian di Bali yang bertahan selama ribuan tahun tanpa
mengabaikan keseimbangan tindakan ekonomi dengan alam. Namun seiring dengan
berjalannya waktu, pembangunan yang berbasis pada teori modernisasi ikut
mengubah segala hal termasuk sistem pertanian. Di Bali sistem pertanian tradisionalnya didukung oleh
sistem Subak. Sistem ini dianggap scholar dari teori modernisasi sebagai kegiatan yang dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi dan pencapaian tahap pembangunan yang lebih tinggi.
Pada tahun 1970-an Revolusi Hijau
menjawab pertanyaan untuk mengatasi kelaparan. Program ini dilakukan dengan
mengkomoditi beberapa produk pertanian dengan harapan akan membuat negara –
negara berkembang dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya sekaligus dapat
meningkatkan jumlah suplai makanan dunia. Walaupun program ini memiliki niat
baik, namun program ini justru menjadi program pembangunan terburuk yang pernah
ada yang efeknya masih terasa sampai saat ini, karena model pengaturan lahan
dan sistem pertanian ini tidak memperhatikan sejarah, budaya, siklus alam dan
jenis pertanian yang seharusnya tidak disamakan begitu saja antara satu tempat
dan tempat lainnya, sehingga kegagalan demi kegagalan mewarnai perjalanan
revolusi hijau. Sehingga para pakar, ilmuwan dan praktisi tertarik untuk
meneliti kekuatan sistem pertanian tradisional sebagai sarana alternative untuk
memperbaiki kerusakan yang ditimbukan pembangunan yang tidak memperhatian
kekhasan kondisi masing – masing daerah. Karena itulah tulisan ini ingin
melihat lebih jauh lagi tentang efektifitasnya pertanian tradisional terhadap
tujuan ekonomi jangka panjang.
Rumusan Masalah
Apakah
tujuan ekonomi jangka panjang dari sistem pertanian di Bali dapat dicapai jika
pelestarian alam melalui sistem Subak tidak
terjaga dengan baik?
Landasan Teori
Modernisasi
Modernisasi
menurut karena dari individulah tumbuh modernisasi. Sementara itu Schoorl[1]
(1980), menyatakan bahwa pengertian modern dan modernisasi mengandung kaitan
tertentu. Di dalamnya dapat dilihat suatu penghargaan yang positif, yaitu bahwa
modern, termasuk juga modernisasi adalah baik. Dube (1988)[2],
menyatakan bahwa modernisasi lebih banyak dihubungkan dengan kota, industri,
dan masyarakat terpelajar, seperti masyarakat Eropa dan Amerika Utara. Konsep
modernisasi yang dikemukakan oleh Dube didasarkan pada tiga asumsi, yaitu (i)
sumber kekuasaan yang mati harus selalu meningkat dibuka dengan maksud untuk
memecahkan permasalahan manusia dan secara minimum diterima untuk memastikan
standar hidup,yang semakin meningkat. (ii) Untuk mencapai tujuan ini dapat
dicapai dengan usaha individu dan kerjasama. Dimensi kerjasama dianggap penting
karena kemampuan hubungan untuk mengoperasikan organisasi yang kompleks. (iii)
Untuk menciptakan dan menjalankan organisasi yang kompleks perubahan
kepribadian yang radikal dan perubahan yang menyertainya dalam struktur sosial
dan nilai-nilai dianggap perlu.
Sustainable Development
Pembanguan
berkelanjutan adalah proses pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini
tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan (Brundland Report
dari PBB, 1987)[3].
Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan
adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan
pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Banyak laporan PBB, yang terakhir
adalah laporan dari KTT Dunia 2005, yang menjabarkan pembangunan berkelanjutan
sebagai terdiri dari tiga tiang utama (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang
saling bergantung. Skema pembangunan berkelanjutan:pada titik temu tiga pilar
tersebut, Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001)[4]
lebih jauh menggali konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa "...keragaman budaya penting bagi
manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati bagi alam". Dengan
demikian "pembangunan tidak hanya dipahami sebagai pembangunan ekonomi,
namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral,
dan spiritual". Dalam pandangan ini, keragaman budaya merupakan
kebijakan keempat dari lingkup kebijakan pembangunan berkelanjutan. Beberapa
riset memulai dari definisi ini untuk berargumen bahwa lingkungan merupakan
kombinasi dari alam dan budaya. Untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan
memerlukan integrasi dari ekonomi, lingkungan, komponen sosial dari semua level
yang difasilitasi oleh dialog dan tindakan kemitraan yang berfokus pada isu
pembangunan uang berkelanjutan.
Pembangunan Dalam Konteks Kearifan
Lokal
Kebudayaan tidak akan ada tanpa adanya manusia,
karenanya manusialah yang menjadi faktor penting dalam pembentukan kebudayaa.
Keseimbangan manusia dengan ekosistem disekitarnya merupakan cara terbaik untuk
dapat nertahan hidup. Manusia sebagai makhluk hidup memiliki kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan cenderung memiliki kearifan
tradisional atau lokal yang telah mengalami tempaan yang cukup lama agar mampu
hidup dan membuatnya menjadi sebuah lingkungan yang menguntungkan bagi
kehidupannya secara kontinyu. Kearifan lokal sering diidentikkan dengan local wisdom, atau yang lebih tepat local knowledge. Kearifan lokal idealnya
lebih sesuai disebut penemuan tradisi (invention
of tradition). Buku The Invention of Tradition yang dieditori oleh Eric
Hobsbawm dan Terence Ranger[5]
(1983) menggunakan istilah tersebut. Hobsbawm dalam buku tadi menguraikan
"invented tradition" sebagai seperangkat praktik, yang biasanya
ditentukan oleh aturan-aturan yang berterima secara jelas atau samar-samar
maupun suatu ritual atau sifat simbolik, yang ingin menanamkan nilai-nilai dan
norma-norma perilaku tertentu melalui pengulangan, yang secara otomatis
mengimplikasikan adanya kesinambungan dengan masa lalu. Dari definisi di atas,
kearifan lokal memiliki ciri bermatra tiga waktu (masa lalu, sekarang, dan
nanti), sehingga dimungkinkan ada upaya sambung-menyambung dan suturing kehidupan manusia dalam setting dan konteks yang berubah-ubah
sesuai zamannya.[6]
Tri Hita Karana
adalah salah satu nilai kearifan lokal Bali yang dikembangkan sejak lama, Kata tersebut
berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari Tri artinya tiga, Hita artinya
sejahtera dan Karana berarti penyebab
kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia dapat dimaknai sebagai tiga hubungan
yang harmonis yang menyebabkan kebahagian. Ketiga hubungan tersebut meliputi : Parahyangan yaitu hubungan yang harmonis
antara manusia dengan Tuhan, Pawongan yaitu
hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya, dan Palemahan yitu hubungan yang harmonis
antara manusia dengan lingkungannya.
Perkembangan Sistem Subak Di Bali
Antropologis
dan sejarawan telah lama berdebat tentang peran dari para pangeran dan para
penduduk desa dalam pembuatan dan pengaturan sistem irigasi di Bali (Hauser –
Schaublin 2003)[7].
Di tempat lain di Asia Tenggara, persebaran sistem irigasi sawah selalu
dihubungkan dengan perluasan kerajaan – kerajaan sebelum masa kolonial. Secara
khusus, sistem irigasi yang berkembang dalam tahap awal dibuat oleh orang –
orang desa tertentu, yang semakin lama dikonsolidasikan dan diperluas oleh
pemimpin – pemimpin mereka[8].
Karena topografi Bali yang berasal dari tanah vulkanik, distribusi pengairan
yang dibuat di Bali adalah sistem kanal, yang secara alamiah melintasi batas
wilayah masyarakat, yang membuat penangan sistem irigasi tersebut sangat tidak
mungkin jika hanya diatur oleh komunitas masyarakat[9].
Sehingga sistem irigasinya menjadi sangat luas bahkan keluar dari batas – batas
wilayah desa maupun kekuasaan kerajaan. Permasalahan inilah yang coba diselesaikan
melalui institusi baru pada saat itu yang disebut Subak. Institusi ini mulai muncul pada abad ke 11 M dalam catatan prasasti
kerajaan – kerajaan di Bali[10]. Subak adalah perkumpulan dari para
petani yang membagi air dari alam, yang berasal dari sumber air dan kanal
irigasi. Sistem irigasi kuno ini menyertakan berbagai kelompok Subak, yang semua anggotanya dapat mengambil
manfaat dari aliran air yang didapat melalui terowongan air maupun kanal untuk
mengairi persawahan mereka. Sebagai contoh, prasasti yang tertanggal 1072 yang
mengacu pada sebuah subak yang terdiri dari kawasan persawahan yang terletak di
27 desa kecil[11]
Namun
gunung berapi yang ada di Bali terkait dengan irigasi sehingga dapat diupamakan
sebagai sarang lebah yang sistemnya terkait dengan kanal maupun terowongan air.
Namun penyebaran irigasi di Bali tidak tercatat karena kerajaan – kerajaan di
Bali tidak pernah memasuki fase kekaisaran, dan berhenti mengeluarkan catatan –
catatan prasasti secara bersamaan pada abad ke 14. Pada 500 tahun kemudian,
datang Sir Thomas Stamford Raffless yang dalam catatannya mengatakan
keterkejutannya bahwa Raja – Raja Bali hanya menjadi salah satu kelompok tuan
tanah diantara tuan – tuan tanah lainnya. Pemegang kedaulatan, yang saat itu
Raffles mendarat di Pelabuhan Buleleng, melihat bahwa Raja Buleleng bukan
penguasa tanah yang universal, malah sebaliknya, kepemilikan tanah beragam dan
menjadi aset pribadi para tuan tanah, yang dengan cara papun entah dibudayakan
atau dibagi dalam pengelolaannya. (Raffles: 1817). Sistem irigasi di Bali pada
tahap awal kemungkinan adalah sistem kanal yang sederhana yang menghubungkan
ait dari sumber mata air kepada lembah – lembah yang berdekatan, dan sistem ini
masih berfungsi sampai sekarang.
Penelitian
yang dilakukan pada tahun Lansing dkk pada tahun 1997 di salah satu tempat di
Bali dikemukakan dalam tulisannya yang mengambil objek penelitian pada sistem
irigasi di Gunung Kawi, yang berdekatan dengan salah satu sungai utama di Bali,
yaitu Petanu. Pura Gunung Kawi dilewati oleh dua sumber mata air yang terletak
di sumber air yang cukup dangkal di sebelah selatan desa Sebatu. Dekat dengan
sumber teratas mata air ada pancuran yang mana airnya digunakan sebagai
kegiatan pembersihan upacara – upaca suci. Dibawahnya terdapat air yang
mengalir ke kolam untuk permandian, dan setelah itu mengalir ke arah kolam
ikan. Mata air yang memasuki rute tembusan air dan muncul beberapa ratus meter
kearah hilir yang mengairi 0.89 hektar sawah bertingkat. Dari sana air yang
tidak terpakai masuk ke dalam kanal yang alirannya berlanjut 4 kilometer
sebelom muncul dari puncak bukit bertingkat yang digunakan untuk mengairi 31
hektar persawahan padi dekat desa Delod Blungbang. Sistem irigasi yang
menggunakan kanal ini mencakup lima tembusan, yang terpanjang mencapai 1.5
kilometer. Lansing dkk memperkirakan sebelum sistem irigasi di Bali dimulai,
para petani mungkin menjadikan area tersebut sebagi lahan yang ideal untuk
menanam tanaman – tanaman pangan seperti kelapa, talas, pisang, dan mungkin
juga padi. Selanjutnya dengan kemunculan teknologi irigasi, tempat tersebut
menjadi lebih produktif dan prospektif. Air dari mata air dengan mudah dapat
dialirkan melalui tembusan ke aliran di bawahnya. Menggali kanal yang pendek
dibutuhkan daripada harus menggali terowongan yang melewati batu vulkanik, dan
hal inilah yang pertama kali dikembangkan oleh para petani pada masa awal
pembuatan sistem irigasi. Pada aliran kanal, dibuatkan pura atau tempat suci
yang mana air mulai mengalir dari tempat ini.
Secara
umum, setiap Subak secara bersama –
sama mengatur sistem irigasinya dan pengairan yang sumbernya didapat dari common property. Sehingga tiap bulan
pertemuan diadakan untuk membuat rencana, mengatur kerja tim, dan mengenakan
denda pada anggota yang tidak memenuhi kewajibannya, seperti penutupan alira
irigasi ke areal pertanian warga yang melanggar. Subak berlokasi di dekat pura Subak
terdekat. Tiap Subak memilih pimpinan yang akn mewakili rapat bulanan yang akan
menilai isu – isu terkait pengaturan irigasi, permasalahan termasuk
penanggulangan hama. Dan keefektifan lembaga ini ditunjukkan dengan pembagian
yang adil air irigasi, baik itu pada persawahan yang letaknya lebih diatas
maupun areal persawahan yang letaknya di desa yang lebih rendah lokasinya. Hak
untuk mendapat air irigasi perdasarkan pembagian yang proporsional dengan
pembagian aliran air (tektek).
Padi
adalah varietas tanaman yang sangat rentan terhadap hama, baik itu tikus,
serangga, bakteri maupun kuman atau virus. Namun populasi hama dapat ditekan
dengan sistem pertanian tradisional ini dengan cara mensikronkan jarak waktu
tanam dengan mengosongkan lahan yang letaknya bersebelahan pada sawah – sawah
bertingkat. Setelah panen, sawah banjiri dengan genangan air, untuk
menghilangkan hama dan menekan jumlah populasinya. Hal yang menjadi penting
dalam pengurangan jumlah hama adalah motivasi yang kuat dari kerjasama diantara
para petani untuk bersama – sama dengan petani dari sawah tetangga untuk
mensinkronkan waktu tanam. Hal ini bisa menjadi negosiasi bagi para petani yang
ada yang lokasinya lebih rendah untuk mendapatkan pergantian aliran air, saat
petani yang lokasinya berada di lokasi yang bagian atas sedang mengosongkan
lahannya. Karena jika petani yang area persawahannya lebih rendah tidak
mendapatkan air yang cukup untuk mensinkronisasi masa tanamnya, maka itu
berarti tidak akan ada waktu kosong untuk jeda masa tanam, dan ini kemungkinan
bahwa areal pertanian di lokasi yang lebih tinggi akan mudah terkena hama. Hal
inilah yang bisa menjadi salah satu cara bahwa hama dapat dikurangi hingga
hampir 100 persen. (Lansing and Miller: 2005). Hirarki yang disusun dalam
penempatan tempat suci berdasarkan sistem Subak
ini adalah ada tempat suci kecil pada sawah masing – masing pemilik, Pura
Bedugul yang dibangun pada bendungan airsungai atau persimpangan terowongan
air, dan Pura Ulun Suwi atau Ulun Carik pada tiap – tiap Subak Pura Subak adalah
sebuah pura di desa yang yang dipuja oleh beberapa kelompok Subak yang bersama – sama mengadakan
upacara agama pada waktu – waktu tertentu.
Penerapan Konsep Tri Hita Karana
Dalam Sistem Subak
Kearifan lokal dengan sendirinya
ditujukan untuk menjadi jawaban lokal bagi gerakan-gerakan global yang
cenderung dominatif dan hegemonik. Sehingga gerakan lokalisasi melalui
pemberdayaan kearifan lokal benar-benar mampu menandingi kekuatan sentripetal
yang dibawa oleh fenomena globalisasi. Tanpa itu, manusia dan kebudayaannya akan
menjadi bulan-bulanan globalisasi. Konsep Tri Hita Karana mengedepankan prinsip – prinsip kebersamaan, keselarasan,
keseimbangan antara tujuan ekonomi, pelestarian lingkungan dan budaya serta
estetika dan spiritual. Pelaksanaan Tri Hita Karana secara mantap, kreatif dan
dinamis akan mewujudkan kehidupan harmonis yang meliputi pembangunan manusia
seutuhnya yang tidak hanya mementingkan
nilai – nilai duniawi namun juga menyeimbangkannya dengan nilai – nilai
religius dimana terjadi keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, cinta
kepada kelestarian lingkungan serta rukun dan damai dengan sesamanya. Filosopi
yang mendasari pelaksanaan kegiatan Subak
dilandasi oleh prinsip Tri Hita Karana yang menekankan prinsip bahwa
kebahagiaan hanya dapat dicapai jika hubungan para petani dengan Tuhan, sesama
petani, masyarakat sekitarnya, serta alam semesta (salah satunya adalah areal
persawahan) terjaga dengan seimbang. Selanjutnya elemen – elemen sistem Subak yang berkitan dengan konsep Tri Hita Karana dilihat dari
beberapa hal yang menjadi kegiatan rutin para petani dalam melaksanakan
keseimbangan hubungannya dengan elemen yang terkandung dalam Tri Hita Karana
yaitu: konsep Tri Hita Karana yang pertama yaitu Parhyangan dengan melakukan upacara – upacara tertentu untuk
menunjukkan rasa terima kasih kepada Tuhan dengan pelaksanaan kegiatan ritual
yang dinamakan tumpek wariga[12] (upacara
perlindungan terhadap pepohonan), hari Betari Sri (upacara menghormati Dewi
Padi), upacara Dewi Danu (upacara untuk menghormati Dewi Air sebagai nafas
utama pelaksanaan sistem Subak) termasuk ngaben tikus[13]
dan upacara- upacara penghormatan terhadap alam lainnya.
Konsep
Pawongan dalam sistem pertanian
tradisional ini melibatkan kerjasama sesama petani dengan pembentukan
organisasi yang mengatur pembagian air irigasi secara merata dan adil pada
setiap lahan persawahan. Kawasan ini merupakan tempat petani melakukan proses
sosialisasi. Masing-masing kawasan ini memiliki tata cara pengaturan hak dan
kewajiban anggotanya sehingga memberi masyarakat petani dimensi kehidupan yang
lengkap dan harmonis, yaitu selaras, serasi dan seimbang. Awig-awig[14]
subak dibuat dan diputuskan secara musyawarah dan demokratis. Perbedaan
pendapat diantara anggota Subak dalam pengambilan suatu keputusan dapat
diselesaikan dengan baik secara demokratis dan dijiwai dengan rasa tanggung
jawab religius dengan pelaksanaan kewajiban yang disepakati serta sanksi yang
ditetapkan secara jelas jika melanggarnya. Kegiatan yang melibatkan hubungan
sosial yang erat antarsesama kelompok masyarakat juga terpelihara dengan baik yaitu
pelibatan masyarakat dari awal kegiatan penanaman padi terdapat kelompok
masyarakat yang tergabung dalam sekaa[15].
Hal itu ditunjukkan dengan adanya sekaa
makal (menggemburkan tanah), sekaa
melasah (meratakan tanah yang sudah gembur), sekaa munduk (membuat
pematang). Memelihara padi memunculkan sekaa yang unik pula, yakni sekaa ngabut bulih (mencabut benih), sekaa nandur (menanam), sekaa mabulung (membersihkan rumput di
sela padi). Setelah panen muncul istilah
sekaa manyi (memanen), sekaa makajang (mengangkut padi dari
sawah).
Konsep
palemahan dalam sistem Subak ditunjukkan dengan memelihara
secara baik segala hal yang berhubungan menjadi sumber kelangsungan sistem
pertanian tersebut. Dalam menjaga seluruh konsep Tri Hita Karana dapat
berjalan, maka menjaga kelestarian aloam sangatlah penting. Air menjadi nafas kehidupan bagi organisasi pengairan ini.
Maka menjaga air agar tetap dapat mengalir ke sawah – sawah warga masyarakat
sangatlah penting untuk kelangsungan kegiatan pertanian hingga mencapai waktu
panen. Air tidak akan begitu saja mengalir tanpa menjaga sumber dari aliran air
itu tetap terpelihara dengan baik. Maka sangat penting untuk menjaga daerah
resapan dan aliran sungai agar pasokan air yang dibutuhkan tetap tersedia. Kawasan persawahan
menjadi tempat kegiatan produksi petani membuat kawasan ini sangat ketat dijaga
kesuciannya, sehingga setiap petak sawah/pemilikan selalu memiliki bedugul/tempat
suci. Bagi petani di Bali, sawah merupakan karunia Tuhan yang diwariskan dari
leluhurnya sehingga sawah memiliki nilai religius dan tempat bermukim dan
bermain Betara Sri (lambang Tuhan sebagai penguasa padi).[16]
Pada masa lalu jual beli sawah waris pantang dilakukan, karena pada sawah
melekat simbol – simbol Ketuhanan.
Subak Sebagai Salah Satu Sarana
Penting Dalam Pertanian Berkelanjutan
Pertanian
berfungsi untuk memproduksi pangan untuk menjaga ketahanan pangan. Sangat
disadari, bahwa selama manusia membutuhkan pangan selama itu pula pertanian
tetap penting. Pertanian yang
berkelanjutan diartikan secara sederhana
diartikan sebagai upaya memperpanjang, memeliara, meningkatkan dan meneruskan
kemampuan produktif dari sumber daya pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Meskipun subak adalah sistemi irigasi yang khas Bali (upacara ritual keagamaan
yang senantiasa menyertai setiap aktivitaasnya), namun ia memiliki nilai-nilai
leluhur yang bersifat universal dan sangat relevan dengan konsep pembangunan
berkelanjutan dengan landasan falsafah Tri Hita. Tri Hita Karana secara implisit mengandung pesan agar kita sebagai mengelola
sumberdaya air dan tanah tetap secara arif menjaga kelestariannya. Subak sebagai
lembaga irigasi yang bercorak sosio religius dan berlandaskan Tri Hita Karana yang
berfungsi sebagai organisasi pengelolaan air irigasi memproduksi tanaman pangan
(padi dan palawija). Harmoni dalam nilai – nilai Tri Hita Karana tadi menghasilkan
kedisiplinan seluruh anggota Subak di tingkat provinsi hingga pedesaan dalam
melestarikan sumber daya air di satu daerah aliran sungai.
DAS
dari hulu ke hilir dikelompokkan menjadi:
- DAS hulu, sebagai zona tangkapan air, maka hutan-hutan dijaga agar kemampuan menampung air hujan besar.
- DAS tengah, sebagai zona konservasi air dan zona penggunaan air, yang diwujudkan dalam bentuk sistem usahatani konservasi atau wanatani (agroforestry).
- DAS hilir, sebagai zona penggunaan air, di mana sawah irigasi dominan.
·
Subak lokal di DAS hilir mengurus dan
memperhatikan pembagian air irigasi dan pengendalian cara penggunaan air oleh
anggotanya dengan berpedoman kepada awig-awig (peraturan tertulis dan sanksi
atas pelanggaran).
Sistem
Subak yang dalam pengelolaan sumber daya, distribusi, dan penggunaan air
irigasi berwawasan kesejahteraan secara paripurna, yaitu kesejahteraan
masyarakat dalam kawasan DAS. Maka dalam proses pengambilan keputusan
seyogianya mempertimbangkan segi politis, ekonomi, sosial, dan budaya (religi).
Multifungsi ekosistem untuk mencapai pembangunan pertanian yang berkelanjutan (sustainable agricultural development). Subak
memenuhi kaidah sebagai sistem irigasi sesuai dengan “Standar Perencanaan
Irigasi” karena berdasarkan fakta di lapangan subak dengan jaringan irigasinya
telah memiliki ke-empat fungsi pokok seperti yang disyaratkan yaitu :
- Bangunan utama disebut empelan (bendungan) atau buka (intake)
- Saluran air disebut telabah (bila berupa saluran terbuka) atau aungan (bila berupa saluran tertutup).
- Hamparan petak-petak yang merupakan bagian dari subak yang disebut Tempek atau Munduk dilengkapi pula dengan bangunan dan saluran untuk membagi-bagikan air ke seluruh areal dengan saluran pembuangan yang disebut Kekalen
- Sistem pembuangan kolektif yang disebut pengutangan juga dimilki subak, yang umumnya berupa saluran alam (pangkung atau sungai yang letaknyapaling bawah dan sangat dalam)
- Sistem yg ada pada Subak di Bali, jaringannya hampir sama dengan jaringan teknis tetapi bangunan dan pengelolaannya berbeda.
- Bendung pada subak disebut empelan
- Pemasukan air (intake) = bungas
- Saluran primer = telabah gede
- Bangunan pembagian air sekunder = tembuku
- Saluran sekunder = Telabah
- Bangunan pembagian air tersier = tembuku pemaron
- Saluran tersier = telabah pemaron
- Bangunan pembagian air kuarter = tembuku cerik
- Saluran kuarter = telabah cerik
Dengan
demikian kiranya dapat juga disebutkan bahwa sistem irigasi subak pada dasarnya
adalah suatu lembaga adat yang berfungsi untuk mengelola air irigasi untuk
kepentingan kesejahteraan masyarakat (petani). Selanjutnya agama Hindu yang
berkembang pada saat itu di Bali yang memiliki konsep Tri Hita Karana, yang
dianut oleh para raja dahulu danmasyarakat pengikutnya, dijadikan juga sebagai
asas dan diterapkan pada sistem subak dalam melakukan kegiatannya untuk
mengelola air irigasi di lahan sawah. Perkembangan/perubahan yang tampak
terjadi pada sistem irigasi subak disebutkan oleh Pusposutardjo (1996) sebagai
suatu proses transformasi sistem irigasi dengan lingkungannya. Kemudian dalam
perannya sebagai pengelola pertanian beririgasi, maka seperti yang dikemukakan
Pusposutardjo (1997), ternyata komponen manusia dalam sistem subak sangat
dominan dalam sistem pengelolaan irigasi, yakni dalam aktifitasnya untuk
mengendalikan pasokan air yang dinamis pada sistem pertanian. Adapun hal yang
penting dan mendasar dalam kajian ini adalah berkait dengan peranan subak
sebagai institusi adat pendayaguna air, yang diharapkan mampu memecahkan
masalah yang muncul secara integratif melalui pendekatan sosio kultural di
tengah-tengah arus perkembangan teknologi dan perubahan sikap hidup manusia.
Sebagai
konsekuensi dari kemungkinan adanya peran ganda subak yaitu sebagai lembaga
pengelola irigasi sekaligus pengelola unit usaha ekonomi dan bisnis di tingkat
usahatani sesuai dengan jiwa INPRES RI No. 3/1999, maka subak tersebut harus
mampu menempatkan unit ekonomi dan bisnis pada kedudukan yang tegas dan jelas
dalam struktur organisasi subak (Budiasa, 2005). Artinya, subak yang
bersangkutan bersedia melakukan restrukturisasi kelembagaan termasuk melakukan
penyempurnaan AD/ART (awig-awig) yang
dapat memenuhi tuntutan efisiensi dan profesionalisme kerja dalam melaksanakan
peran ganda. Konsep restrukturisasi organisasi pada tingkat subak dapat
diketengahkan dalam pelaksanaan Koperasi Tani akan menjadi salah satu sumber
dana subak terkait dengan tanggung jawab pembiayaan operasi dan pemeliharaan
institusi subak. Selain itu Koperasi Tani akan menjadi wahana peningkatan
kesejahteraan ekonomi anggota.
Subak dan Sistem Pertanian Di Era
Modernisasi Serta Tantangan Yang Dihadapi
Pertanian
berperan penting dalam perekonomian dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama
dalam sumbangannnya terhadap PDB , penyedia lapangan pekerjaan dan penyediaaan
bahan pangan. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar masyarakat masih
memelihara kegiatan pertanian meskipun sebuah negara telah menjadi negara
industri. Masalah pengendalian lahan pertanian merupakan satu kebijakan
nasional yang strategis untuk memelihara industri pertanian primer dalam
kapasitas penyediaan pangan, dalam kaitannya untuk mencegah kerugian sosial
ekonomi dalam jangka panjang mengingat sifat multi fungsi lahan pertanian.
Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian dapat mengurangi
jumlah lahan pertanian terutama lahan sawah telah berlangsung sejak tahun
90-an. Namun pengendalian alih fungsi lahan sampai saat ini belum berhasil
diwujudkan walaupun berbagai kebijakan yang berkaitan dengan masalah
pengendalian konversi lahan sawah sudah dibuat. Sebagai contoh peraturan
perundangan
Peraturan / Perundangan
|
Garis besar isi, yang terkait
dengan alih guna lahan pertanian
|
Kepres no.53 tahun 1989
|
Pembangunan kawasan industri, tidak
boleh konversi sawah irigasi teknis (SIT) atau tanah pertanian subur
|
Kepres no. 33 tahun 1990
|
Pelarangan pemberian ijin perubahan
fungsi lahan basah dan pengairan beririgasi bagi pembangunan kawasan industri
|
SE MNA / KBPN 410 – 2261 tahun 1994
|
Ijin lokasi tidak boleh mengkonversi
sawah irigasi teknis (SIT)
|
SE MNA / KBAPPENAS 5524 / MK/ 9/ tahun
1994
|
Pelarangan konversi lahan sawah
irigasi teknisuntuk non pertanian
|
SE MNA / KBPN 5417/ MK/ 10 tahun 1994
|
Efisiensi pemanfaatan lahan bagi pembangunan perumahan
|
SE MENDAGRI 474/ 4263/ SJ tahun 1994
|
Mempertahankah sawah irigasi teknia
untuk mendukung swasembada pangan
|
SE/ KBPN460 - 1594 tahun 1994
|
Mencvegah konversi tanah sawah dan
irigasi teknis menjadi tanah kering
|
Namun pengimplementasian peraturan
dan perundangan diatas tidak didukung dengan data dan sikap proaktif yang
memadai dengan kendala besar yang menjadi alasan peraturan pengendalian
konversi lahan sulit dilaksanakan yaitu: kebijakan yang kontradiktif dengan
cakupan yang terbatas dan kendala konsistensi perencanaan (Nasoetion, 2003)
Kebijakan kontradiktif terjadi karena disatu pihak pemerintah berupaya melarang
alih fungsi lahan disisi lain kebijakan pertumbuhan manufaktur atau industri
dan sektor pertanian justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian.
Selain itu peraturan tersebut tidak dikenakan kepada perusahaan – perusahaan
atau badan hukum yang menggunakan tanah dan/ atau akan merubah tanah pertanian
ke non pertanian yang dilakukan secara individual, padalah justru perubahan
yang dilakukan secara individuallah yang terjadi cukup luas. Kelemahan lainnya
dalam peraturan perundangan adalah peraturan yang dibuat cenderung berupa
himbauan namun tidak dilengkapi sanksi yang :tegas (Simatupang dan Irawan:
2002). Petani sebagai pemilik lahan dan pemain dalam kelembagaan lokal belum
dilibatkan secara aktif dalam berbagai upaya pengendalian alih fungsi lahan
serta belum terbangunnya komitmen, perbaikan sistem koordinasi serta
pengembangan kompetensi lembaga – lembaga formaldalam menangani alih fungsi
lahan pertanian. Di sisi sektor internal pertanian, berbagi karakteristik dari
usaha tani belum sepenuhnya mendukung kea rah pelaksanaan pelestarian lahan
pertanian yang ada. Sempitnya rata – rata luas lahan yang diusahakan petani
karena proses fragmentasi yang disebabkan oleh sistem waris pecah bagi serta
hasil kegiatan pertanian dengan biaya yang terus meningkat tidak sesuai dengan
biaya pemenuhan kebutuhan sehari – hari, ditambah lagi dengan penerapan teknologi
baru yang dikatakan peningkatan produktivitas. Yang terjadi kemudian justru
bukan modernisasi melainkan penjualan lahan pertanian untuk penggunaan lainnya
(alih fungsi lahan pertanian). Hal lain yang memperparah adalah desentralisasi
yang menyebabkan daerah berlomba – lomba untuk meningkatkan pertumbuhan untuk
mendapatkan penghasilan yang lebih besar dengan cara penggunaan lahan pertanian
untuk pengembangan sarana dan prasarana fisik dengan penawaran nilai ekonomis
yang lebih baik.
Hal
itu begitu jelas tercermin dalam kondisi lingkungan dan sosial masyarakat Bali
utamanya pada lingkungan perkotaan serta daerah – daerah strategis pengembangan
pariwisata saja. Di Bali telah terjadi alih fungsi lahan sawah ke non pertanian
dari 85.776 ha pada tahun 2000 menjadi 81.144 ha pada tahun 2007 dengan
rata-rata luas alih fungsi lahan lebih dari 660 ha per tahun (Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Provinsi Bali, 2008). Terlebih-lebih adanya fragmentasi lahan
akibat sistem pembagian waris menyebabkan rata-rata skala usahatani mereka
semakin kecil. Studi diagnosis penguasaan lahan sawah di Kota Denpasar (Sedana
dkk. 2003) menunjukkan bahwa selama satu dasawarsa (1993 – 2003) telah terjadi
penyusutan luas lahan sawah produktif sebanyak 49,71 persen, dari 5.753 ha pada
tahun 1993 menjadi 2.888,8 ha pada akhir tahun 2002. Penyebab utama terjadinya
pengurangan luas lahan sawah produktif tersebut adalah adanya land consolidation (LC) untuk pengadaan
infrastruktur dan sarana pelayanan umum (public services), pengembangan
pemukiman, serta perubahan lahan menjadi “lahan tidur” (lahan tidak produktif)
akibat keterbatasan sumberdaya air atau terganggunya sarana dan prasarana
jaringan irigasi sebagai penyedia air irigasi dan/atau terbatasnya sumberdaya
manusia yang mau menjadi petani. Demikian pula, pada periode yang sama telah
terjadi pengurangan jumlah subak dari 45 subak (berdasarkan Keputusan Wali
Kotamadya No. 658 Tahun 1993) menjadi 41 subak.
Ketika
industrialisasi masuk ke Bali dan orang mulai dipompa untuk hidup dikejar-kejar
oleh waktu, landasan budaya dalam pelaksanaan sistem pertanian tradisional
seolah terpinggirkan. Kegiatan Revolusi Hijau yang dipromosikan secara terus
menerus pada tahun 1970 hingga tahun 1980 membuat masyarakat Bali tergiur
dengan keuntungan yang didapat dari menanam benih padi yang dapat dipanen dalam
waktu yang pendek serta semua hal dikerjakan serba terburu-buru. Sehingga sistem
menanam padi secara tradisional yang baru dapat dipanen setelah lima atau enam
bulan mulai ditinggalkan karena waktu yang relatif panjang menghambat produksi
pangan. Sistem pertanian modern dianggap lebih efisien karena tanah tak perlu
terlalu digemburkan karena pemberian banyak pupuk dipercaya dapat meningkatkan
kualitas kesuburan tanaman. Ditambah lagi penyuluhan tentang mudahnya
penggunaan bahan – bahan kimia (pupuk kimia dan pestisida) membuat penggunaan
pupuk kompos tradisional (pembuatannya membutuhkan waktu lama) mulai
ditinggalkan. Kebiasaan petani untuk bergotong royong membajak sawah juga mulai
hilang. Karena penggunaan pupuk kimia membuat rumput-rumput liar juga
berkurang, sehingga pekerjaan sebagian orang Bali sebagai sekaa mabulung (menyiangi rumput) menjadi lenyap. Kaum ibu tak bisa
lagi memanen padinya dengan ani-ani karena peran mereka digantikan para lelaki
dengan sistem yang lebih efisisen yaitu menebas padi itu langsung dari
batangnya dan langsung dirontokkan di tengah sawah dengan ritme penuh ketergesa-gesaan.
Semua hal yang terbangun dari sistem pertanian
modern tidak memiliki efektivitas jangka panjang karena penggunaan pupuk kimia
hanya membuat hasil pertanian yang tercemar dan menjadi berbahaya. Efek samping
lainnya yaitu pengurangan fungsi tanah pertanian, karena tanah yang ditanami
terus menerus tanpa ada jeda waktu penanaman dapat mengikis kesuburan tanah
sehingga tidak dapat ditanami lagi. Air sawah yang terkontaminasi pestisida
membunuh hewan – hewan air yang hidup di sawah seperti belut, ikan dll. Jika
saja hewan - hewan tersebut termakan manusia maka akan sangat berbahaya bagi
kesehatan.
Pada
sistem pertanian tradisional diterapkan pola sangat efektif bagi keberlangsungan
pertanian jangka panjang yang tidak merusak lingkungan. Penerapan beberapa
sistem diantaranya pelaksanaan istirahat tanah, yaitu tidak melakukan penanaman
beberapa waktu setelah masa panen selain istirahat tanah juga dapat menghindari
penyebaran hama pada sawah yang berdekatan. Selain itu pembanjiran lahan
pertanian setelah musim panen selama beberapa waktu sangat efektif membunuh
sisa – sisa hama. Hal ini memang menghambat jumlah produksi beras yang besar
namun hal – hal teknis alami ini jauh lebih ampuh untuk proses pertanian yang
jangka panjang serta ramah terhadap kesehatan. Hal positif lainnya adalah
sistem sosial masyarakat juga tetap terpelihara karena rutinnya dialog – dialog
pemecahan konflik pembagian air serta kerjasama masyarakat dalam memberantas
hama.
Musnahnya
sistem pertanian di beberapa daerah di Bali (Badung dan Denpasar) menyebabkan
berkurangnya jumlah beberapa subak. Tanpa adanya areal persawahan, maka sistem
Subak tidak akan bisa dijalankan. Musnahnya sistem Subak dapat disebabkan oleh
hilangnya satu atau lebih unsur sebagai penciri Tri Hita Karana. Unsur-unsur
yang dimaksud adalah hilangnya sistem fisik (lahan sawah, tata tanam, sarana
dan prasarana jaringan irigasi) juga hilangnya sistem sosial akibat lahan
sawah, status petani bahkan kepemilikan lahan berubah. Dalam hal terjadinya
alih fungsi lahan sawah pada sistem subak maupun karena sawah bukan lagi
dimiliki dan dikerjakan oleh umat Hindu sudah tentu akan berpengaruh besar
terhadap eksistensi pura-pura subak serta penyelenggaraan sistem religius di
dalamnya. Besar-kecilnya pengaruh tersebut tergantung pada seberapa banyak
lahan yang telah beralih fungsi. Berdasarkan uraian di atas, nampaknya
keberlanjutan pertanian dan ketahanan pangan di Bali sangat tergantung pada
keberadaan dan peran subak.
Saat
ini pertanian tidak lagi menjadi mata pencaharian utama masyarakat Bali, hal
ini disebabkan oleh peraturan pemerintah yang melonggarkan masuknya beras impor
yang lebih mura. Subsidi yang rendah terhadap pupuk, bibit, serta peralatan
pertanian lainnya. membuat pendapatan petani terkadang tidak sesuai dengan
pengeluaran mereka disamping bencana gagal panen karena hama maupun cuaca. Kerugian
yang berkepanjangan membuat para petani mulai berpaling dari kegiatan bertani. Pariwisata
Bali yang mulai booming pada tahun
1990-an membawa perubahan yang drastis terhadap kehidupan masyarakat Bali. Apalagi
usaha untuk mengembangkan sarana pariwisata didukung oleh pemerintah serta
masyarakat Bali sendiri karena jauh lebih menguntungkan dari segi pendapatan.
Hal ini terlihat di daerah Nusa Dua yang perubahan daerah gersang berubah
menjadi kawasan bisnis dan hotel – hotel mewah untuk wisatawan kelas atas. Begitu
juga daerah Kuta, Benoa, Pecatu yang tidak kalah gemerlapnya menyediakan segala
fasilitas modern dan kenyamanan bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali. Kemajuan
dalam bidang pariwisata ini ternyata mengorbankan kelestarian alam dengan
merusak ekosistem pantai dan sawah, jalur hijau dan daerah resapan air. Hal ini
disebabkan lahan tersebut telah berubah fungsi menjadi hotel dan villa – villa
mewah yang kebanyakan milik dari investor asing. Ditambah lagi limbah – limbah
yang cukup besar yang datang dari hotel, restaurant yang tidak dikelola dengan
baik serta penggunaan air tanah yang berlebihan.
Mobilisasi
yang semakin mudah menyebabkan Bali sebagai salah satu daerah tujuan untuk
membuka usaha maupun bekerja. Hal inilah yang memperparah alih fungsi lahan
karena pembangunan fisik terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dalam membuka bisnis/usaha maupun pemukiman. Di Kota Denpasar dan Badung pada
awal tahun 1990-an penulis mengalami dan melihat langsung masih bisa dijumpai
hamparan sawah yang terbentang luas, dan hanya dalam waktu kurang dari sepuluh
tahun, areal persawahan tersebut sebagian besar lenyap dan digantikan oleh
ruko, hotel, garmen, perumahan mewah, restaurant, bahkan lingkungan kumuh.
Semakin tinggi prospek pengembangan pariwisata di Bali berpengaruh pada harga
tanah yang terus meningkat. Hal inilah menyebabkan masyarakat Bali makin gencar
melakukan penjualan tanah untuk digunakan untuk memenuhi kehidupan yang hedonis
dengan mengabaikan nilai – nilai Tri Hita
Karana.
Hal
ini tentu berdampak tragis pada pada sistem tata ruang tradisional yang sangat dahulunya
mengedepankan keseimbangan melalui konsep Tri
Hita Karana. Uang telah menggantikan segala – galanya. Kearifan lokal,
hubungan sosial maupun kelestarian lingkungan telah tergadaikan oleh godaan
mencari pendapatan besar dalam waktu singkat. Sistem Subak di kota Denpasar mulai hilang ditelan oleh gemerlap kehidupan
modern dan majunya pariwisata, karena pelaksanaan kegiatan Subak tidak bisa dilakukan jika tidak tersedia lahan pertanian. Ketidakpedulian
masyarakat terhadap pengelolaan air dan tanah yang serakah tidak saja
berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan yang parah (banjir dan kekeringan)
serta menurunnya interaksi sosial dalam
masyarakat. Forum – forum diskusi masyarakat sebagai ajang tukar pikiran
mengenai penguatan hubungan dan penyelesaian masalah sosial termasuk konflik
masyarakat di perkotaan mulai ditinggalkan. Hal yang lebih menggelikan, saat
ini pura – pura Subak di kota
Denpasar tidak lagi dipuja oleh para petani namun justru dipuja oleh para penghuni
perumahan, karena lahan – lahan pertanian mulai lenyap di daerah perkotaan yang
padat dengan perumahan.
Kejadian
bom Bali pada tahun 2002 menyadarkan masyarakat Bali bahwa kemakmuran yang
disebabkan oleh pariwisata dapat hilang sewaktu – waktu bahkan habis sama
sekali, karena peristiwa tersebut menyebabkan para wisatawan banyak yang
menghentikan kunjungannya ke Bali selama beberapa waktu. Hal ini membuat banyak
masyarakat Bali yang dahulunya makmur saat bergantung pada sektor pariwisata
mendadak jatuh miskin, baik itu karena PHK dan lesunya bisnissouvenir,
restaurant maupun hotel. Ditambah lagi krisis ekonomi yang berkepanjangan
membuat dunia pariwisata sewaktu – waktu menjadi sangat labih dan rentan
terhadap kejatuhan. Tampaknya hal ini mulai membuat masyarakat Bali memikirkan
kembali bahwa sebenarnya sektor agraris tidak hanya dijadikan sebagai sektor
pinggiran kegiatan perekonomian. Nilai – nilai mapan yang terkandung di
dalamnya yang terjaga selama ribuan tahun memberi ketahanan yang baik bagi
kelangsungan perekonomian, hubungan sosial, pelestarian budaya dan lingkungan.
Sumber daya manusia tidak akan bisa maju jika tidak didukung oleh kondisi alam
yang memadai, seperti rendahnya polusi serta ketahanan wilayah terhadap
bencana.
Belakangan
ini penggalakan sistem Subak mulai
digencarkan dalam forum – forum sosial, para akademisi mulai menyadarkan
generasi muda tentang pentingnya pembangunan yang berkelanjutan dengan konsep
sistem Subak tanpa mengabaikan dampak
positif sistem modern. Pendidikan sekolah tidak hanya diisi dengan mempelajari
ilmu – ilmu bahasa alam maupun sosial, tetapi juga dilengkapi dengan pelajaran
seni dan budaya untuk memperkenalkan konsep – konsep tradisional sebagai upaya
membuat generasi muda mengetahui, mencintai dan ikut melestarikannya termasuk
sistem Subak. Mendorong minat para generasi muda untuk tebih tertarik mendalami
sistem pertanian Bali tradisional dalam keilmuan modern menjadi hal yang sangat
penting untuk diwujudkan. Lalu bagaimana tentang nasib Subak kedepannya, hanya bisa dijawab dengan perilaku masyarakat
Bali, jika masyarakat Bali benar –peduli terhadap sistem pembangunan yang
berkelanjutan melalui penyandaran diri pada nilai – nilai budaya dan tindakan
yang menghargai kearifan lokal pelestarian sistem subak dan pelaksanaan
pertanian yang berkelanjutan masih bisa diselamatkan.Namun satu hal yang penting
adalah hal ini tidak hanya sekedar menjadi wacana atau mungkin dalam tataran
promosi karena pelestarian sistem Subak harus segera dilakukan dengan tindakan
nyata salah satunya adalah pengaturan pembangunan yang tidak melanggar jalur
hijau. Peraturan pemerintah daerah Bali telah tentang tata wilayah tahun 2009 menetapkan
dalam pasal 1 agar seluruh pemerintah di kabupaten dan kotamadya melandasi
pembanguananya berdasar prinsip Tri Hita Karana engan tidak merusak kawasan
suci (pura), kawasan lindung dan resapan air dengan strategi pemulihan dan penanggulangan kerusakan lingkungan
hidup dengan mengembalikan dan meningkatkan fungsi lingkungan hidup yang telah
menurun.
Peraturan penting lainnya adalah pencegahan dan pelarangan alih fungsi lahan
budidaya pertanian menjadi lahan non pertanian, kecuali untuk pembangunan
sistem jaringan prasarana penunjang kawasan pertanian, jaringan jalan, jaringan
energi listrik, jaringan telekomunikasi dan jaringan air minum. Arahan peraturan zonasi kawasan budidaya tanaman pangan Pasal 116 ayat (2)
mencakup: pengamanan kawasan pertanian lahan basah produktif berbasis subak,
sebagai kawasan pertanian lahan basah berkelanjutan, mempertahankan
dan memelihara jaringan irigasi kawasan pertanian tanaman pangan produktif yang
telah diarahkan menjadi kawasan terbangun, sampai dengan pemanfaatan sebagai kawasan
terbangun mulai dilakukan, pencegahan dan pembatasan alih fungsi lahan sawah beririgasi untuk
kegiatan budidaya lainnya, seperti akomodasi/fasilitas pariwisata, industri,
perumahan skala besar, kecuali untuk prasarana umum yang sudah ditetapkan dalam
Peraturan Daerah; dan pemerintah dan masyarakat anggota subak, wajib
menjaga keberlangsungan pasokan air irigasi pertanian lahan basah
berkelanjutan. Peraturan yang mapan sudah dibuat sedangkan langkah
selanjutnya melakukan tindakan yang konkret dengan memperhatikan kelangsungan
pembangunan yang berkelanjutan,
Stakeholders
harus memperhatikan nasib para petani termasuk memberi bantuan dana dan
dukungan bagi yang benar –benar serius mempertahankan praktek pertanian tradisional
Bali dan pelaksanaan sistem Subak. Hal
itu diharapkan dapat menekan penjualan tanah pertanian yang menyebabkan pada
bentuk alih fungsi lahan. Langkah ini
masih sangat mungkin dilakukan karena Bali masih terdapat banyak areal
persawahan utamanya di daerah – daerah yang tidak terlalu terkena imbas
gemerlap pariwisata, seperti di Kabupaten Tabanan, Bangli, Klungkung dan daerah
– daerah lainnya. Penyelamatan sedini
mungkin terhadap nilai – nilai dan praktek pembangunan yang bertumpu pada
keseimbangan alam seperti konsep Subak jauh
lebih mudah dibandingkan membangun sesuatu yang baru yang kadang sangat sulit
dicapai hasilnya karena belum tentu akan sesuai dengan tipologi suatu wilayah
dan kebiasaan masyarakat yang berbeda – beda. Selama selalu ada usaha yang
sungguh – sungguh nampaknya penguatan sistem Subak belum terlambat untuk digali dan disadarkan kepada generasi
penerus bangsa selanjutnya. Alam bukan milik kita untuk saat ini saja, bukankah
kita hanya satu generasi yang beruntung diberi kemudahan oleh generasi sebelumnya,
dan hal itulah yang harus kita selalu tanamkan dan jalankan untuk mempermudah kehidupan generasi
selanjutnya.
Kesimpulan
Deklarasi
UNESCO telah mengakui bahwa kebudayaan adalah unsur penting yang harsu
dimasukkan dalam pembangunan ekonomi karena hal tersebut tidak hanya dipahami
sebagai pembangunan yang hanya menekankan pentingnya aspek ekonomi semata,
namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral,
dan spiritual. Dan dari pernyataan deklarasi UNESCO itulah bagaimana konsep
pembangunan ekonomi hijau mulai gencar diberdayakan. Pelaksanaan sistem
pertanian tradisional di Indonesia merupakan model yang tepat menghadapi
kondisi iklim, cuaca, dan alam. Hal itu telah dikembangkan beribu tahun lamanya
termasuk sistem pertanian di Bali. Indonesia telah lama menjadi negara agraris.
Hal ini harusnya menjadi kebanggaan karena tidak semua negara dikaruniai
keadaan alam seperti Indonesia. Namun tak dapat dipungkiri dalam melaksanakan
sistem perekonomian yang bersandar pada kebaikan alam, banyak masalah yang
dihadapi. Hal ini juga terjadi di Bali, siklus musim menyebabkan sistem
pertanian yang tergantung pada air bisa saja mengalami konflik disaat sumber
air sedang surut, serta pengrusakan alam selalu dapat terjadi. Oleh karena itu
perkembangan konsep Tri Hita Karana menjadi nafas dalam kehidupan masyarakat
Bali termasuk dalam pelaksanaan sistem Subak
yang mensinergikan hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan, sesamanya
serta alam. Hal ini membuat masyarakat menyadari hal – hal mana saja yang boleh
dilakukan dan nilai – nilai apa saja yang tidak boleh dilanggar. Selama ribuan
tahun sistem Subak telah menjaga
keseimbangan hidup masyarakat Bali dan alamnya. Namun berkembangnya konsep
modernisasi, ditambah dengan arus globalisasi menyebabkan banyak nilai – nilai
budaya Barat yang mulai masuk ke Indonesia, termasuk merongrong budaya
tradisional yang sudah sangat mapan menyokong pondasi kehidupan masyarakat
Indonesia, termasuk Bali. Revolusi hijau membawa dampak buruk jangka panjang
serta mengoyak keseimbangan alam. Ditambah kondisi alam Bali yang menjadi daya
tarik pariwisata telah membuat mesyarakat mulai mengalihkan sumber perekonomian
berbasis pada pariwisata, smapai tindakan yang paling merugikan yaitu membangun
sarana pariwisata tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Tampaknya
peristiwa bom Bali menyadarkan masyarakat Bali tentang rentannya kejatuhan
perekonomian yang hanya bersandar pada pariwisata, sehingga masyarakat mulai
melihat pertanian ternyata lebih sustainable
terhadap prospek perekonomian masa depan. Sistem perekonomian pertanian
harus tetap berbasis pada kearifan lokal yaitu nilai Tri Hita Karana sehingga
sistem pembangunan yang berkelanjutan tidak mengorbankan nilai sosial, ekonomi,
budaya dan religius, karena nilai – nilai tersebutlah yang dapat membangun
kualitas manusia seutuhnya.
Referensi:
Atmojo, S.K. 1986. Some Shorts Notes on
Agricultural Data from Ancient Balinese Insciption, in S. Kartodirjo (ed.)
Papers of the Fourth Indonesian – Dutch History Conference. Yogyakarta 24 – 29
July 1983, vol.1. Agrarian History, pp.41-2. Yogyakarta. Gajah Mada University.
BPS
Propinsi Bali. 2008. Sekilas Bali 2008
Budiasa, I Wayan. 2005. Subak dan Keberlanjutan
Sistem Pertanian Beririgasi di Bali. Dalam Pitana, I Gde dan Gede Setiawan AP
(Eds). Revitalisasi Subak dalam Memasuki
Era Globalisasi. Yogyakarta: Andi Offset.
Budiasa, I Wayan. 2007. Optimization of Groundwater Irrigation-Based
Farming System Towards Sustainable Agriculture in North Coastal Plain, Bali.
Unpublish PhD Thesis, Agricultural Economics Study Program, Gadjah Mada
Graduate School, Yogyakarta.
Dube, S.C. 1988. “Modernization and
Development: The Search for Alternative Paradigms”. Zed Books Ltd. London.
Christie, J.W. 1992. Water From The
Ancestor: Irrigation from the Early Java and Bali, in J. Rigg (ed.) The gift of Water: Water Management,
Cosmology and the State in The Southeast Asia. Pp.7-25. London: Scholl of
Oriental and African Studies, University of London.
Hauser – Schaublin. B. 2003. The
Precolonial Balinese State Reconsidered. Current Anthropology, 44: 153-81.
Hobsbawm, Eric dan Terence Ranger. 1983.
The Invention Of Tradition.
Edinburgh: Cambridge University Press
Kulke, H. 1986. The Early and The
Imperial Kingdom of Southeast Asian History in D.G. Marr and A. C. Miller(eds)
Southeast Asia in the 9th to 14th Centuries. Canberra: Research School of
Pacific Studies, Australian International University.
Lansing et. al. 2007. A DNA Signature for the Expansion of
Irrigation in Bali.
Mudana, I Gede 2003. Lokal, dari Wacana Menuju Praksis.
http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2003/9/11/op3.htm
Schoorl, J.W. 1980. “Modernisasi:
Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara sedang Berkembang”. PT. Gramedia.
Jakarta.
UNESCO Universal Declaration on Cultural
Diversity 200. http://portal.unesco.org/en/ev.php
URL_ID=13179&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=201.htm
Widyaiswara. 2011 Subak Model Kearifan
Lokal BALI yang Terkikis Kementrian Pertanian dan Badan Penyuluhan Pengembangan
Pertanian. BBPP Ketindan Malang
(http://bbppketindan.info/index.php?option=com_content&view=article&id=96:subak-model-kearifan-lokal-bali-yang-terkikis&catid=9:artikel-pertanian&Itemid=28diambil
pada 29 Desember 2011)
Brutland Report. 1987. http://www.scribd.com/doc/24176124/Brundtland-Report-1987
http://balisustain.blogspot.com/2010/08/peran-ganda-subak-dalam-mewujudkan.html
http://balisustain.blogspot.com/2010/08/kajian-tata-ruang-dan-pengelolaan.html
http://blog.baliwww.com/arts-culture/467
http://canangsari.net/2011/06/tumpek-wariga-hormati-tumbuhan/
http://kemoning.info/blogs/?m=200912
[1] Schoorl,
J.W. 1980. “Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara
sedang Berkembang”. PT. Gramedia. Jakarta.
[2] Dube, S.C.
1988. “Modernization and Development: The Search for Alternative
Paradigms”. Zed Books Ltd. London.
[3] http://www.scribd.com/doc/24176124/Brundtland-Report-1987
[4] UNESCO
Universal Declaration on Cultural Diversity 200. http://portal.unesco.org/en/ev.php
URL_ID=13179&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=201.htm
[5] Eric Hobsbawm dan Terence Ranger
1983. The Invention Of Tradition.
Edinburgh: Cambridge University Press.
[6] I Gede Mudana. 2003. Lokal, dari
Wacana menuju Praksis. http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2003/9/11/op3.htm
[7] Hauser – Schaublin. B. 2003. The
Precolonial Balinese State Reconsidered. Current Anthropology, 44: 153-81.
[8] Kulke, H. 1986. The Early and
The Imperial Kingdom of Southeast Asian History in D.G. Marr and A. C. Miller(eds)
Southeast Asia in the 9th to 14th Centuries. Canberra:
Research School of Pacific Studies, Australian International University.
[9] Christie, J.W. 1992. Water From
The Ancestor: Irrigation from the Early Java and Bali, in J. Rigg (ed.) The
gift of Water: Water Management,
Cosmology and the State in The Southeast Asia. Pp.7-25. London: Scholl of
Oriental and African Studies, University of London.
[10] Lansing et. al. 2007. A DNA
Signature for the Expansion of Irrigation in Bali.
[11] Atmojo, S.K. 1986. Some Shorts
Notes on Agricultural Data from Ancient Balinese Insciption, in S. Kartodirjo
(ed.) Papers of the Fourth Indonesian –
Dutch History Conference. Yogyakarta 24 – 29 July 1983, vol.1. Agrarian
History, pp.41-2. Yogyakarta. Gajah Mada University.
[12] Tumpek Wariga/
Pengatag/Uduh dalam konsepsi Hindu di Bali merupakan hari untuk bersyukur
kepadaTuhan yang dikonkretkan melalui mengupacarai pepohonan. Karenanya ucapan
syukur dan penghormatan kepada Tuhan dilakukan manusia dengan mengasihi segala
jenis tumbuh-tumbuhan. Dengan demikianperayaan
hari Tumpek Pengatag memberi isyarat dan makna mendalam agar manusia mengasihi
dan menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan
penghidupannya. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam memberi hidup
umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia bersumber dari
tumbuh-tumbuhan. mulai dari pangan, sandang hingga papan. Karena itu pula,
tradisi perayaan Tumpek Pengatag disepadankan sebagai peringatan Hari Bumi ala
Bali. Tumpek Pengatag merupakan momentum untuk merenungi jasa dan budi Ibu Bumi
kepada umat manusia. Selanjutnya, dengan kesadaran diri menimbang-nimbang
perilaku tak bersahabat dengan alam yang selama ini dilakukan dan memulai hari
baru untuk tidak lagi merusak lingkungan. Sampai di sini, dapat disimpulkan
para tetua Bali di masa lalu telah memiliki visi futuristik untuk menjaga agar
Bali tak meradang menjadi tanah gersang dan kerontang akibat alam lingkungan
yang tak terjaga. Bahkan, kesadaran yang tumbuh telah pula dalam konteks
semesta raya. Istimewanya, segala kearifan itu muncul jauh sebelum manusia
modern berkampanye tentang upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan. (http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=368&Itemid=79 diambil
pada 29 Desember 2011)
[13] Upacara Mreteka Merana/Ngaben
Tikus, sudah sering dilakukan oleh masyarakat Hindu di Kabupaten Tabanan.
Mengingat wilayah ini sebagian besar penduduknya hidup dari bercocok tanam,
khususnya padi. Sehingga upacara yang berhubungan dengan keselamatan dan
kesuburan tanaman, khususnya padi, sudah sering dilaksanakan baik secara rutin
seperti maupun tidak rutin. Mreteka Merana terdiri dari dua kata yaitu kata
Mreteka dan kata Merana. Mreteka artinya mengupacarai, Merana artinya hama
penyakit. Tujuan dari upacara ini adalah untuk menyucikan roh/atma hama
penyakit supaya kembali ke asalnya sehingga tidak kembali menjelma ke bumi
sebagai hama penyakit dan merusak segala jenis tanaman yang ada di bumi,
khususnya tanaman padi. Upacara
seperti ini dilaksanakan apabila hama tikus dan hama lainnya telah menyebabkan
gangguan yang sudah luar biasa dan tidak bisa dikendalikan. Sebagai contoh di
desa pekraman Bedha, desa Bongan , kecamatan Tabanan upacara mreteka merana ini
sudah lebih dari enam kali dilaksanakan. Pada tahun 2000 pernah dilaksanakan,
setelah itu tanaman tidak pernah lagi terserang oleh hama penyakit sampai tahun
2008. Akan tetapi sejak tahun 2008 hama penyakit khususnya hama tikus lagi
merajalela sampai tidak bisa dikendalikan. (http://www.tabanankab.go.id/artikel/budaya-dan-agama/372-upacara-mreteka-merana-ngaben-tikus diambil pada 29 Desember 2011)
[14] Awig-awig adalah suatu produk
hukum dari suatu organisasi tradisional di Bali, yang umumnya dibuat secara
musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya dan berlaku sebagai pedoman
bertingkah laku dari anggota organisasi yang bersangkutan. Dengan demikian,
awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku yang dibuat oleh masyarakat
yang bersangkutan berdasarkan
rasa keadilan dan rasa kepatutan yang hidup dalam
masyarakat yang bersangkutan. Salah satu bentuk organisasi tradisional yang
berwernang membuat awig-awig adalah desa pakraman. Disamping desa pakraman,
masih banyak lagim organisasi tradisional
Bali lain yang juga
mempunyai awig-awig, seperti
salah satunya adalah organisasi Subak. (I
Wayan Suarjaya. 2007. Analisis Pelayanan
Publik Desa Dinas dan Desa Pekraman Desa Wongaya Gede, kabupaten Tabanan,
Disertasi. Jakarta: Fisip UI, Ilmu Administrasi Negara. http://www.scribd.com/doc/66066869/128131-D-00831-Analisis-pelayanan diambil pada 29 Desember 2011)
[15] Sekaa adalah kelompok organisasi
masyarakat yang dengan berbagai kegiatan tertentu, guna menyukseskan kegiatan –
kegiatan masyarakat termasuk dalam sistem pertanian.
[16] Widyaiswara. 2011 Subak Model Kearifan Lokal BALI yang
Terkikis Kementrian Pertanian dan Badan Penyuluhan Pengembangan Pertanian.
BBPP Ketindan Malang (http://bbppketindan.info/index.php?option=com_content&view=article&id=96:subak-model-kearifan-lokal-bali-yang-terkikis&catid=9:artikel-pertanian&Itemid=28diambil pada 29 Desember 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar